Menjalani puasa Ramadan selayaknya berorientasi perbaikan dan peningkatan kesalehan. Baik saleh secara individu maupun sosial. Berkah untuk diri, maupun untuk lingkungan. Ketika sudah begitu, maka puasa akan berbuah takwa. Namun, tak semua muslim mengetahui, apakah model puasanya akan berbuah takwa atau justru prahara. Apakah puasa menghasilkan keberuntungan, impas, atau jangan-jangan kerugian?
“Kalau puasa kita masih puasa model ular, bukannya meningkatkan kualitas diri, melainkan kuantitas. Bukan untung didapat, melainkan buntung,” kata Didik Porwodarsono, pengisi kajian bulanan FPSB UII, pada Jumat (23/4/2021) lalu. Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Modern Miftahunnajah, Yogyakarta, ini, puasa model ular, tak ubahnya ular yang memasuki masa puasa. Ia akan puasa makan dan minum, untuk nantinya akan menerkam mangsa yang lebih besar bahkan dari dirinya. Jika puasa muslim masih model seperti ini, artinya pascapuasa orang justru pesta pora, makan beragam makanan seperti ular, dan seringkali serakah pada alam.
Ia juga mengatakan setiap muslim setidaknya dalam puasa bisa menentukan akan memilih puasa dengan model ular, bayi, atau tingkatan paling tinggi puasa model ulat.
Bagaimana puasa model bayi dan ulat?
Puasa bayi adalah puasa ketika bayi masuk pada fase tidak mau makan minum, dan butuh perhatian kasih sayang khusus. “Kalau istiah jawa, bayi seperti itu tanda mau nambah pinternya. mundak akale. Gigi mau tumbuh. Mau bisa jalan. Atau mau bisa bicara,” jelas Didik. “Minimal puasa kita itu mundak (meningkat) solehnya, mundak dermawannya.”
Sedangkan nilai ramadan yang hasilnya paling tinggi adalah ketika puasa layaknya ulat. Menurt Didik, seperti kepercayaan jawa, puasanya ulat adalah puasa yang penuh kesabaran, dan penuh semangat hijrah. Filosofi ulat menunjukkan, ketiak masih jadi ulat, dan jika ulat belum berpuasa itu tidak ada kebaikan sama sekali di mata orang. Orang menganggap ulat bikin gatal, menjijikkan, apapun dilahap. Ulat dianggap ancaman,
“Sebaliknya tapi kalau ulat sudah berkepompong, itu berpuasa. Ia revolusi jadi kupu-kupu. revolusi dari jahiliyah ke islam. Hijrah dari ulat ke kupu-kupu,” imbuh Didik. “Puasa ulat maknanya berubah dari tambun menjadi langsing. Dari terikat oleh daun dan dahan, menjadi terbuka terbang membantu penyerbukan,” katanya. Didik bilang, ketika muslim berpuasa, ia menjadi harapan, bukan ancaman lagi. Seharusnya puasa berbuah takwa itu membuat manusia ancaman menjadi harapan karena bertambahnya kebaikan.
“Puasa sebaiknya bejo (beruntung) karena mendapat cumlaude layaknya puasa ulat. Tak hanya jadi gelo (kecewa) karena hanya meraih lulus biasa saja ibarat puasa bayi. Apalagi hanya dapat getun (penyesalan) karena merugi ketika Ramadan seperti puasanya ular,” kata Didik meramu kata-kata dakwahnya dengan apik di akhir-akhir kajian.