Tag Archive for: Nadin Amizah

Hari musik nasional

Merayakan Hari Musik Nasional, 9 Maret 2024 nampaknya cukup menarik jika membahas soal preferensi atau selera musik Gen Z. Jika menilik data Indonesia Gen Z Report 2024, genre musik pop masih menempati urutan teratas dalam presesntase kesukaan Gen Z. Namun ada kecenderungan pop indie menjadi pilihan, benarkah?

Sebelumnya kita perlu mendefinisikan pengertian musik indie dan musik pop, karena keduanya sesuatu yang terpisah. Riset milik Jefri Yosep Simanjorang yang berjudul Modal Sosial pada Skena Musik yang telah diterbitkan pada Jurnal Unpad menyebut, musik indie bukanlah genre melainkan cara pengelolaan yang independen. Sementara pop adalah genre atau aliran musik yang berasal dari kata populer yang menegaskan musik ini memiliki sifat umum dan mudah diterima semua kalangan.

Musik memang menjadi bagian tak terpisahkan, dalam berbagai kegiatan musik menjadi teman paling setia. Ketika tengah menikmati secangkir kopi dan menatap senja, musik pop indie seolah menjadi penyempurna untuk meromantisasi suasana.

Selain aktif datang ke acara konser musik, mencari lagu-lagu melalui pencarian online juga dilakukan. bahkan 38% Gen Z menyebut bahwa mereka mengandalkan rekomendasi musik yang disediakan oleh platform streaming. Sementara 17% lainnya cenderung meminta saran kepada teman.

Menilik data dari IDN Research Institute dalam Indonesia Gen Z Report 2024, musik pop menjadi pilihan utama Gen Z, sebanyak 59% memiliki preferensi terhadap musik tersebut. Sementara 14% lainnya memilih K-pop, Indie 5%, Rock 5%, dan sisanya terbagi pada genre R&B, Jazz, Hip-hop, Dangdut, dan lainnya.

Siapa Kiblat Gen Z Soal Musik?

Data di atas menunjukkan,genre Pop merupakan selera Gen Z, lantas bagaimana soal Indie? Ternyata Indie yang digandrungi oleh Gen Z bisa dilihat dari deretan nama musisi yang kini menjadi kiblat mereka.

Beberapa nama musisi Indonesia paling populer posisi pertama diduduki Nadin Amizah, disusul Idgitaf, Ardhitho Pramono, Isyana Sarasvati, dan JKT48. Dari deretan nama tersebut nampaknya hanya JKT48 yang pengelolaanya tidak dilakukan secara independen.

Hal ini sejalan dengan gaya hidup Gen Z sebagai native digital yang sering mendengarkan musik lewat platform digital. Beberapa platform paling disukai Spotify dengan presentase 61%, disusul YouTube 26%, YouTube Music 7%, Joox 3%, dan Apple Music 2%.

Melansir dari laman Sound on Global, Spotify memang paling banyak dialiri oleh musik Indie. Spotify dalam genre indie telah membantu artis-artis berbakat tanpa label menjadi terkenal dan sukses. Dengan Spotify, artis indie dengan mudah menjangkau para audiens dan menciptakan kesan yang menarik.

Artinya, prefernsi Gen Z tak bisa dpukul rata bahwa mereka memiliki selera indie. Musik yang dipilih pop namun, indie yang mereka maksud adalah sosok idolisasi. Sosok Nadin Amizah dengan style khas vintage, lirik lagu yang menggunakan bahasa baku menjadi pembeda.

Begitupun Idgitaf, lirik-lirik dalam lagunya begitu kerap menceritakan peraaan takut cukup relate dengan kondisi Gen Z. Gaya fashion Idgitaf yang nyentrik playfull menjadi daya tarik tersendiri.

Soal preferensi musik tentu sangat beragam dan bebas, bagaimana dengan dirimu Comms?

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Cegil

Belakangan istilah cegil dan cogil menjadi bahasa gaul yang sering ditemukan di media sosial seperti TikTok, X, dan Instagram. Kedua kata tersebut seolah menjadi label yang melekat dan dikaitkan dengan karakter tertentu. Lantas apa itu cegil dan cogil?

Menghimpun dari berbagai konten yang tersebar, cogil merupakan sebuah akronim dari cowok gila, begitupun cegil yakni cewek gila. Gila yang dimaksud pada istilah tersebut merujuk pada beberapa sikap yang cenderung negatif.

Istilah cogil dan cegil mengarah pada seorang yang memiliki sikap manja dan sulit diatur, cenderung senang menggoda lawan jenis, obsesif dan posesif, agresif dan berlebihan di media sosial, hingga rela melakukan hal-hal aneh demi menarik perhatian.

Berdasarkan definisi dari KBBI, gila diartikan dalam beberapa hal yakni pertama gangguan jiwa yang mengarah pada gangguan saraf.. Kedua, tidak biasa dalam hal perilaku atau berbuat yang tidak masuk akal. Ketiga, bermakna terlalu yang mengarah pada kata afektif. Terakhir, ungkapan kagum hingga sangat suka.

Kini istilah cogil dan cegil menjadi sebuah label yang melekat pada beberapa orang karena tindakannya yang berbeda dan aneh-aneh. Merujuk pada teori labeling yang dikemukakan oleh Edwin M. Lemert, sesorang menjadi menyimpang karena pemberian label yang dilakukan oleh masyarakat.

Ironisnya, ada perbedaan dalam istilah cogil dan cegil, jika memantau berbagai konten di media sosial cogil tertuju pada salah satu influencer yakni Satria Mahathir. Bermula saat dirinya tengah berjoget di sebuah acara kemudian muncul kata “this is cogil”.

Sedangkan label cegil yang muncul lebih awal justru merujuk pada perempuan dengan sikap negatif dan redflag. Salah satu musisi Indonesia yakni Nadin Amizah menyebut jika iasempat dianggap gila oleh mantan kekasihnya, tak hanya itu Nadin juga dipandang sangat buruk. Istilah gila yang dilontarkan sang mantan membuatnya beranggapan sangat “kotor”.

“Aku pernah dipanggil sama mantan pacar aku cewek gila lu gitu, itu zamannya belum ada kalimat cegil ya. Dia pionir kayaknya pada saat itu, kayak dasar perempuan gila, gara-gara kamu gila aku jadi gila, dia bilang kayak gitu. Padahal dia duluan yang gila kayak gini jujur. Tapi luka yang aku punya pada saat itu aku bawa dan aku buat menjadi cerita dan aku iyakan dan aku bilang padanya, memang aku perempuan gila tapi sayang dengan segala kotorku aku tetap pantas dicintaikan?,” ungkap Nadin Amizah sebelum membawakan lagunya dikutip pada akun TikTok Radio Gen 103.1 FM.

Apa Benar Julukan ini Perlu Ditolak?

Menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Dian Dwi Anisa, S.Pd., MA., yang tengah concern dengan studi budaya, media dan gender menyebut jika kedua label dan istilah itu muncul karena kultur media sosial yang sangat dinamis.

“Keduanya muncul akibat kultur media sosial, yang membuat bahasa menjadi sangat dinamis. Menariknya, ada perbedaan yang jauh sekali antara artikel yang membahas cogil atau cegil yang beredar. Cogil merujuk pada influencer Satria Mahathir yang bersikap nyeleneh. Sementara cegil punya makna beragam, Pertama, dia merujuk pada perempuan yang juga punya sifat dan sikap nyeleneh in negative way (anak sekarang bilangnya penuh redflag). cegil juga merujuk pada perempuan yang melakukan banyak hal “Gila” untuk mendapatkan perhatian dari orangg yang dia sukai,” ujarnya.

Ditengah bertebarannya label cogil dan cegil, rama-ramai pengguna TikTok khususnya perempuan untuk menyuarakan untuk berhenti bangga mendapat label cegil. Cegil memang menjadi bahasa populer dan menjadi ajang untuk saling unjuk diri demi eksistensi.

Salah satu akun TikTok keitalks mengungkapkan kereshannya, dalam akunnya ia menyampaikan statement terkait untuk stop bangga diberi label cegil maupun cogil. Tak hanya itu, self diagnose yang dilakukan oleh cegil dan cogl seharusnya mampu disadari bukan untuk dilanjutkan demi menarik perhatian.

“Stop bangga deh jadi cegil atau cogil, entah kenapa zaman sekarang tuh bangga banget dirinya dicap cegil ataupun cegil. Gue engga ngerti deh konsepnya gimana. Udah gitu mereka self diagnosed perihal mental health kamu tuh toxic, kamu tuh racun. Bukannya racunitu harusnya diobatin yah bukan dibanggain. Cegil itu phase lo, kalau eandainya diri lu udah sadar diri lu cegil harusnya juga sadar dong phase ini harus distop,” ujar akun keitalks.

Seruan serupa juga dilakukan oleh pengguna TikTok lainnya yakni ananzaprili, akun bercentang biru dengan gelar S.Psi tersebut menegaskan agar label cegil dan cogil tak membuat seseorang justru merendahkan harga diri.

“Jujur lama-lama gue engga mengerti penggunaan kata cegil, kalau misalnya masih dalam positif, oke deh tapi kalau udah yang ke toxic sampai kayak merebut hak orang lain, menjatuhkan harga diri lo sendiri, Big no. Boleh yolo, nekat tapi jangan sampai kelakuan lo bikin orang lain rugi atau bahkan yang lo bangga-banggain itu bikin harga diri lo sendiri hancur,” tuturnya pada akun TikToknya.

Menurut pandangan Dian, istilah ini menjadi bahasa populer yang seharusnya mampu membuat pengguna media sosial justru aware dengan nilai dalam dirinya. Sehingga tindakan-tindakan yang diluar batas tersebut mampu dikendalikan.

“Cegil ini semacam menjadi bahasa populer agar perempuan juga bisa aware dengan value dirinya. bahwa gak perlulah sebegitunya untuk dapat perhatian orang yang disuka. Sudah lazim ya kita dengar stereotip bahwa perempuan itu sifat, sikap, dan tindakannya tidak rasional. semuanya pakai hati. Tapi sejatinya tidak begini, baik perempuan dan laki-laki bisa sama-sama rasional dan irasional,” tambah Dian.

Lantas apakah perlu menolak label cegil ataupun cogil? Atau justru ikut bangga dengan labeling ini?

Dian menjelaskan bahwa kemunculan istilah cogil dan cegil merupakan fenomena kebahasaan yang hadir dan menyebar di media sosial. Sementara saat ini media sosial memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat. Hubungan bahasa dan masyarakat saling terkait, bahasa yang dituturkan oleh masyarakat, dan masyarakat juga terbentuk atas bahasa-bahasa yang ada.Tapi kalau dipikirkan ulang dan melihat bagaimana konteksnya di media sosial saat ini, istilah cegil justru menjadi reminder bahwa perempuan harus berbenah diri dan terhindar dari sifat-sifat sikap cegil. Secara kebahasaan, cegil justru semacam menjadi siasat bagi perempuan untuk refleksi dan sadar bahwa tidak semua perempuan irasional.

Sebanarnya sikap dan perilaku cegil banyak ditampilkan dalam sebuah sinema, Seperti bebrapa drama Korea misalnya, figur cegil ditampilakan namun penonton mesti bijak dan tak perlu meniru.

 

Penulis: Meigitaria Sanita