Teatime: Edisi Mengulik Prestasi di Panahan dan Kuliahan
Memiliki banyak kegiatan, pastilah hidup selalu penuh dengan pilihan dan pengorbanan. Menjadi atlit panahan sekaligus mahasiswa internasional selain harus pintar membagi waktu juga harus punya kemampuan memilih mana prioritas dan mana yang bisa dikorbankan. Meskipun pilihan tak selalu benar dan banyak membuat kesalahan, tapi dari proses itu akan memahamkan mana yang lebih baik dan bagaimana kita menghadapi esok.
Pelajaran itu dipetik Jemima dan ia bagikan saat ngobrol santai Teatime International Program of Communication Department, Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu, 6 Agustus 2021. Jemima Josephine Hormigas adalah mahasiswa International di Ilmu Komunikasi UII angkatan 2019. Ia adalah atlit Panahan dan sudah meraih pretasi internasional di beberapa negara seperti Korea Selatan, Thailand, Singapura, maupun kejuaraan internasional yang diadakan di Indonesia.
Kedekatannya dengan dunia olahraga sudah ia jalani sejak kecil. Akhirnya terjun dunia panahan sebetulnya karena motivasi akademis. “Ada orang tanya ke aku, kenapa nggak ikut lomba panahan. Nanti kamu bisa juara atau dapat sertifikat. Jadi kamu nanti bisa masuk ke sekolah favorit pakai sertifikat itu. Setelah itu aku ikut, tapi malah sekarang nggak bisa berhenti panahan,” kata Jemima menceritakan kisahnya.
Aktifitas kesehariannya sebagai seorang atlit dan seorang mahasiswa haruslah seimbang. Jemima bisa latihan enam hari dalam satu minggu sama seperti kuliah. “Karena aku adalah atlit sekaligus mahasiswa, jadi porsi untuk melakukan atifitas itu juga sama. Jika mau menghadapi kompetisi aku bisa latihan lebih lama dari biasanya. Jika ada ujian, aku bisa belajar lebih lama daripada latihan.” kata Jemima.
Berbicara tentang time management, banyak orang akan bilang manajemen waktu itu penting. Tapi, dalam beberapa situasi, manajemen waktu tidak berlaku. Ada kala Jemima berada dalam satu situasi yang mengharuskan dia harus memiih. “Misalkan kita sudah punya jadwal kuliah. Hari ini ada kuliah jam 11 sampai jam 2, lalu jam 3-5 aku latihan. Managemen waktunya begitu,” ceritanya. “Tiba-tiba dosen bisa saja akan membatalkan kuliah jam itu dan menggantinya dengan jam 3-5 dan itu adalah waktu aku latihan. Di situ kita diuji, kemampuan kita untuk menentukan mana prioritas, dan mana yang akan kita korbankan.” jelas Jemima.
Di kesempatan lain, kita harus mengorbankan waktu luang. Jemima bercerita juga kadang kalau sudah selesai kegiatan tapi belum mau pulang, padahal ada tugas yang harus dia kumpulkan esok harinya. “Aku bisa tidak tidur sepanjang malam dan mengerjakan tugas, karena aku ga mau juga kan nilaiku jelek.”
Ia menceritakan bahwa kegiatannya sangat fleksibel sebetulnya. Meskipun dia sedang latihan dan ada kelas di waktu yang sama, ia masih dapat mengerjakannya bersamaan. “Kuliah sekarang itu kan daring. Kita bisa mute audio dan matikan video. Tetap mendengarkan tetap latihan. Tapi ini bukan hal yang baik,” kata Jemima menceritakan budaya digital yang lazim di tengah pandemi.
Hal-hal seperti itu adalah salah satu dari berbagai pilihan yang ia ambil. Jemima mengakui hal itu tidak baik, tapi itu suatu pilihan yang bisa kita ambil, dan kita harus pertanggungjawabkan konsekuensinya. Panahan dan kuliahan, keduanya adalah tanggungjawab, konsekuensi apapun, harus ditempuh dan ia perjuangkan, katanya. Nyatanya, selama ini ia bisa melewatinya. Tak ada yang tak mungkin untuk menyeimbangkan dua dunia: panahan dan kuliahan.