Tag Archive for: Mindset

Mengenal ‘Green Skills’: Mindset Penting untuk Dipahami Seluruh Generasi
Reading Time: 3 minutes

Ketika mengetik kata Green Skills di kolom pencarian media sosial khususnya Instagram, kita akan menemukan banyaknya konten berwarna hijau, pepohonan, hingga kampanye hemat energi. Lantas apa itu Green Skills?

Berdasarkan informasi pada laman United Nations Industrial Development Organization (UNIDO), Green Skills adalah pengetahuan, kemampuan, nilai dan sikap yang mampu mendukung serta mengembangkan kehidupan berkelanjutan dengan menghemat sumber daya.

Artinya, Green Skills juga berkaitan dengan mindset atau pola pikir menuju keberlanjutan lingkungan. Jika menengok data yang dirilis Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) PBB, tindakan yang kita lakukan selama sepuluh tahun ke depan akan menentukan apakah planet yang kita huni saat ini layak atau tidak menjadi ruang hidup oleh generasi mendatang.

Mindset ini cukup luas. Tak cukup memahami konsep hemat energi dan transisi menuju rendah karbon namun juga bagaimana Green Skills yang kita miliki mengubah sistem ekonomi konvensional menuju ekonomi hijau.

Global Green Skills Report 2023 by Linkedin menyebut bahwa hanya 1 dari 8 pekerja (secara global) yang menerapkan Green Skills. Angka tersebut tentu menjadi tentangan, sehingga mindset ini perlu dipahami oleh seluruh generasi.

Mindset Green Skills, Mengapa Penting?

Seperti disinggung di awal, Green Skills sangat penting dipahami karena mencakup pengetahuan tentang kemampuan untuk pembangunan berkelanjutan.

Keterampilan ini memainkan peran dalam banyak sektor, terkait energi terbarukan, pengelolaan limbah, pertanian berkelanjutan, dan lain sebagainya. Sehingga dengan memahami Green Skills akan membuat masyarakat mengurangi ketergantungan dengan energi bahan tak ramah lingkungan, inovasi hijau, hingga menjadi masyarakat yang tangguh.

Dampak minimnya pengetahuan soal Green Skills secara gamblang dapat dilihat di Yogyakarta misalnya masalah sampah tak kunjung terselesaikan. Masyarakat dan pemerintah saling menuntut dan menyalahkan. Sementara di pesisir utara laut Jawa, banjir rob dari perubahan iklim dan faktor lain menjadi bencana yang menenggelamkan sebagian wilayah Demak, Jawa Tengah.

Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, banyak perusahaan yang mencari kandidat dengan Green Skills mindset. Data yang dirilis Bappenas menunjukkan tahun 2022, memproyeksikan kebutuhan tambahan tenaga kerja dengan keterampilan tersebut sekitar 1,8 juta hingga 4,4 juta di tahun 2030.

Deloitte bersama Institute of Environmental Management and Assessment (IEMA) dalam risetnya pada tahun 2022 menyebutkan pencarian kerja berbasis Green Skills meningkat dua digit di UK.

Hal tersebut relevan dalam mengurangi risiko finansial yang dihadapi oleh masyarakat, dalam riset Lucas Bretschger tahun 2013 yang berjudul Population Growth and Natural-Resouce Scarcity menyebutkan meningkatnya populasi di dunia yang tentu kebutuhan energi tak terbarukan juga demikian. Namun hal itu tidak akan memperburuk kondisi jika kebiasaan menuju transisi energi dan perubahan perilaku konsumsi (Green Skills). Lebih lanjut, Green Skills menjadi solusi sistem finansial.

I consider an economy that is constrained by the use of natural resources and driven by knowledge accumulation. Resources are essential inputs in all sectors. I show that population growth and poor input substitution are not detrimental but, on the contrary, are even necessary to obtain a sustainable consumption level. I find a general rule to define the conditions for a constant innovation rate. The rule does not apply to capital but to labor growth, which is the crucial input in research.

Pengetahuan Green Skills dalam Kajian Ilmu Komunikasi

Green Skills mendapat prioritas dalam kajian Ilmu Komunikasi. Kajian tersebut dipelajari secara utuh dalam Komunikasi Lingkungan (Environmental Communication).

Secara umum Komunikasi Lingkungan berisikan materi terkait strategi komunikasi yang mendukung penyususnan kebijakan, partisipasi, hingga implementasinya dalam lingkungan.

Hal ini memungkinkan mahasiswa Ilmu Komunikasi memahami isu-isu lingkungan yang kompleks dan memperkuat perannya sebagai individu maupun di organisasi dalam tata Kelola lingkungan. Dengan keterampilan tersebut harapannya lulusan sarjana Ilmu Komunikasi mampu mempengaruhi opini publik hingga menawarkan problem solving.

Di Prodi Ilmu Komunikasi UII, beberapa dosen yang concern pada bidang tersebut antara lain Dr. Anang Hermawan, Dr. Zaki Habibi, dan Muzayin Nazaruddin, S.Sos., MA., (Ph.D candidate).

Bagaimana Comms, tertarik untuk mempelajari lebih lanjut soal Green Skills?

Kuliah umum
Reading Time: 3 minutes

Gen Z adalah generasi yang menjadi masyarakat digital sejak dini, mereka terbiasa dengan akses informasi cepat. Meski dimudahkan, Gen Z dituntut untuk menjadi sosok yang mampu berinovasi dan berprestasi di tengah persaingan yang sangat ketat.

Selain menghadapi persaingan yang ketat, Gen Z kerap mendapat judgement negatif seperti dianggap baperan, tak mampu bekerja sama, hingga anggapan lemah dalam kemampuan resiliensi.

Dalam data yang dipublikasikan oleh GWI, salah satu lembaga market research di USA, disebut bahwa 72 persen Gen Z sangat membatasi diri dengan urusan pekerjaan hingga menganut budaya soft life. Sementara data dari IDN Research Institute, 67 persen Gen Z di Indonesia ternyata bersedia bekerja lembur dan tak masalah dengan sistem hustle culture. Artinya, tak semua Gen Z di Indonesia merepresentasikan judgement negatif di atas.

Di tengah persaingan yang ketat di era disrupsi tentu banyak tantangan yang akan dihadapi oleh Gen Z untuk menyiapkan masa depan cemerlang. Mengutip KBBI, disrupsi adalah sesuatu hal yang tercabut dari akarnya, interupsi pada sebuah proses atau kegiatan yang telah berlangsung secara berkesinambuangan.

Era disrupsi salah satunya terjadi karena perkembangan teknologi digital, sehingga inovasi masif dilakukan dalam segi industri secara global. Ditambah saat ini seluruh masyarakat dunia dihadapkan dengan istilah Society 5.0 atau masyarakat super cerdas yang akan bekerja dan berkaitan dengan Artificial Intelligence (AI).

Era disrupsi berkaitan erat dengan tujuan Society 5.0, di mana masyarakat yang berpusat pada manusia berperan sebagai penyeimbang kemajuan ekonomi melalui penyelesaian berbagai masalah sosial dengan sistem digital. Banyak pihak menyebut bahwa era disrupsi ini adalah tantangan dan proyek kerja yang akan dilakukan oleh Gen Z karena dianggap sebagai generasi yang memiliki passion tinggi terhadap dunia digital.

Hal ini didukung dengan karakter Gen Z yang memanfaatkan media sosial dengan cara yang unik. Dari hasil riset GWI, 3 dari 10 Gen Z menggunakan media sosial sebagai platform mencari inspirasi dan jawaban. Bahkan setengah dari Gen Z memilih TikTok dan Instagram untuk mendapatkan informasi dibandingkan Google. Informasi tersebut mulai dari tren kecantikan hingga keuangan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) melaksanakan Studium Generale dengan tema Berani Berinovasi di Era Disrupsi pada 21 Oktober 2023 di Auditorium Lantai 5 FIAI UII dengan menghadirkan dua pembicara yakni Indra Dwi Prasetyo (The Most Outstanding Youth 2022 Kemenpora RI, Blue Ocean Strategy Fellowship, Co Chair of Y20 Indonesia 2022) dan Muhammad Arrozi (Head of Public Relations Kompas Gramedia sekaligus Alumnus Ilmu Komunikasi UII).

Inovasi dan Berprestasi di Era Disrupsi

Lantas apa yang mesti dilakukan oleh Gen Z agar mampu melakukan inovasi dan berprestasi di era disrupsi?

Muhammad Arrozi dalam kesempatan itu menyampaikan materi terkait Purpose Driven Transformation in Disruption. Ia turut menyampaikan banyak hal soal pengalaman perusahaan tempatnya bekerja untuk bertahan di era disrupsi. Kompas Gramedia, yang berdiri tahun 1965 dengan nama awal Majalah Intisari, melalui berbagai disrupsi hingga kini.

Pihaknya sadar, media massa saat ini kerap diidentikkan dengan media sosial seperti Instagram dan TikTok, karena Gen Z saat ini lebih banyak mencari informasi ke platform-platform tersebut.

“Media massa saat ini tidak diidentifikasi media pers tapi media dianggap sama dengan platform digital,” tandasnya.

Mengalami jungkir balik di industri media, ada satu hal yang konsisten dilakukan Kompas yakni kembali ke tujuan awal untuk bertahan atau sustaining purpose.

Persistence akan banyak trial eror dalam strategi yang kami coba agar tetap pada sustaining purpose yang kami miliki. Tujuan menjadi sangat penting,” ujar Muhammad Arrozi.

Selanjutnya, Indra Dwi Prasetyo menyampaikan materi dengan judul Muda, Beda & Berbahaya. Dalam pembahasan itu ia banyak menyampaikan cara-cara yang bisa dilakukan Gen Z untuk bertahan di era yang tidak nyambung.

Ia memberikan tips agar Gen Z mampu survive meski tak memiliki banyak priviledge dengan memanfaatkan media sosial yang dimiliki. Namun sebelum beranjak, salah satu yang perlu disiapkan adalah mindset dalam diri sendiri.

“Mindset adalah a mental attitude: how we interpreted something. Paradigma bahwa mahasiswa harus pintar itu kuno. Bukan harus berprestasi, kalau ngandalin IQ, saya tidak akan seperti ini. Ada hal lain yang harus dilakukan,” ujarnya.

Daripada merenungi tingkat kecerdasan dan priviledge yang tak kita miliki, ia menyampaikan bahwa Gen Z harus memiliki keinginan growth mindset yang mengimani bahwa kecerdasan itu bertumbuh, aktif dan responsif terhadap kritik, fokus pada proses, menikmati pembelajaran, dan menjadikan kegagalan sebagai peluang.

Ada tiga tips yang dibagikan oleh Indra dalam menutup diskusi tersebut. Untuk menjadi Gen Z yang mampu berinovasi dan berprestasi yakni membaca buku, membuat sistem dan memaksa diri kita untuk melakukan hal baru, dan travelling untuk mendapat pengalaman dan pengetahuan baru.

Itulah beberapa insight terkait Studium Generale 2023. Lantas apa rencanamu ke depan, Comms?