IAMCR 2025 Singapore: Solastalgia ‘Rumah Tenggelam dalam Lautan’ di Demak Jawa Tengah
Juli lalu beberapa delegasi dari Jurusan Ilmu Komunikasi UII bertandang ke Singapura untuk turut menyuarakan isu lingkungan dalam konferensi internasional IAMCR 2025 Singapore yang bertema Communicating Environmental Justice: Many Voices, One Planet.
Salah satu paper yang dipresentasikan oleh staf dan dosen kami adalah “Solastalgia”: Surviving (dis)placed Sinking Village garapan Iven Sumardiyantoro, S.I.Kom., M.I.Kom. (asisten Laboran Ilmu Komunikasi) dan Puji Rianto, S.IP., M.A. (dosen Ilmu Komunikasi) yang mengeksplorasi dampak emosional dan sosial akibat climate change di Demak, Jawa Tengah.
Konsep solastalgia dari Albrecht, menggambarkan kesedihan dan keterasingan ketika tempat yang ditinggali menjadi sumber kecemasan karena hilangnya identitas ruang itu sendiri. Berbeda dengan nostalgia yang maknanya rindu rumah yang jauh. Solastalgia adalah rasa sakit, ketika seseorang masih berada di rumah yang sama namun lingkungannya rusak. Seseorang menjadi stress hingga tak bedaya melihat perubahan tersebut.
Pengamatan empiris dilakukan sejak tahun 2023 di beberapa wilayah Pesisir Demak, Jawa Tengah. Informasi menyebutkan jika tenggelamnya perkampungan di wilayah tersebut terjadi sejak tahun 2000-an awal. Kenaikan permukaan laut, abrasi pantai, dan penurunan tanah terjadi karena climate change dan diperparah oleh aktivitas manusia seperti pembangunan infrastruktur yang tak memperhatikan risiko lingkungan.
Dampak dari tenggelamnya perkampungan memkasa masyarakat untuk segera beradaptasi. Hilangnya lahan pertanian yang berubah menjadi lautan. Mereka dipaksa keadaan menjadi nelayan, meninggikan rumah, hingga membuat papan jalan demi bertahan hidup. Alasan tetap bertahan adalah ikatan emosional dengan tanah leluhur, meskipun risiko sosial ekonomi yang kompleks. Solastalgia menyingkap bahwa krisis lingkungan tak hanya melihat risiko fisik, melainkan dampak serius pada kesehatan mental masyarakat pesisir. Sehingga mitigasi bencana selayaknya mengintegrasikan pemahaman ini agar respons yang diberikan lebih manusiawi dan sensitif terhadap keterikatan emosional.
Dari ketarangan Iven Sumardiyantoro, ini adalah pengalaman diskusi akademik internasional perdananya. “Kesempatan berharga bertemu scholar komunikasi bidang environmental communication walaupun saya junior researcher forum itu sangat egaliter. Para profesor curriouss terhadap paper saya,” ujarnya menjelaskan.
IAMCR 2025 Singapore digelar pada 13-17 Juli lalu di Nanyang Technological University (NTU), ia mendapat jadwal presentasi di hari terakhir. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk belajar dari diskusi panel-panel sebelumnya. “Berjejaring dengan section sesuai ketertaikan terhadap suatu topik, topik visual culture, environmental, film, pop,” tambahnya.
Dari jejaring tersebut, Iven menyebut mendapat tawaran dari panel chair untuk menjadi fasilitator yang bertema book chapter on environmental communication and disaster. Kesempatan ini tentu menjadi awal yang meyakinkan baginya.
Sebagai junior researcher, Iven mengaku banyak melakukan diskusi dengan para dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi UII. “Jadi Pak Puji Rianto memberikan banyak masukan dan menuliskannya dari segi teoritik, saya empiris bagaimana cara menyemapaikan pengalaman dari point of view pada conference,” tandasnya.
Selain paper tersebut, tercatat ada sepuluh judul paper dari Jurusan Ilmu Komunikasi UII yang turut menyuarakan isu-isu terkait dalam konferensi tersebut.
IAMCR 2025 Singapore menjadi bukti nyata bahwa krisis lingkungan dan ketimpangan sosial perlu menjadi agenda penting. Lewat kajian komunikasi konferensi ini menyoroti persimpangan kritis antara berbagai suara dari berbagai pemangku kepentingan dan tindakan kolaboratif mereka dalam mengatasi tantangan mendesak zaman ini.
Singapura, sebuah negara kota yang dinamis dan dikenal karena keragaman budayanya serta program-program keberlanjutannya, menjadi latar belakang yang ideal untuk diskusi ini. Meskipun memiliki wilayah geografis yang kecil, Singapura secara unik rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk kenaikan permukaan laut dan pola cuaca ekstrem.