Tag Archive for: Prof fathul Wahid

Museum
Reading Time: 3 minutes

Rangkaian agenda milad ke 20 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) beriringan dengan prosesi pengukuhan jabatan akademik tertinggi Prof. Dr. rer. soc, Masduki, S.Ag., M.Si., MA pada 25 Juni 2024.

Atas pengukuhan tersebut, Prof. Masduki bersama kolega aktivis pers dan seniman berinisiatif membuat Pameran Arsip Moeseoem Pers Jogjakarta dengan menggandeng media lokal Kedaulatan Rakyat. Pameran itu menampilkan arsip-arsip berita yang ditulis koran Kedaulatan Rakyat pada rentang tahun 1945 hingga 2012, dengan kurasi berita terkait transisi kemerdekan Indonesia, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Pameran berlangsung mulai 25 Juni hingga 15 Juli 2024 di Perpustakaan Kampus Terpadu UII.

Di hari pertama pembukaan pameran, peluncuran buku bejudul Negara, Media, dan Jurnalisme di Indonesia Pasca Orde Baru yang ditulis Prof. Masduki menjadi penyemarak milad ke 20 Prodi Ilmu Komunikasi. “Menjamboet Pengoekoehan Goeroe Besar Masduki& 20th Program Stoedi Ilmoe Komunikasi UII Jogjakarta” keterangan dalam poster bertema jadul itu.

“Sebetulnya saya tidak menulis sesuatu yang baru, ini merupakan tulisan kompilasi di Facebook, artikel ringan di koran, dan catatan-catatan pribadi selama 10 tahun terakhir. Saya tawarkan ke penerbit Kompas apakah ini bisa diterbitkan ternyata bisa dan saya tidak membayar apapun,” ujar Prof. Masduki.

Istilah Negara dalam judul buku tersebut mengacu pada posisinya yang diharapkan mempu melindungi pers, namun fenomena yang terjadi di Indonesia justru menjadi predator.

Pameran

Pameran Arsip Museum Pers, Foto: Siti Maisaroh Yurafida

Apa Kata Mereka?

“Kita bicara Yogyakarta, mestinya Yogya adalah miniature Indonesia dan disinilah program studi Ilmu Komunikasi memberikan warna dan harapannya kita terlibat dengan sejarah-sejarah aktivisme dan tentu saja intelektualitas yang bermuara pada spektrum pemberdayaan di bidang informasi dan komunikasi”

Iwan Awaluddin Yusuf, Ph.D – Kaprodi Ilmu Komunikasi

Saya gembira karena ini momentum yang luar biasa, momentum besar peluncuran buku yang melegitimasi bidangnya Mas Ading (Masduki) media dan jurnalisme. Kedua adalah pameran, dan yang ketiga bonusnya 20 tahun Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Tidak selalu mudah tapi harus ada yang melakukan, apa yang ditulis oleh Mas Ading yang terdokumentasikan melalui buku ini adalah bagian dari itu (perjuangan) bagaimana mengingatkan yang di atas (pemerintah). Ini peran aktivisme inteltualitas yang meng-atas tapi ada cara yang lain kalau belum berani ke atas ini cara aktivisme intelektual menyamping menyampaikan yang benar untuk mengedukasi khalayak publik yang sempat dibahas Mas Ading kebebasan akademik level ketiga sifatnya demokratik tidak utilitarianisme. Dan saat ini yang tampaknya menjadi barang mewah karena jarang sekali kita temui intelektual yang selain kaya gagasan juga berani melantangkan pesannya di ruang publik” 

Prof. Fathul Wahid – Rektor Universitas Islam Indonesia

“Dugaan saya buku ini menggunakan pendekatan kritis melihat posisi negara terhadap bagaimana media dan bagaimana jurnalis dihadapan negara dan diperlakukan oleh negara pasca orde baru”

Dr. Suparman Marzuki – Ketua Umum Pengurus Badan Wakaf UII

“Di jaman sekarang orang punya pandangan hidup, daya hidup, dan ilmuan yang hidup itu langka. Oleh karena itu saya datang untuk menghormati tiga hal itu. Yang sudah langka betul dan membosankan datang ke kampus-kampus yang penuh basa-basi di jaman ini keilmuannya penuh basa-basi dan hanya utilitarianisme dan science dan bagi saya tidak menghidupkan diri saya jadi saya memberi hormat atas pandangan hidup, daya hidup, dan ilmuan hidup. Kalau ngomong jurnalisme sebenarnya ada tiga hal yang paling dasar ada profesionalisme, supremasi hukum, dan demokrasi dan tiga itu juga berusaha dihidupi oleh seorang Masduki yang langka juga. Saya datang karena saya tahu menghidupi itu dalam pengertian jurnalisme ketiganya syarat mutlak itu juga tidak mudah”

Garin Nugroho – Sutradara Indonesia

“Berawal dari pertanyaan mengapa di Yogyakarta tidak ada museum pers, alih-alih berfikir bangunan museum yang kami rasa itu terlalu susah untuk mengelola sebuah bangunan museum maka kita melakukan kerja-kerja materi yang bisa kita kerjakan bersama akademisi (Prof. Masduki), rekan pers (Sinta Maharani), saya, dan Pitra Ayu. Kami memutuskan untuk mengajak Kedaulatan Rakyat karena satu-satunya media yang dari duku sampai saat ini masih eksis. Setelah diskusi kita mengambil tema transisi”

Anang Saptoto – Seniman dan Kurator Pameran