Digitalisasi tumbuh subur, netizen di Indonesia sangat mudah mengakses berbagai informasi melalui berbagai platform media sosial melalui Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, TikTok, bahkan WhatsApp Group.
Pada dasarnya alasan netizen mencari informasi pada platform tersebut lantaran kemudahan dan dengan kebiasaan sehari-hari. Mengakses media sosial telah menjadi rutinitas bahkan dari survei LIPI tahun 2018 setidaknya 3 jam 23 menit telah dihabiskan oleh netizen mengakses media sosial.
Tak mengherankan jika derasnya arus informasi membuat oversharing hingga menciptakan budaya “bar-bar” pada masyarakat itu sendiri. Intinya masyarakat mulai beralih dari media rujukan utama ke media sosial karena kemudahan.
Bahkan bisa dikatakan netizen justru sedikit yang merujuk informasi pada RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal.
Mengapa hal itu bisa terjadi, apakah karena Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia mulai tak pasti?
Pada momen peringatan satu dekade Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) bekerja sama dengan Prodi Ilmu Komunikasi UII menggelar diskusi yang bertajuk “Masa Depan Lembaga Penyiaran Publik” pada Jumat, 10 Februari 2023 di Kafe Ra Kopiran Yogyakarta.
Diskusi tersebut membahas persoalan kompleks dalam Lembaga Penyiaran Publik (LPP). Mulai dari pendanaan, regulasi, hingga independensi LPP itu sendiri.
LPP merupakan lembaga penyiaran berbadan hukum yang didirikan oleh negara bersifat independen, netral, dan tidak komersial. LPP berfungsi memberkan layanan bagi kepentingan masyarakat seperti TVRI, RRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL).
Masalah yang dialami LPP terutama LPPL
Darmanto pendiri Rumah Perubahan menyebutkan jika sengkarut soal diskriminasi yang terjadi di daerah terutama perihal perizinan dan pendanaan perlu segera diselesaikan.
“Yang berbeda LPPL, disertasi saya tentang LPPL kondisinya komplek. Paling jelas bahwa LPPL mengalami diskriminasi. Dari proses perizinan, sama dengan swasta sementara RRI dan TVRI tidak. Kedua beban regulasi yang berat,” terang darmanto membuka diskusi.
Menurutnya masalah ini akan berpengaruh terhadap masyarakat yang akan kehilangan panduan rujukan utama. Sehingga butuh skema baru demi Lembaga Penyiaran Publik yang kuat.
“Masyarakat kehilangan panduan dalam rujukan utama. Kita perlu ada satu skema baru agar Lembaga Penyiaran Publik lebih kuat. Saya melihat ada kekuatan netizen dangkal, penuh amarah merusak demokrasi itu sendiri,” tambahnya.
Berdasarkan artikel yang dituliskan oleh Dosen Ilmu Komunikasi UII sekaligus pendiri Rumah Perubahan Masduki menyebut jika memasuki ulang tahun ke-10, tantangan terberat bagi advokasi penyiaran publik di Indonesia adalah kondisi RRI dan TVRI yang semakin tidak pasti, juga kondisi serupa pada LPP lokal. Hal ini terjadi lantaran negara tidak hadir dalam mengupayakan hak publik atas konten berkualitas di media publik.
Gagasan dan upaya mengurai masalah
Beberapa ide gagasan yang muncul dalam diskusi siang itu cenderung mengarah, berbagai praktisi dari LPPL berkumpul menyuarakan kendala yang dihadapi dan mulai menyusun strategi.
Konten
Salah satunya Alan Kosdana dari Batik TV Pekalongan, Ia menyebutkan jika memang netizen di Indonesia sangat “super power”. Batik TV tempat Ia bekerja merupakan media milik dinas yang kini terus membuat inovasi demi tetap hidup.
- “Posisioning Batik tv itu dimana. Batik tv selain dari dinas, harus menjaga Marwah. Mau tidak mau kita harus menyesuaikan dengan market, karena denial kalau tanpa model bisnis yang jelas. Kebutuhan masyarakat goalnya adalah keterbukaan dari publik,”
- “Netizen super power. Taktisnya, kita selalu mempunyai program dekat dengan masyakarat 6 kota di daerah tersebut. Biar kita relate dengan masayarakat,”
- “Konvergensi media sama dengan konvergensi value. Tapi sering terlewat valuenya tidak terkonvergensi. Kebutuhan masyarakat terpenuhi,” tandasnya.
Paulus Widyanto juga menyebutkan soal masa depan LPP yang harus menjadi penggerak.
- “Masa depan Lembaga Penyiaran Publik harus menjadi penerbit terbaik, penggerak trending, intergrated, memori arsip platform.”
Regulasi
Menurut Dewi Hernuningsih yang turut menyuarakan soal politisasi yang terjadi dalam kepengurusan dan menghambat kinerja LPP independen dan netral.
- “Didalam pemilihan Dewan Pengawas oleh DPR maka didalam pemilihan itu sudah ada nuansa-nuansa politisasi,”.
- “Mestinya ada pengawasan itu, politisasi ada sejak saat itu, proses assessment kompetensi, tpa, termasuk proper tes. Saya merasa itu syarat politisasi,”
- “Saya ingin menyampaikan harusnya saling dukung malah bisa saling menjatuhkan jika tidak memiliki hubungan dan komunikasi yang baik. Karena merasa diatas bisa melakukan apapun,”
Ia menyebut jika politisasi menjadi sumber konflik sehingga muncul paradok UU dan PP di struktur organisasi, lantaran Dewas berada pada posisi paling tinggi yakni mengawasi dan menetapkan.
Masduki juga menyebutkan perlu
- “Indonesia membutuhkan sebuah institusi Lembaga yg benar-benar pro kepada publik dalam hal ini media. Kita dihadapkan dalam suatu hal yang komplek, dikuasai swasta”
- “Sekarang dikuasai penumpang gelap dari digitial, dan kita menghadapi krisis literasi, krisis bermedia secara sehat. Rumah perubahan sejak awal berada pada ideologi striktural. Bahwa pemerintah harus hadir. Masyarakat di Indonesia cenderung powerless.”
- “Dimana negara harus memberi dukungan uu khusus, negara memfalistisi public fund. Sekarang kompetisi pasar terbuka.”
- “Kita fokus trenasformasi kelembagaan, transformasi pola pikir dan platform digital. Kita punya modal sosial.”
Perlu diketahui Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RPLPP) merupakan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang bersifat non-profit dan didirikan untuk mendorong percepatan transformasi terwujudnya Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang independen, kuat, profesional, dan berstandar internasional.
Lembaga ini dibentuk pada tanggal 23 Februari 2013 di Yogyakarta. Para pendiri dan pengelola lembaga ini terdiri dari orang-orang yang memiliki komitmen untuk memajukan demokrasi melalui penguatan Lembaga Penyiaran Publik.