Tag Archive for: Pemilu 2024

Pemilu 2024
Reading Time: 3 minutes

Masyarakat Indonesia telah “menunaikan ibadah” memilih pemimpin Indonesia untuk periode 2024-2029. Februari 2024 menjadi momentum pesta politik telah terlaksana, hasil quick count menunjukkan jika pasangan Prabowo Soebianto dan Gibran Rakabuming Raka unggul dari berbagai lembaga survei. Terlepas dari hasil Pemilu 2024, ada hal-hal menarik yang menjadi tren akhir-akhir ini termasuk deretan kata yang kerap muncul. Apa saja kata-kata tersebut?

Seperti kita tahu ada tiga pasang kandidat capres cawapres dalam pesta politik tahun ini. Mereka adalah Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Ketiganya memiliki ide dan gagasan yang menarik, namun tak sedikit yang menuai pro kontra.

Ide dan gagasan para kandidat tentu mendapat respon dari publik, terutama di media sosial. Mengingat 70% masyarakat Indonesia mencari informasi terkait capres cawapres melalui media sosial. Hal ini memunculkan beberapa kata-kata populer yang mengiringi Pemilu 2024. Kultur media sosial yang sangat dinamis juga menjadikan beberapa kata-kata yang merujuk pada kandidat semakin populer.

Sebenarnya dalam kata-kata yang populer sepanjang Pemilu 2024, ada makna-makna implisit di dalamnya. Makna tersebut adalah bentuk ekspresi kegembiraan, perlawanan, hingga sindiran. Berikut deretan kata-kata yang menemani masyarakat Indonesia sepanjang Pemilu 2023.

Deretan Kata Populer Sepanjang Pemilu 2024

  1. Bansos

Bansos akronim dari bantuan sosial menjadi kata yang paling populer dalam beberapa pekan terakhir. Menurut istilah yang mengacu pada Kemenkeu, bansos adalah pemberian bantuan berupa uang maupun barang dari pemerintah kepada masyarakat dengan proses selektif dengan tujuan melindungi terjadinya risiko sosial.

Bahkan pada debat terakhir, Anies Baswedan 10 kali mengucapkannya, sementara Ganjar Pranowo sebanyak 6 kali. Bansos menjadi isu yang terus diperdebatkan karena dianggap sebagai alat kampanye untuk memenangkan salah satu kandidat. Hal ini merujuk pada kebijakan Presiden RI yang menyalurkan deretan bansos jelang Pemilu 2024.

  1. Makan Gratis

Makan gratis merupakan gagasan dari pasangan 02, pihaknya menjanjikan makan siang gartis beserta susu di sekolah. Hal tersebut dilakukan untuk kualitas gizi pada anak hingga memperbaiki SDM demi perbaikan ekonomi nasional.

Program unggulan tersebut diucapkan oleh Prabowo Soebianto sebanyak 8 kali pada debat terakhir. Meski demikian gagasan ini juga menuai pro kontra termasuk di media sosial. Banyak pihak yang menyambut baik, namun tak sedikit yang mengkritik karena berbagai alasan termasuk kesehatan hingga menganggap makan siang gratis tak relevan menjadi solusi mengatasi stunting.

  1. Gemoy

Gemoy adalah kata gaul dari kata gemas hingga menggemaskan. Bahkan gemoy menjadi kekuatan kampanye 02 dan sukses memenangkan hati pengguna media sosial. Gemoy merujuk pada fisik kandidat yang dinilai memiliki tindakan dan sikap menggemaskan karena kerap berjoget.

Menurut KBBI, gemas memiliki arti sangat suka atau cinta yang bercampur jengkel, dan sering digunakan untuk mengungkapkan perasaan kepada anak-anak. Alhasil banner gemoy menjadi tren dan viral dalam waktu sekejap.

  1. Abdi Negara

Abdi negara dalam hal ini bukanlah merujuk pada pegawai negeri sipil (PNS), melainkan pada petugas KPPS. Berbagai tren dan konten meme KPPS meredakan tensi publik terkait debat kusir di media sosial.

Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu 2024 seketika viral di media sosial karena insentif yang lebih tinggi dibanding periode sebelumnya. Konten sarkas menjadi bahan guyonan, hingga muncul kata abdi negara. Bahkan insentif ketua KPPS yang mencapai Rp 1,2 juta dalam sehari dianggap sebagai profesi mentereng yang mengalahkan PNS hingga profesi lainnya.

  1. Sat Set Tas Tes

Istilah Sat Set Tas Tes merupakan jargon dari pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, keduanya terpantau kerap mengenakan busana bertuliskan kata tersebut. Bahkan banyak marketplace yang menampilkan yang menyediakan produk fashion bertuliskan Sat Set Tas Tes.

Sat Set Tas Tes merupakan kata slang dari bahasa Jawa yang artinya cepat dalam menyelesaikan dan menanggapi sebuah masalah. Sehingga banyak pendukung pasangan ini turut mempopulerkan di media sosial.

  1. Wakanda no More

Wakanda no More, Indonesia Forever sempat ramai pada pertengahan Desember tahun lalu. Kata-kata ini diucapkan oleh Anies Baswedan kala meyakinkan publik terkait komitmennya dalam menjaga kebebasan berpendapat.

Bahkan kata-kata tersebut sempat trending di media sosial X kala itu. Sebagai informasi Wakanda sering diidentikkan dengan kondisi Indonesia yang antah berantah. Wakanda diambil dari film populer Disney Marvel yakni Black Panther: Wakanda Forever.

Itulah deretan kata-kata populer yang mengiringi pesta politik 2024, menurutmu kata apalagi yang lebih populer Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Milad UII
Reading Time: 3 minutes

Usia ke-81 Universitas Islam Indonesia (UII) dirayakan dengan euforia yang berbeda. Ada pita putih yang disematkan pada lengan kanan para anggota senat saat menghadiri Rapat Terbuka Senat. Pita putih adalah simbol kedukaan, keprihatinan, dan kesedihan.

Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D., membukanya dengan laporan pencapaian dan prestasi sepanjang tahun 2023. Idealnya milad disambut dengan penuh kebahagiaan dan suka cita, namun dunia akademik tak boleh menutup mata terkait kondisi krisis yang tengah terjadi.

UII mengajak seluruh elemen untuk merespons duka demokrasi yang mengiringi Pemilu 2024. Prof. Fathul Wahid menyebut bahwa kondisi ini butuh respons dari berbagai pihak agar suara rakyat tak digantikan kepentingan kelompok.

“Perkembangan praktik berbangsa dan bernegara dalam beberapa saat terakhir perlu mendapatkan perhatian banyak elemen bangsa. Praktik tersebut telah secara perlahan meminggirkan suara rakyat dan digantikan kepentingan kelompok dan oligard tertentu. Itulah mengapa hari ini anggota senat menggunakan pita putih sebagai tanda duka. UII baik sendiri maupun bersama-sama perguruan tinggi lain juga menjaga sensitivitasnya terhadap masalah bangsa dan menyatakan sikapnya. Sepanjang 2023 UII mengeluarkan sejumlah pernyataan sikap yang diamplifikasi oleh banyak media masa,” jelasnya.

Tak hanya pita putih, pihaknya juga menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat Palestina yang tengah menghadapi kejahatan manusia atas serangan Israel. Ada yang menarik, sejenak Prof. Fathul meminta izin kepada audiens untuk mengambil keffiyeh yang diidentikkan simbol perlawanan warga Palestina.

Ribuan nyawa melayang didominasi perempuan dan anak-anak atas agresi Israel. Melalui program UIIPeduli penggalangan dana terkumpul sebanyak Rp 515.439.544.

“UII juga mengawal inisiatif UIIPeduli yang memberikan bantuan kemanusiaan saat bencana melanda. Pada 7 November tahun lalu bantuan UIIPeduli sejumlah 500 juta untuk Palestina diberikan melalui Medical Emergency Rescue Comitee. Selama agresi Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023 sebanyak lebih dari 28 ribu nyawa melayang sebagian besar korban yang meninggal adalah anak-anak dan perempuan. Kita tidak tahu sampai kapan agresi ini berlangsung ketika dunia negara-negara besar menunjukkan hipokrisinya. Hari ini saya sengaja memakai keffiyeh Palestina untuk menunjukkan kepedulian kepada penduduk Gaza,” ujarnya lagi.

Makna Pita Putih dalam Konteks Politik di Indonesia

Lebih detail simbol pita putih dijelaskan oleh salah satu anggota senat sekaligus guru besar Ilmu Komunikasi UII yakni Prof. Dr. rer. soc. Masduki, S.Ag., M.Si., MA. Pita putih adalah bentuk dan upaya untuk melakukan kampanye damai di tengah pesta politik di Indonesia.

Sejatinya demokrasi dilakukan dengan ketulusan tanpa ada represi dan intervensi. Tentu hal ini mengarah dari berbagai fenomena yang mengiringi perjalanan Pemilu 2024 yang begitu serampangan.

“Putih bisa dimaknai dua hal. Pertama putih sebagai kampanye damai atau peace. Bagaimana kita menyampaikan pesan bahwa seharusnya pilpres atau demokrasi di Indonesia secara umum diwarnai dengan ketulusan kedamaian hati jiwa dan juga cara-cara yang damai tidak ada intervensi, tekanan represi, tidak ada upaya-upaya untuk manipulasi semua berangkat dari keinginan tulus bahwa kita ingin negara ini kokoh sebagai negara demokratis yang itu merupakan amanat Reformasi 98 jadi putih bisa bermakna demikian,” ujarnya.

Selanjutnya adalah makna duka dalam konteks demokrasi demi melanggengkan dinasti politik segala cara dikerahkan hingga memaksimalkan fasilitas negara sebagai pendukung untuk meyakinkan masyarakat. Fenomena saat ini, negarawan yang seharusnya memberikan sikap bijaksana justru semakin tak beretika.

“Yang kedua tentu simbolis kedukaan yang lebih utama dirasakan hari-hari ini. Biasanya kalau ada orang meninggal itu ada bendera putih, yang artinya kita kehilangan, kita sedang tidak berada dalam situasi yang normal kita sedang merefleksikan kondisi yang sangat menyedihkan. Kematian adalah sutu peristiwa yang menimbulkan duka mendalam yang digambarkan dengan warna putih itu. Terhadap apa? Terhadap proses-proses pemilu yang hari ini tidak menunjukkan etika publik terutama dari kepala negara presiden. Mungkin ini peristiwa yang hanya sekali terjadi dalam sejarah kita,” jelas Prof. Masduki.

UII sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk membela rakyat dan melakukan perlawanan. Cara ini dilakukan melalui perlawanan damai, harapannya simbol ini mampu dicerna dandipahami oleh pemegang otoritas politik negeri ini.

“Apa makna lain yang dilakukan guru besar kemarin, dan anggota senat UII ketika ada acara puncak milad bahwa ini bentuk perlawanan secara damai. Perlawanan simbolis, dengan menggunakan pita putih di lengan kanan masing-masing anggota senat khususnya guru besar menunjukkan kita tidak happy, tidak seperti biasanya. Kita tidak merasa bahwa ini normal simbol putih itu satu perlawanan satu isyarat yang mudah-mudahan bisa dicerna oleh pemegang otoritas politik terutama kalau hatinya jernih. Dan ini juga pertama kali dilakukan di UII, ini kreativitas Pak Rektor kita yang perlu kita apresiasi,” pungkasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

Milad UII
Reading Time: 2 minutes

Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai universitas swasta tertua di Indonesia tahun ini memasuki usia ke-81 tepat pada 9 Februari 2024. Perayaan ini disampaikan pada Rapat Terbuka Senat UII Senin, 12 Februari 2024.

Pada kesempatan tersebut Rektor UII yakni Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D., menyampaikan berbagai laporan perkembangan UII sepanjang tahun 2023 serta mengumumkan momentum Milad ke-81 UII yang bertajuk Dedikasi untuk Negeri. Tema tersebut diambil sebagai pengingat dan komitmen bagi seluruh sivitas akademika UII untuk selalu berkomitmen kuat dalam menjalankan peran UII sebagai perguruan tinggi yang unggul untuk para cendekiawan dan calon pemimpin bangsa di masa depan.

Tak hanya capaian dan komitmennya, UII juga memberikan berbagai penghargaan kepada dosen, tenaga pendidik, serta Program Studi dan Jurusan pada puncak acara. Salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si., Ph.D., meraih juara ke-2 dosen berprestasi bidang Sosial Humaniora.

Di tengah kesibukannya sebagai Kaprodi Ilmu Komunikasi UII, ia menyebut bahwa capaian ini menjadi motivasi untuk tetap produktif di tengah-tengah tumpukan pekerjaan administratif yang menjadi tanggung jawabnya.

“Tentang pencapaian saya sebagai dosen berprestasi kedua bidang sosial humaniora ini adalah bentuk pencapaian bersama untuk prodi Ilmu Komunikasi sekaligus saya berharap mudah-mudahan prestasi ini menjadikan saya lebih produktif dan meyakinkan banyak pihak bahwa di tengah jabatan dan amanat yang sangat sibuk ini kita tetap bisa produktif. Hal tidak mudah, Alhamdulillah bisa,” ungkap Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.

Di tengah euforia Milad UII ke-81 tersebut ada sisi yang berbeda, usai menyampaikan rasa syukurnya Kaprodi Ilmu Komunikasi juga mengutarakan pelaksanaan Sidang Senat Terbuka UII yang memberikan respons terhadap situasi Indonesia dan dunia yang tak baik-baik saja.

Hal ini juga ditunjukkan dengan simbol pita putih di lengan kanan yang digunakan oleh seluruh anggota senat. Pita putih adalah simbol duka demokrasi Indonesia serta duka yang dialami dunia terutama kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Palestina.

“Sidang Senat UII dalam rangka Milad ke-81, UII menunjukkan sisi yang berbeda dari biasanya karena ada ekspresi keprihatinan terkait beragam situasi yang pertama situasi politik di Indonesia yang tidak demokratis berkaitan dengan kondisi menjelang pemilu.

Respons ini penting dilakukan dan membutuhkan perhatian dari berbagai elemen bangsa. Duka demokrasi di Indonesia adalah praktik yang tak bisa dianggap sederhana karena perlahan telah meminggirkan suara rakyat.

Terkait kondisi agresi Israel di Gaza, melalui berbagai program tengah diupayakan oleh UII. Ini adalah bentuk respon, kepedulian, serta inistiatif mengajak semua pihak untuk tidak tutup mata atas situasi yang terjadi di sekitar kita.”

“Kemudian yang kedua keprihatinan juga atas kondisi saudara-saudara kita di Palestina ini yang menarik disampaikan oleh Pak Rektor sebagai bentuk keprihatinan jadi ini sekaligus menjadi penanda dunia akademik tidak boleh tutup mata terhadap berbagai situasi di sekitar kita sebagai kepedulian kaum akademik terhadap kondisi lingkungan baik lokal, nasional, maupun global,” tandasnya.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Gen Z
Reading Time: 3 minutes

Gen Z menjadi target paling serius yang diincar oleh deretan kandidat capres dan cawapres pada Pemilu 2024. Bukan tanpa alasan Gen Z menempati urutan ketiga dengan jumlah 46,8 juta sebagai pemilih dalam pesta politik tahun ini.

Gaya kampanye para kandidat capres dan cawapres juga terkesan dibuat penuh humor, asyik, dan santai demi menarik Gen Z. Namun sudahkah kandidat capres dan cawapres memenuhi ekspektasi Gen Z soal politik di Pemilu 2024?

Upaya menampilkan kampanye Gemoy, Selepetan Sarung, dan Salam Tiga Jari yang masif di media sosial justru dianggap tak memberi informasi yang cukup bagi Gen Z. Cara tersebut dinilai menutup rasionalitas pemilih muda.

“TPN hanya memperlihatkan yang gemoy-gemoy dari Prabowo, kemudian Anies hanya yang intelektual saja, kemudian rekam jejak Ganjar sebagai gubernur Jawa Tengah nggak kelihatan, hanya kulit-kulitnyaa saja diterima anak muda. Sehingga anak muda hanya memilih berdasarkan emosi, tidak lagi memilih secara rasional,” terang Nina Andriana, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN dilansir dari laman BBC Indonesia.

Jika menilik data Indonesia Gen Z Report 2024 yang dirilis oleh IDN Research Institute, Gen Z dijuluki sebagai native digital lantaran kehidupan mereka memang diciptakan di media sosial, mulai dari interaksi, membentuk komunitas, hingga melampaui batasan geografis. Setidaknya 6 hingga 10 jam waktu Gen Z digunakan untuk mengkases media online setiap harinya.

Sementara media sosial yang paling sering diakses adalah Instagram yang mencapai 52% (pengguna perempuan) dan 53% (pengguna laki-laki), posisi kedua TikTok dengan presentase 36% (pengguna perempuan), 29% (pengguna laki-laki).

Jika memang ingin menggaet Gen Z, apa harus dengan cara-cara se-santai itu? Apalagi brutalnya para aktor menuju politik praktis di negeri ini menambah skor merah dalam mindset Gen Z. Jika para kandidat capres dan cawapres memang fokus kepada Gen Z ada baiknya membaca data terkait preferensi mereka terkait hal ini. Tercatat 15% Gen Z merasa sama sekali tidak puas dengan Demokrasi di Indonesia, 59% kurang puas. Sementara hanya 1,7% yang merasa sangat puas, dan 24,3% cukup puas.

Sebenarnya apa saja isu yang ingin disoroti oleh Gen Z pada Pemilu 2024? Setidaknya ada enam isu yang menjadi concern mereka pertama kesejahteraan 27,7%, kesempatan kerja 35%, pemberantasan korupsi 21,3%, demokrasi dan kebebasan sipil 5,7%, kesehatan 7%, lingkungan 2,3%, dan 2,1% lainnya.

Salah satu Gen Z mengaku ada kampanye kandidat yang selalu menghiasi laman Instagramnya meski ia tak mencari informasi terkait hal tersebut. Ia juga menambahkan jika akan memilih kandidat berdasarkan visi dan misi dari para kandidat.

“Bukan karena suka, tapi memang muncul-muncul terus. Kok gini sih cara kampanye jual nangis aku kurang suka” ujar Siti Maisaroh salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi UII.

Sementara Gen Z lainnya, menyebut jika laman media sosialnya dipenuhi dengan berbagai gimmick salah satu kandidat.

“Tergantung (kampanye yang muncul), condong paslon tertentu. Positif yang disukai, negatif untuk paslon lain,” ujar Arsila mahasiswa Ilmu Komunikasi UII.

Ia mengamini jika media sosial mampu menjadi ruang gimmick yang sempurna, salah satu temannya membuat konten di TikTok dan berujung mendapat hampers dari salah satu partai. Fenomena-fenomena seperti ini dianggapnya menutupi fakta dan tidak rasional.

“Gimmicknya menutupi fakta, gak rasional lagi. Temenku viral sampai FYP karena nangisin paslon, sampe dikirim paket (hampers) sama salah satu parpol pengusung,” ujarnya.

Ia berharap para kandidat menyadari jika Gen Z sebagai digital native adalah sosok yang rasional sehingga tak hanya konten gimmick yang ditampilkan namun juga edukatif dan interaktif.

“Justru Gen Z melek digital dan rasional, harusnya buat kampanye dengan cara edukatif, jelas memaparkan visi-misinya dan juga interaktif,” tandasnya.

Sebagai informasi kini para paslon mulai aktif membuka forum diskusi di berbagai daerah dengan nama-nama unik seperti Desak Anies, Gibran Mendengar, dan Tabrak Prof. Tak hanya itu mereka juga kerap berdiskusi di media sosial seperti live TikTok.

Lantas bagaimana pendapatmu terkait kampanye yang dilakukan oleh para kandidat capres dan cawapres Comms? Sudahkah memenuhi ekspektasi?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Hoaks
Reading Time: 2 minutes

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, deretan berita hoaks tersebar diberbagai platform termasuk media sosial. Sebut saja sharing yang kebabalasan di WhatsApp Group yang biasanya sangat sering terjadi.

Merujuk data yang dipublikasikan oleh Databoks KataData pada akhir tahun lalu, tercatat ada 96 berita hoaks terkait Pemilu 2024. Artinya dari 355 konten yang tersebar di media sosial sepanjang Juli hingga November 2023, 27 persennya adalah berita hoaks.

Sementara bulan Januari 2024 pasca debat capres dan cawapres yang menandai meningkatnya suhu politik di Indonesia juga diiringi dengan meningkatnya berita hoaks. Di laman kominfo.go.id deretan judul berita ini dikonfirmasi sebagai berita hoaks antara lain “Menkeu Sri Mulyani Sebut Indonesia Dimiskinkan karena Belanja Alutsista dan Biaya Kampanye Prabowo-Gibran”, “Prabowo Subianto Tolak Debat Ketiga”, “Pelajar SMP Divonis 7 tahun Penjara karena kritik Presiden Jokowi”, “Nama Anies Baswedan Masuk dalam Daftar Penikmat Uang Hasil Korupsi BTS Kemkominfo”, “Relawan Gibran Rakabuming Raka Aniaya Relawan Ganjar Pranowo”, dan “Menkopolhukam Mahfud MD Di-reshuffle”.

Deretan berita tersebut hanya sebagian dari puluhan konten hoaks yang telah dihimpun Kominfo dalam sepekan terakhir.

Faktanya berita hoaks selalu meningkat menjelang dan sesudah Pemilu. Hal ini juga terjadi pada Pemilu 2019. Puji Rianto, S.IP., M.A., salah satu dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang fokus dengan riset komunikasi dan politik menyebut saat itu platform media sosial yang paling rentan terhadap berita hoaks adalah Facebook.

“Penelitian PR2Media dan Kominfo 2019 menemukan bahwa hoaks akan tinggi terutama menjelang dan sesudah pemungutan suara. Platform untuk menyebarkan hoaks beraneka ragam, tetapi yang paling banyak waktu itu melalu Facebook,” ujarnya.

Alasan Mengapa Berita Hoaks Terus Diproduksi

Munculnya berita hoaks jelang Pemilu bukan tanpa alasan, kuantitasnya semakin meningkat mengikuti suhu politik yang menghangat. Dari paparan Puji Rianto, ada tiga alasan besar yang menjadi pemicu munculnya berita hoaks.

Berita hoaks berkaitan erat dengan kepentingan politik, sehingga hal ini justru menjadi komoditas yang tak terelakan. Ada transaksi ekonomi dalam pembuatan dan penyebaran berita hoaks.

“Pertama, hoaks telah menjadi komoditas. Artinya, ada pihak yang sengaja memproduksi hoaks demi kepentingan politik, dan itu sengaja di-manufacture oleh pihak tertentu. Ini berarti bahwa dalam proses produksi hoaks, ada pihak yang sengaja memproduksinya demi keuntungan ekonomi dan ada pihak yang bersedia membayar atas hal itu. Jadi, ada pabrikasi hoaks,” jelasnya.

Selanjutnya terkait dengan faktor rendahnya etika politik juga mendukung suburnya produksi berita hoaks di antara aktor politik. Etika politik dalam hal ini berkaitan dengan praktik, penilaian moral, dan tindakan politik.

“Alasan kedua, rendahnya etika politik. Komodifikasi dan pabrikasi hoaks tidak mungkin terjadi dalam situasi di mana para pelaku atau aktor-aktor politik taat pada etika atau menjunjung tinggi etika politik. Jika aktor politik menjunjung tinggi etika politik, maka tidak akan memproduksi informasi yang menyesatkan dan bahkan cenderung fitnah. Artinya, hoaks pada dasarnya muncul karena rendahnya etika politik,” tambahnya.

Terakhir, era post-truth juga memperparah penyebaran berita hoaks. Informasi yang berlimpah tak diimbangi dengan fakta-fakta objektif. Secara umum fenomena era post-truth adalah kondisi antara fakta diganti oleh daya tarik emosi dan prasangka pribadi untuk mempengaruhi opini publik.

“Ketiga, saat ini, kita masuk ke dalam era yang disebut post-truth. Orang percaya karena mereka ingin percaya, tidak peduli benar atau salah informasi yang mereka dapatkan. Rendahnya literasi digital turut membuat hoaks lebih mudah menyebar karena orang-orang kurang kritis. Namun, ini bukan satu-satunya sebab dari sudut pandang masyarakat. Ideologi, orientasi nilai, agama, dan seterusnya yang mendasari afiliasi politik terhadap partai atau tokoh juga sangat mungkin bukan hanya penyebar hoaks, tetapi juga memproduksi hoaks demi melayani kepentingan politiknya sendiri,” pungkasnya.

 

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Naruto
Reading Time: 5 minutes

Setelah deklarasi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam perhelatan pesta politik 2024 pemberitaan di berbagai platform dipenuhi dengan informasi seputar kandidat.

Informasi semakin beragam dan unik dalam membungkus berita terkait capres dan cawapres Pemilu 2024. Berbagai media pemberitaan membagikannya ke media sosial termasuk Instagram. Berita-berita unik tersebut menyajikan informasi terkait Gen Z yang mendominasi pemilih di Pemilu 2024, seputar zodiak, hingga Konoha.

Dengan informasi yang unik tersebut, nampaknya musim politik kali ini akan semakin menarik dan banyak obrolan canda tawa bagi pengguna media sosial.

Jika tak berubah pesta politik di Indonesia akan digelar pada 14 Februari 2024. Tercatat ada tiga pasang kandidat yang maju untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Nama-nama tersebut antara lain Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo bersama Mahfud MD, dan Anies Baswedan bersama Muhaimin Iskandar.

Menariknya, beberapa media tak hanya mewartakan kapasitas dan visi misi para calon kandidat, melainkan banyak informasi yang dibalut dengan guyonan, mitos, hingga cocoklogi seperti istilah Konoha.

Lantas mengapa muncul hal unik yang mungkin tak terjadi pada musim politik di tahun-tahun sebelumnya?

Benarkah Gen Z Mendominasi dalam Pemilu 2024?

Istilah Gen Z sering muncul pada musim politik kali ini, berbagai media menyebutkan jika jumlah pemilih pada Pemilu 2024 akan didominasi mereka. Benarkah demikian?

Mengutip dari Databoks Katadata, jumlah pemilih dalam Pemilu 2024 didominasi oleh Gen Z dan Milenial. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2024 yang jumlahnya sebanyak 204.807.222 pemilih.

Sebenarnya jumlah pemilih paling banyak adalah Milenial yakni 66,8 juta pemilih, disusul Generasi X 57,5 juta pemilih, dan ketiga Gen Z yang mencapai 46,8 juta pemilih. Sementara pemilih Baby Boomer sebanyak 28,1 juta, terakhir Pre-Boomer 3,6 juta pemilih.

Namun, mengapa Gen Z dianggap mendominasi? Sebenarnya batasan antara tahun kelahiran Gen Z awal dengan Milenial generasi akhir agak sedikit rancu. Jika Kemendikbud menyebut Gen Z adalah mereka yang lahir pada rentang tahun 1997-2012, berbeda dengan data KPU yang menyebut Gen Z adalah mereka yang lahir pada 1995 hingga 2000an.

Ada penggabungan jumlah Gen Z dan Milenial sehingga dianggap menjadi pemilih paling banyak atau mendominasi di Pemilu 2024.

Ditambah karakteristik dalam menggunakan media sosial antara Milenial akhir dan Gen Z tak jauh berbeda. Gen Z menggunakan media sosial untuk mencari berbagai informasi termasuk berita terkini. GWI, Lembaga market research USA menyebut jika Gen Z menggunakan media sosial untuk mencari jawaban. Mereka lebih memilih TikTok dan Instagram daripada Google untuk mendapatkan informasi dan saran.

Melansir dari IDN Research Institute, menyebutkan 5 topik yang paling banyak dibaca dan dicari oleh Gen Z di media digital adalah News and Politics sebanyak 20%, Entertainment 18%, Sports 11%, Education 8%, dan Music 8%.

Dengan dominasi pemilih Gen Z dan Milenial pada musim politik kali ini, tak hanya orasi kandidat yang merebut hati mereka melainkan pemeberitaan juga mengikuti preferensi Gen Z dan Milenial.

Pemberitaan Unik di Media Sosial

Pemberitaan unik turut menghiasi media sosial, beberapa media mempublikasikan berita tentang zodiak masing-masing kandidat hingga negeri Konoha yang diidentikkan dengan Indonesia.

Dalam media online Mojok.co, pihaknya membagikan informasi unik di akun Instagram dengan judul “Seberapa Cocok Capres dan Cawapres Dilihat dari Zodiaknya?”, dalam unggahan itu menyebutkan jika Anies Baswedan dengan Muhaimin Iskandar merupakan pasangan Taurus dan Libra analisis Mojok menyebutkan “Saling melengkapi dan dapat mengambil keputusan bersama. Taurus dan Libra juga dapat saling mengandalkandan kepercayaan antara keduanya sangat baik”.

Selanjutnya, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD adalah pasangan Scorpio dan Taurus. Mojok menuliskan “Scorpio dan Taurus punya kedekatan yang alami saling tarik menarik. Scorpio dan Taurus akan saling menghargai prioritas masing-masing”.

Terakhir, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka adalah pasangan Libra dengan Libra. Analisisnya menyebut “sesama Libra dapat menjadi pasangan yang serasi dan bertahan lama. Mereka saling menghargai dan dapat saling memahami satu sama lain”.

Tak hanya analisis saja, Mojok juga membagikan karakter zodiak masing-masing capres dan cawapres mulai seperti tidak menyukai konflik, ambisius, hingga tidak mudah menerima hal baru.

Unggahan pada 25 Oktober 2023 itu telah disukai lebih dari 2.700 pengguna Instagram, serta lebih cari 170 komentar.

Berbagai komentar justru menganggap hal ini bukan sebagai hal buruk melainkan guyonan yang menghibur.

“Persetan dengan rekam jejak dan program kerja, tidak menutup kemungkinan akan ada yang memilih berdasar zodiak,” tulis akun @pra_diptajati.

“Besok tambahin menurut Shio, golongan darah, weton, MBTI+data menurut ramalan tarot. Lumayan biar para fans berantemnya tambah seru,” tulis akun @antonying.

Ternyata, sehari sebelumnya media online Tempo.co juga mengunggah konten yang sama pada akun Instagram resminya dengan judul “Zodiak Capres-Cawapres di Pemilu 2024”. Unggahan itu disukai lebih dari 6.600 pengguna Instagram, dengan lebih dari 500 komentar.

Tak terlalu menuai kontra, netizen justru menganggap informasi ini lebih menghibur dan diterima tanpa banyak adu mulut di kolom komentar antar pendukung.

“Mungkin maksud Tempo, zodiak lebih masuk akal dibanding janji-janji politikus,” tulis akun @rima_julianii.

“Seger banget postingannya min, sukak sering-sering dong,” tulis @emilapalau.

“Si paling romantis dan paling setia mendominasi bursa Presiden tahun ini,” tambah akuan @garryrudolf_.

Beranjak dari informasi zodiak, hal menarik lain adalah soal cocoklogi antara Indonesia dengan Konoha. Lantas mengapa Indonesia disebut Konoha?

Menurut artikel yang dipublish oleh Tempo 21 Februari 2023, negara Indonesia disebut sebagai Konoha karena adanya banyak kesamaan antara Indonesia dengan Konoha. Konoha merupakan desa fiksi dalam serial anime Naruto Shippuden. Kemiripan ini meliputi masyarakat yang beragam hingga jumlah pemimpinnya. Disebutkan jika Konoha memiliki 7 orang pemimpin yang disebut Hokage, kemudian tujuh karakteristik Hokage itu dicocoklogikan dengan para presiden Indonesia. Tak heran jika kali ini Presiden Jokowi diibaratkan sebagai Naruto, sementara Gibran dianggap sebagai Boruto. Selengkapnya https://dunia.tempo.co/read/1694022/kenapa-indonesia-disebut-negara-konoha-ini-alasannya.

Baru-baru ini Kumparan, juga memproduksi konten dalam Instagramnya “Ada Apa Antara Gibran & Naruto?”, dalam unggahan dengan format video reel itu Gibran diwawancarai dengan pertanyaan “suka nonton Naruto?” Gibran menjawab “suka tapi sudah tamat” selanjutnya ditanya terkait ketertarikannya dengan Naruto hingga penjelasan keterkaitan Indonesia dengan Konoha.

Konten itu telah ditonton 701 ribu, dengan 32 ribu likes, 997 komentar, hingga lebih dari 5 ribu kali dibagikan oleh pengguna Instagram.

Menurtut salah satu Gen Z generasi awal yakni Annisa Putri Jiany yang mengikuti sering mencari informasi politik di Instagram dan TikTok menyebut jika pengemasan kumparan dalam menceritakan Gibran cukup menarik.

“Gibran mencalonkan diri, menyampaikan visi misi ke depan selaras. Kumparan, ngulik Gibran dari hobi anime konten kampanye. Pengemasan promosi dan kampanye dengan wawancaranya menarik dari TikTok. Termasuk Ganjar. Twitter, TikTok, Instagram juga banyak yang menarik,” ujarnya.

Media kurang Akurat Membaca Target?

Konten unik memang menarik dan terbukti ramai dihiasi reaksi dari pengguna media sosial. Namun, jika memang tujuannya menyasar pada Gen Z nampaknya perlu analisis lebih kritis.

Fakta di atas menyebut jika Gen Z menempati posisi ketiga, sementara posisi kedua justru ditempati oleh Generasi X. Sementara media justru berlomba-lomba menyajikan berita yang dikhususkan kepada Gen Z.

Salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII, Puji Rianto, S.IP, MA., yang fokus mendalami kajian Komunikasi Politik menyebut jika pemberitaan mesti mempertimbangan analisis kritis agar mampu memproduksi berita yang akurat.

“Saya kira karena ini analisis pemberitaan mesti ada analisis kritisnya. Misal, kenapa media menyasar dan mengangkat tema zodiak dalam pilpres? Apa ini menyesuaikan pembaca? Lalu, bagaimana bisa wacana Gen Z dianggap dominan padahal nyatanya tidak? Media kurang akurat?,” ujar Puji Rianto.

Terlepas dari siapapun capres dan cawapres Indonesia 2024, jika memang benar menggaet masa dari Gen Z maka perlu lebih tahu detail tentang perspektif mereka dalam segi politik.

Hasil riset dengan judul “Gen-Z Perspective on Politics: High Interest, Uniformed, and Urging Political” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JISIP), Vol. 11 No. 3 Tahun 2022 yang ditulis oleh Patricia Robin dkk, menyebutkan beberapa poin penting terkait Gen Z yang mendominasi populasi Indonesia.

Ada tiga temuan menarik, pertama, Gen-Z sangat tertarik dengan politik tetapi merasa kurang informasi. Kedua, Gen-Z melihat keberadaan partai politik secara negatif karena banyaknya kasus korupsi. Ketiga, Gen-Z mendesak adanya pendidikan politik.

Dari uraian di atas kira-kira hal menarik apalagi yang akan menjadi pemberitaan media digital menyambut pesta politik 2024 Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita