Angka pernikahan dini di Kabupaten Sumenep, Madura, relatif tinggi. Alasan utama yang kerap dilontarkan adalah atas dasar agama, yakni menghindari zina. Ironisnya, anak-anak perempuan usia 14 tahun dinikahkan hingga harus disuntik KB atau memasang alat kontrasepsi lainnya untuk menghindari kehamilan sebelum ijab kabul dilakukan.
Beberapa waktu lalu, Yayasan Tunas Bakti Nusantara (YTBN) menggandeng Program Studi Ilmu Komunikasi UII untuk menjalankan misi kemanusiaan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) tepatnya di Kecamatan Batuputih, Kabupaten Sumenep, Madura. Selain sulitnya akses air bersih berkepanjangan di wilayah tersebut, ada masalah pelik yang belum terputus yakni pernikahan dini.
Secara geografis, Kecamatan Batuputih berada di sisi Timur Pulau Madura wilayah pesisir dengan perbukitan kapur yang cukup gersang. Dari pusat Pemerintahan Provinsi Jawa Timur setidaknya membutuhkan waktu selama 4-5 jam perjalanan. Meski masuk dalam daerah 3T, akses menuju Batuputih cukup mulus, meski jalan terjal masih ditemui di beberapa akses masuk desa. Namun secara umum, akses tak terlalu menyulitkan.Meskipun secara infrastruktur pembangunan jalan sudah cukup baik, ada masalah serius yang perlu mendapatkan penanganan secara intensif yakni kasus pernikahan dini yang angkanya masih tinggi.
Data dari Pengadilan Agama (PA) Sumenep menunjukkan 313 dispensasi pernikahan dini diajukan di tahun 2022, sementara tahun 2023 sejak Januari hingga Juni sudah mencapai 122 permintaan dispensasi. Angka ini terbilang cukup fantastis dan perlu mendapat penanganan serius.
“Mereka calon suami atau istri yang usianya di bawah umur ini mengajukan keringanan atau dispensasi ke Pengadilan Agama untuk melangsungkan pernikahan,” jelas Ketua PA Sumenep, Palatua, dilansir dari laman resmi RRI.
Definisi pernikahan dini adalah akad nikah yang dilakukan pada usia di bawah aturan yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perkawinan menyebut perkawinan diizinkan apabila kedua mempelai pria dan wanita sudah mencapai usia 19 tahun.
Siapa sangka anak-anak dan remaja yang semestinya berhak belajar dan meraih mimpi setinggi-tingginya justru tak berdaya karena pernikahan dini yang telah menjadi budaya. Di Batuputih Daya seorang perempuan berusia 33 tahun telah memiliki 3 orang anak dan 1 cucu. Ia mengaku telah dinikahkan di usia 15 tahun, setahun setelahnya melahirkan seorang putri.
Seolah tak putus budaya pernikahan dini, sang putri dinikahkan di usia 17 tahun dan memiliki anak di usia 19 tahun. Fahria sosok ibu sekaligus nenek berusia 33 tahun itu merupakan satu dari banyak perempuan yang mampu berdaya dari segi sosial dan psikologis akibat pernikahan dini.
Ia tampak legowo menerima takdirnya, sekarang ia bekerja menjadi pengajar di salah satu sekolah untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Batuputih Daya, Batuputih, Sumenep. Sambil mengajar tentu ia menyalurkan energi positif dalam pengasuhan anak. Fahria dianggap sebagai sosok yang telaten dan sabar mengurus anak.
Selain fenomena suntik KB atau pemberian kontrasepsi sebelum ijab kabul, fenomena nikah siri juga menjadi hal yang umum terjadi. Fahria menceritakan tentang anak perempuan berusia 14 tahun dinikahkan secara siri.
“Ada (menikah dini) yang berusia 15 tahun, 16 tahun, bahkan ada yang 14 tahun. Tapi yang 14 tahun (perempuan) itu nikah siri. Laki-lakinya ada yang berusia 16 tahun”, ungkap Fahria.
Sementara dalih yang dilontarkan Fahria juga seolah tak menepis budaya nikah dini yang dibalut dengan nama agama. Kata haram menjadi kunci utama atas pernikahan dini di Batuputih Sumenep.
“Cuma menjaga kalau dibonceng takut haram karena bukan mahrom. Walaupun nikah itu tidak tidur berdua gitu. Menjaga saat dibonceng di Hari Raya biasanya dijemput (istri oleh suami),” jelasnya.
Pernikahan dini berlangsung dengan dua kemungkinan pertama atas dasar kemauan orang tua yang tak menginginkan anak-anaknya hamil diluar nikah, kedua atas dasar keinginan anak karena telah memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis. Tak jarang anak-anak yang menikah dini tetap melanjutkan sekolah ke bangku SMA.
“Iya ada memang di sini murid SMA, sekarang sudah lulus SMA anaknya sudah masuk PAUD. Pengalaman di sini ada. Tapi sudah jarang sekarang. Ada yang perjodohan, ada yang keinginan anak. Orangtua itu menjaga takut terjadi hal-hal di luar nikah karena melihat anak sudah gimana ya, sudah akrab gitu dengan tunangannya,” tambahnya lagi.
Keakraban antara kedua anak tentu bukan tanpa alasan, budaya perjodohan sejak dini telah melekat pada masyarakat di Batuputih, Sumenep. Sejak kecil anak-anak sudah mengetahui siapa calon pasangannya kelak.
Padahal dampak pernikahan dini ini tak main-main, melansir dari Kementerian Kesehatan dampak kesehatan jasmani rentan dialamai anak perempuan adalah kondisi rahim yang terlalu dini dapat menyebabkan kandungan lemah karena sel telur yang belum sempurna hingga berisiko kelahiran prematur dan cacat.
Kedua, dampak psikologis, usia remaja merupakan masa transisi dengan gejolak emosi yang belum stabil. Kondisi itu akan berpengaruh terhadap hubungan suami istri hingga memicu konflik karena kesulitan mengendalikan diri.
Ketiga, dampak terhadap perkembangan anak yang akan terpengaruh karena pola asuh orang tua pada anak. Anak mengasuh anak merupakan kondisi yang tidak ideal. Padahal pada fase perkembangannya, anak membutuhkan lingkungan harmonis dan aman agar tumbuh secara optimal.
Terakhir, dampak terhadap sikap masyarakat. Memutuskan menikah dini artinya memiliki peran suami dan istri tentu memiliki beban dan tanggung jawab berubah dari segi sosial.
Meski beberapa pengakuan anak-anak yang dinikahkan dini tak tinggal bersama, salah satu dokter yang praktik di Rumah Sakit Umum Sumenep yakni dr. Susanti Rosmala Dewi, Sp.D.V menyebut banyak pasiennya yang menikah dini dan tinggal bersama.
“Saya tidak yakin, sudah menikah tidak bersama itu bagaimana? Pasien saya (datang periksa) ada yang masih dini (pasangan),” ungkap dr. Susanti yang turut memberi edukasi di wilayah Batuputih.
Dampak nyata yang terjadi di Batuputih diungkapkan oleh Imam Ali Fikri seorang Kepala Sekolah di wilayah tersebut. Ada siswanya yang dinikahkan dini dan berujung tak mampu berkonsentrasi bahkan putus sekolah karena beban ganda sebagai suami atau istri dan sebagai siswa.
“Kalau saya sendiri melihat, sebagai yayasan di sini kadangkalanya itu tidak konsentrasi. Kadangkalanya yang istri keluar duluan, suaminya menunggu. Kalau suaminya keluar duluan, istrinya menunggu. Intinya kurang konsentrasi. Lebih baik menurut saya pernikahan dini itu dihentikan saja,” tegas Imam Ali Fikri.
Tak jarang pernikahan dini berujung perceraian karena ketidakmampuan dalam menanggung beban ekonomi keluarga.
“Yang saya ketahui kalau pernikahan dini kadang kalanya ada yang terus ada yang cerai, cuma kebanyakan pernikahan dini di sini ada yang cerai kalau tidak disetujui oleh pihak orang tua. Kalau misalnya orangtuanya setuju pernikahan dini itu ada terus. Kalau setuju dari orangtuanya itu tidak keberatan, kalau orangtuanya memberi nafkah di rumahnya kepada dua anak itu ya tidak keberatan,” tambahnya lagi.
Pernikahan dini yang tumbuh subur di Sumenep juga terjadi karena minimnya edukasi. Masyarakat nyaris tak tersentuh dengan pemahaman dampak pernikahan dini.
“Penyampaian edukasi pemahaman pernikahan dini dari pihak sekolah itu ada, namun masyarakat itu sebagian besar masih belum mengerti,” punkasnya.
Peliknya kondisi pernikahan dini itu menjadi salah satu persoalan yang wajib diselesaikan. YTBN yang menjalankan misi kemanusiaan melakukan pendampingan Psikoedukasi Pernikahan Dini kepada masyarakat dan siswa. Angela Pontororing, sebagai person in charge (PIC) pendampingan tersebut menjelaskan bahwa anak-anak sebenarnya memiliki mimpi tinggi. Namun budaya telah merenggut cita-cita tersebut.
“Sebenarnya sudah sadar bahaya pernikahan anak dan juga mereka memiliki mimpi yang sangat tinggi. Ada yang ingin menjadi guru, YouTuber, influencer, mereka mempuanyai mimpi yang tinggi dan ingin menyelesaikan pendidikan mereka. Cuma mungkin lebih banyak edukasi kepada orang tua dan masyarakat pelan-pelan untuk mengubah kebiasaan menikahkan anaknya di usia dini,” tutur Angela Pontororing.
Meski demikian, banyak kendala yang dilakukan oleh edukator maupun fasilitator seperti kendala bahasa dan budaya. Sebagian besar masyarakat di Batuputih kurang terampil dalam berbahasa Indonesia, mereka hanya menggunakan bahasa daerah. Sehingga YTBN menggandeng berbagai stakeholder lokal.
Menurut pengakuan Teguh Dwi Nugroho selaku Ketua YTBN, ada kendala dalam menangani masalah sosial di daerah 3T karena kondisi masyarakat yang homogen.
“Namanya daerah 3T, namun kalau kita menuju daerah tersebut tidak mau dipanggil daerah tertinggal, terpencil. Dan kita tahu kesenjangan pembangunan nyata antara di perkotaan, pedesaan, apalagi sampai ke daerah 3T, pembangunan di sana tidak dirasakan sama sekali. Pembangunan yang kita maksud adalah pembangunan hak dasar tadi. Untuk kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan,” jelas teguh.
“Dan biasanya di daerah 3T itu partikular atau spesifik penduduknya adalah homogen, Mereka semua satu: satu suku, satu agama, satu ras. Mereka semua sama dan biasanya mereka akan susah kita dekati karena biasanya kita datang dengan kebhinekaan kita datang dengan perbedaan. Tapi menurut saya itulah inti dari Bakti Nusantara datang ke daerah 3T, kita mau memberi tahu kalau berbeda itu tidak apa-apa. Kebaikan yang kita tanam dengan sangat dalam di daerah 3T. Dengan dasar kebaikan, kita mau memberikan mereka insight atau masukan bahwa kebaikan itu bisa dilakukan oleh semuanya dengan dasar berbeda tidak apa-apa,” pungkasnya.
Penulis: Meigitaria Sanita