Tag Archive for: self education

Reading Time: 2 minutes

Every worship is not just a ritual. Worship that is ritualistic has an important mission, namely the formation of noble character, morality and Akhlakul karimah. Like a tree, a ritual is a trunk that will branch and bear sweet fruit in the form of morals that manifests itself in social solidarity.

The theme of social solidarity was raised during the Syawalan Online which was held by the Family of the Faculty of Psychology and Socio-Cultural (FPSB) of the Islamic University of Indonesia (UII) on Saturday, June 5, 2021. This online Syawalan present KH Dr. Tulus Musthofa, Lc., MA was attended by all teaching staff of FPSB UII education staff, also by representatives of parents of FPSB UII students.

Mustafa emphasized that the main purpose of sending the Prophet Muhammad in the world was to perfect morals. Noble morality is the main thing as a tree has roots, there are branches, leaves, finally fruit. While the will and the main stem are rituals such as prayer, fasting, zakat, and hajj. While the fruit has a noble character. “Behind the ritual there is prayer, there are values ​​of leadership, sensitivity to questions, discipline, faith, and so on. Behind fasting there is sincerity, self-control, introspection, and so on,” said Mustafa.

To measure ourselves whether we already have noble character or not is to check ourselves whether we are able to act and do good reflexively or not. People who have been able to behave and act well, reflexively, have good morals in them. Mustafa refers to Imam Ghozali to define what morality is. Derived from the word khuluk, namely the nature embedded in the soul that encourages the birth of change easily, lightly, without consideration and deep thoughts.

Noble morality can be formed in a process that is not short. According to Mustafa, there are three processes that must be followed.

The first process is to rid oneself of lust. This is not easy because every human being is given lust by Allah swt, but humans must be able to control it to eliminate his lust even though the desire is still in him.

The second process is self-education. This process is definitely not easy because educating yourself requires high consistency. Not just once or twice, but continuously. The third is a positive atmosphere or environment. A positive environment will make it easier for someone to behave and get used to life in a certain way.

Social solidarity can be grown with these three processes. Social solidarity is not only done during the holy month. But the holy month should be a trigger to foster social solidarity. “Prophet Muhammad SAW was the most generous person. And during Ramadan, his generosity is like a strong wind,” Mustafa said.

“Philanthropy can be with material possessions. But what if I have no possessions? It can be by helping other people’s work with energy. What if you still can’t use energy? You can invite kindness. But what about uneducated? If so, don’t do anything bad. It’s already sodakoh/ islamic philanthropy,” said Mustafa explaining the types of philanthropy.

Charity is not only by providing assistance and care for orphans, the elderly, widows, and special needs. Concern for these three categories is primary. But solidarity in the form of freeing servants, feeding the hungry, defending the oppressed, and supporting people with special needs are also essential. “It’s not my group that people don’t pay attention to the problems of the people,” said Mustafa following the Sunnah of Rasulullah.

 

Reading Time: 2 minutes

Setiap ibadah tidak semata ritual. Ibadah yang sifatnya ritualpun punya misi penting yaitu pembentukan akhlak mulia, akhlakul karimah. Ibarat pohon, ritual adalah batang yang akan bercabang dan berbuah manis berupa akhlak yang mengejawantah salah satunya pada solidaritas sosial.

Tema solidaritas sosial ini mengemuka saat Syawalan Daring yang diadakan oleh Keluaga Besar Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu, 5 Juni 2021. Syawalan daring ini menghadirkan K.H. Dr. Tulus Musthofa, Lc., MA dihadiri oleh seluruh staf pengajaran tenaga kependidikan FPSB UII, juga oleh wakilorangtua mahasiswa FPSB UII.

Mustafa menegaskan tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad di dunia adalah untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak mulia adalah hal pokok sebagaimana Pohon ada akar, ada dahan, daun, akhirnya buah. Sedangkan akan dan batang utamanya adalah ritual seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Sadangkan buahnya adalah akhak mulia. “Di balik ritual ada sholat, ada nilai kepemimpian, sensititas soal, disiplin, keimanan, dan lain-lain. Di balik puasan ada ikhlas, pengendalian diri, mawas diri, dan sebagainya,” ungkap Mustafa.

Untuk mengukur diri apakah kita sudah memiliki akhlak mulia atau belum adalah dengan mencek diri apakah kita sudah mampu bersikap dan berbuat baik secara reflek atau belum. Orang yang sudah mampu bersikap dan bertindak baik secara reflek atinya dalam dirinya sudah tertanam akhlak yang baik. Mustafa merujuk Imam Ghozali unruk mendefiniskan apa itu akhlak. Berasal dari kata khuluk yakni sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorong lahirnya peruabahan dengan mudah, ringan, tanpa pertimbangan dan pikiran mendalam.

Akhlak Mulia dapat terbentuk dengan proses yang tidak sebentar. Menurut Mustafa, ada tiga proses yang harus dilakui. Proses pertama adalah membersihkan diri dari nafsu. Hal ini tidaklah mudah karena setiap manusia diberi nafsu oleh Allah swt, tetapi manusia harus mampu mengendalikannya untuk menghilangkan nafsunya meskipun keinginannya masih ada dalam dirinya.

Proses kedua adalah mendidik diri (self education). Dalam proses ini pastilah tidak mudah karena mendidik diri butuh konsistensi yang tinggi. Bukan hanya sekali dua kali saja, tapi terus menerus. Ketiga adalah atmofer atau lingkungan positif. Lingkungan hidup positif akan mempermudah seseorang untuk berrsikap dan membiasakan hidup dengan cara tertentu.

“Bukan termasuk golonganku orang yang tidak perhatian pada pada persoalan-persoalan umat,” kata Mustafa mengikuti sunah Rasululah.

Solidaritas sosial dapat ditumbuhkan dengan tiga proset tersebut. Solidaritas sosial tak hanya dilakukan saat bulan suci saja. Tapi bulan suci harusnya menjadi pemicu untuk menumbuhkan solidaritas sosial. “nabi muhammad SAW itu orang yang paling dermawan. Dan ketika Ramadhan, kedermawanan beliau seperi angin kencang,” kata Mustafa.

“Kedermawanan bisa dengan harta benda. Tapi bagaimana jika saya tidak punya harta? Bisa dengan membantu pekerjaan orng lain dengan tenaga. Bagaimana jika masih tak bisa menggunakan tenaga? Bisa dengan mengajak kebaikan. Tapi bagaimana tak berilmu? Jika sudah begitu, jangan berbuat buruk. Itu sudah sodakoh,” kata Mustafa menjelaskan jenis-jenis sodakoh.

Bersodakoh tak hanya dengan memberikan bantuan dan kepedulian tehadap menyantuni yatim, jompo, janda, kebutuhan khusus.  Kepedulian pada tiga kategori ini adalah utama. Tapi solidaritas dalam bentuk memerdekakan hamba, memberi makan yang lapar, membela yang terhimpit, menyantuni orang berkebutuhan khusus juga pokok. “Bukan termasuk golonganku orang yang tidak perhatian pada pada persoalan-persoalan umat,” kata Mustafa mengikuti sunah Rasululah.