,

Ask the Expert: Bagaimana Menghadapi Risiko Climate Change?

Ask the Expert Bagaimana Menghadapi Risiko Climate Change

Climate change merupakan perubahan pola suhu, curah hujan, hingga cuaca di bumi dalam jangka panjang. Merujuk pada laman United Nations, perubahan ini terjadi karena dua hal yakni secara alami seperti aktivitas matahari dan letusan gunung merapi serta akibat aktivitas manusia terutama dalam penggunaan bahan bakar fosil.

Salah satu dampak climate change yang signifikan adalah banjir rob di kawasan pesisir. Singkatnya banjir rob adalah genangan air laut yang meluap hingga daratan akibat pasang surut air laut, kenaikan permukaan air laut (iklim global), penurunan permukaan tanah (eksploitasi air tanah berlebihan), hingga kerusakan ekosistem laut.

Berbagai riset dan sumber resmi menyebut jika rata-rata kenaikan permukaan laut di Indonesia adalah 4,4 mm per tahun. Sementara kondisi ekstrim dialami oleh warga pesisir Jawa tengah, seperti Demak, Semarang, dan Pekalongan.

Beberapa waktu lalu, 29-31 Agustus 2025 kami berkesempatan mengunjungi wilayah Bedono, Morodemak, dan Timbulsloko. Wilayah-wilayah yang tergenang air laut karena rob. Climate change membuat kehidupan ekonomi, sosial, dan psikologis masyarakat terdampak begitu kompleks. Disebut-sebut penurunan muka tanah mencapai 7-21 cm per tahun.

Kenyataan getir tersebut ternyata tak tertangani dengan ideal, bagaimana menghadapi climate change hingga memahami risiko dari sudut kajian Ilmu Komunikasi? Salah satu dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UII, Muzayin Nazarudin, Ph.D. yang fokus pada klaster komunikasi lingkungan dan semiotika memberikan beberapa rekomendasi dalam menghadapi climate change hingga memahami konteks risk communication.

Usaha Menghadapi Climate Change

Perubahan iklim di Indonesia sudah seharusnya menjadi perhatian utama dalam agenda pembangunan nasional. Sayangnya, mitigasi atau serangkaian tindakan untuk meminimalkan dampaknya belum cukup jelas. Di Demak, Jawa Tengah misalnya, masyarakat terdampak banjir rob mengalami banyak ketimpangan.

Sebagian masyarakat harus tertahan di genangan air laut lantaran kondisi ekonomi yang tak memadai. Sebagian mengiyakan untuk dilakukan relokasi, namun tak sepenuhnya upaya ini berhasil.

“Climate change harus diantisipasi atau masuk dalam agenda pembangunan, sayangnya [tampaknya] pemerintah Indonesia belum punya cukup agenda menghadapi climate change. mitigasinya belum jelas bagaimana, contohnya yang terjadi di Demak,” ungkap Muzayin Nazarudin, Ph.D.

Selain faktor ekonomi dan risiko kehilangan pekerjaan, sifat kolektif masyarakat yang enggan terpencar dengan komunitasnya menjadi alasan yang tak bisa diabaikan. “Di beberapa tempat warga mau pindah tetap dalam satu komunitasnya, mau terhubung sesama tetangganya,” tambahnya.

Menurutnya, mitigasi harus dilakukan secara komprehensif. Memulai dengan membuat peta daerah rentan tenggelam hingga melakukan kajian mendalam terkait pembangunan infrastruktur yang meningkatkan risiko lingkungan.

Selama ini tak sedikit usaha-usaha dilakukan LSM dan lembaga masyarakat sipil untuk membantu. Namun sifatnya karitatif dan belum menyentuh solusi berkelanjutan. Padahal dampak dari climate change ke depan akan semakin masif.

“Harusnya pemerintah memfasilitasi berbagai pihak duduk bersama, ngobrol bersama termasuk bersama warga mereka inginnya bagaimana. Kalau mereka mau bertahan di sana harus bagaimana kalau mau dipindahkan dimana dan bagaimana. Harus ada visi jangka panjang,” tegasnya.

Memahami Konteks Risk Communication

Memahami risiko bencana bukan soal sederhana, hal ini melibatkan kondisi geografis, geologis, sosial, hingga pemahaman (ancaman, kerentanan, kapasitas). Bukan hanya menyebutkan ancaman bencana secara gamblang.

Dalam konteks risk communication, risiko tak sekedar perhitungan objektif antara bahaya dan tidak bahaya. Melainkan juga yang dipersepsikan masyarakat. Sementara perbedaan persepsi antara pengambil kebijakan dan masyarakat jarang dibicarakan. Sehingga, taka da penyelesaian yang melegakan.

“Pengambil kebijakan mungkin menganggap bahwa tenggelamnya desa itu adalah sebuah risiko. Warga juga memandang itu sebagai risik, tapi di kalangan warga mereka punya perhitungan risiko yang jauh lebih kompleks,” jelasnya.

“Misalnya kalau mereka pindah ke lokasi baru tidak ada yang dikenal mereka memiliki persepsi risiko tidak terhubung secara sosial. Mereka pindah ke lokasi baru, tidak punya pekerjaan ada risiko lain, risiko kehilangan pekerjaan. Risiko ini sifatnya subjektif dan dibangun di level komunitas, tidak diri sendiri, biasanya kolektif,” tambahnya.

“Ketika pemerintah membangun kebijakan berbasis risiko harusnya mempertimbangkan apa sih yang menurut warga menjadi risiko,” tandasnya.

Artinya pendekatan kebijakan yang inklusif terhadap persepsi risiko warga akan menghasilkan solusi yang lebih diterima masyarakat.