Masduki juga bercerita soal sulitnya melakukan ibadah di Jerman ketimbang di Indonesia. Ini kaitannya dengan cuaca dan muslim yang memang jadi minoritas. Menurutnya, paling sulit itu melaksanakan rukun islam yang ketiga: Puasa dengan harinya panjang dan panasnya ekstrim, ”Puasa itu paling berat, karena di Jerman itu subuhnya jam 3 lebih sedikit dan buka puasanya jam 10 malam,” ungkap Masduki.
Soal ibadah haji yang dijalani Masduki berangkat langsung dari Jerman, memang muncul banyak pertanyaan dari kolega dan teman. Masduki menjelaskan, memang ibadah haji dari eropa lebih mudah, daftar tunggunya lebih cepat. “tapi memang agak lebih mahal,” katanya. Namun jangan dikira anda bisa sekadar travelling ke Jerman lalu bisa langsung berangkat haji. “Syaratnya harus punya visa tinggal minimal 1 tahun, dan itu tentu hanya mereka yang bekerja menetap atau studi lanjut,” cerita Masduki berdasar pengalamannya beberapa waktu lalu.
Bagi Masduki, pasti sulit juga mencari masjid. Masjid di Jerman tak seperti di Indonesia yang kalau azan berkumandang terdengar atau bisa dilihat dari kubahnya saja. Masjid tak tampak fisiknya dan hanya terlihat di Google Map. Tidak ada azan lewat pengeras suara. Bentuk fisiknya menyerupai gedung atau rumah biasa. Jika sudah membuka pintunya, barulah terhampar ruang seperti masjid. “Kalau di Inggris malah disamarkan menjadi Islamic Centre,” paparnya lagi.
Selain makanan yang pastinya tak semua halal, adapatasi dengan cuaca akstrim kini akibat perubahan iklim juga jadi masalah. Contohnya saat menjalani puasa tadi. Adaptasi dnegan lingkungan yang sama sekali baru macam ini memang perlu strategi dan daya tahan. Masduki banyak terbantu dengan misalnya workshop orientasi kota, berjejaring dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia di luar negeri, dan juga banyak bertanya pada pembimbing. Meski begitu, ia juga banyak terbantu juga dengan orang-orang jerman yang ternyata lebih punya banyak perhatian pada indonesia, misal pada seninya, budayanya, dan lain- lain.
Tulisan pertama baca di sini