Tradisi Nyadran Sebagai Kearifan Lokal, Bagaimana Pandangan Islam?
Menjelang bulan Ramadan berbagai kegiatan dilakukan oleh masyarakat, di Jawa berbagai tradisi menjadi penyemarak untuk menyambut bulan suci. Jawa Tengah dan Yogyakarta akan sangat lekat dengan Nyadran, di Jawa Timur ada Megengan atau Ruwahan, sementara di Jawa barat ada tradisi Munggahan dan Misalin.
Bagi masyarakat yang melakukan tradisi tersebut, hal ini memiliki nilai rligiusitas dan kearifan lokal. Dalam Nyadran, Megengan, hingga Misalin ada wujud antara relasi manusia, leluhur, alam, dan Tuhan.
Jika dilihat dari waktu melakukan tradisi tersebut tentu beriringan dengan momentum ibadah mahdhah, namun tradisi tersebut bukanlah bagian dari ibadah mahdhah yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Hal ini memunculkan berbagai pandangan, ada yang sepakat ada yang tidak. Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Anang Hermawan, S.Sos., M.A dengan klaster riset bidang pemberdayaan menyebut tradisi ini diwarnai pro dan kontra keduanya memiliki argumen yang menguatkan.
“Ada perbedaan di kalangan umat Islam dalam melihat nyadran, pro dan kontra. Bagi yang kontra, nyadran dinilai menyelisihi ajaran agama, karena dianggap tidak ada landasannya sama sekali (secara persis). Di sisi lain, kalangan yg pro menganggap nyadran merupakan budaya masyarakat muslim yg juga memiliki landasan agama, atau paling tidak, memiliki dasar-dasar pemahaman yang tidak menyelisihi syariat,” ujarnya.
Merujuk pada KBBI, istilah Nyadran atau sadran-menyadran adalah mengunjungi makam pada bulan Ruwah untuk meberikan doa kepada leluhur dengan membawa bunga atau nyekar hingga membawa sesajian pendukung lainnya.
Melansir dari laman NU Jepara, tradisi ini merupakan kegiatan komunal seperti mengundang tetangga, mengumpulkan jamaah di masjid maupun di rumah untuk melakukan doa bersama, istighosah, tahlilan, yasinan yang ditujukan kepada leluhur. Mendoakan arwah leluhur bertujuan untuk meminta ampunan, Rahmat dan syafaat dari Rasulullah SAW dan diakhiri dengan “berkatan” atau berkah nasi dalam besek yang nantinya dibawa pulang ke rumah dan diberikan kepada anak dan keluarga.
Pandangan Islam tentang Tradisi dan Kearifan Lokal Nyadran
Lantas bagaimana Islam memandang tradisi Nyadran dan tradisi-tradisi menjelang bulan Syaban lainnya?
Faham soal takfiri (mengkafirkan), tabdi (membidahkan), tasyri (mensyirikkkan) terbentuk melalui pemahaman Islam konservatif. Tradisi tersebut memang tak bersumber pada Al’Quran maupun as-Sunnah, sehingga taka da standar baku dan dapat dilakukan sesuai kekhasan setiap daerah.
NU berpandangan, selama tradisi-tradisi dilakukan dengan cara yang beradab dan tidak menyimpang dari syariat maka tradisi tersebut layak disebut sebagau khazanah kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Menurut artikel berjudul Memahami Kearifan Tradisi-tradisi Lokal yang ditulis oleh Ninde Adien Maulana pada laman NU Online, kriteria kebaikan pada adat kebiasaan berpijak pada kebenaran akal sehat manusia dan norma-norma syariat. Maka perlu diketahui bahwa tradisi yang tengah dilakukan tidak bertentangan dengan syariat, tidak menyebabkan kerusakan dan menghilangkan kebaikan, telah dilakukan secara masif dan berulang di kalangan umat Islam, dan tidak masuk dalam wilayah ibadah mahdlah.
“Penilaian sesuatu yang diharamkan tidak terletak pada nama, namun pada substansi isinya” (Fatawa al-Azhar 7/210)
Dalam konteks Nyadran, substansinya adalah ziarah kubur mendoakan leluhur dengan membaca ayat al-Quran, berbagi sedekah atas nama mayit.
Rasulullah bersedekah makanan atas nama Khadijah, “Aisyah berkata: “Jika Rasulullah menyembelih kambing, maka beliau berkata:” Kirimkan daging-daging ini untuk tean-teman dekat Khadijah”. Aisyah berkata: “Saya memarahi Nabi di suatu hari”. Nabi bersabda: “Saya sudah diberi reezeki mencintainya” (HR Muslim)
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallama melakukan penyembelihan hewan dan menyedekahkannya untuk Khadijah setelah wafatnya (HR Muslim No 4464). Syaikh berkata: Secara watak ini adalah sedekah. Dari dalil ini dapat diambil kesimpulan bahwa boleh bersedekah atas nama mayit baik berupa daging, makanan, uang atau pakaian, ini adalah sedekah, atau dengan qurban saat Idul Adlha. Kesemua ini adalah sedekah atas nama mayit” (Fatawa al-Ahkam asy-Syar’iyah No 9661)
Sementara dalam Muhammadiyah, tradisi ziarah pada masyarakat Jawa yang disebut ruwahan, nyekar, nyadran, dan sebutan lainnya dijelaskan pada artikel yang berjudul Ziarah pada laman Suara Muhammadiyah. Secara umum Majelis Tarjih membolehkan tradisi ini dengan hadis di bawah ini:
“Diriwayatkan dari Buraidah ia berkata, Rasulullah saw bersabda; Dahulu aku pernah melarang ziarah kubur, maka telah diizinkan bagi Muhammad berziarah kubur ibundanya. Maka berziarahlah kubur, sebab hal itu mengingatkan akhirat.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)
Tak hanya itu, tradisi ini mesti dilakukan sesuai tuntunan dan etika yang diajarkan Nabi yakni meluruskan niat, melepas alas kaki, tidak duduk atau menduduku kuburan, berdoa kepada Allah, dan mengucapkan salam kepada ahli kubur.
“Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata; “Rasulullah saw pada tiap malam gilirannya, pergi ke Baqi’ di akhir malam, dengan ucapannya: Assalamu’alaikum dara qaumin mukminin wa atakum ma tu‘aduna ghadan muajjalun, wa inna insya Allahu bikum lahiqun. Allahummaghfir li ahli Baqi’il Gharqad. (Semoga keselamatan bagi kamu sekalian wahai negeri kaum yang beriman dan akan datang apa yang dijanjikan kepada kamu sekalian dengan segera. Dan sesungguhnya kami, dengan izin Allah, akan menyusul kamu sekalian. Yaa Allah ampunilah penghuni Baqi’ al-Gharqad (nama kuburan).” [HR. Muslim]
Meski demikian, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir pernah menyatakan jika ziarah adalah satu dari banyak sunnah yang dapat diamalkan
“Meski sunnah, tidak perlu terlalu sering berziarah kubur. Banyak sunnah Nabi lainnya yang lebih besar yang harus dikerjakan untuk memajukan umat dan bangsa,” tuturnya dalam laman Suara Muhammadiyah.
Penulis: Meigitaria Sanita