Bagaimana belajar hingga adaptasi dengan cuaca dan makanan di negeri orang?
Cekrak-cekrek! Suara kamera DSLR dan bunyi kamera ponsel menyeruak di ruang meeting Hotel Eastparc. Seorang doktor baru dari Komunikasi UII baru saja berpose bersama Ketua Prodi Komunikasi UII, sambil mengangkat kaos bertuliskan komunikAsi, sebuah kaos yang sengaja dibuat paska raihan akreditasi A kembali oleh progam studi ini. Ini jadi sebuah kabar baik beruntun buat komunikasi UII: dapat akreditasi A lagi, dan doktor dari Jerman sekaligus. Ya, Masduki, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, sudah rampung memertahankan disertasinya berjudul Public Service Broadcasting in Post-Authoritarian Indonesia di depan penguji pada 18 Juli 2019. “Ujian di Jerman ujian doctorralnya sederhana, tenang, dan tidak mewah. Tak seperti Indonesia dan Belanda yang punya tradisi yang dibangun dengan ujian sakral, mewah dan ramai,” kata Masduki.
Masduki, dalam kesempatan pada Rapat Koordinasi Kerja prodi pada 9 Agustus 2019, bercerita banyak hal yang dapat kita pelajari dari perjalanan akademiknya di Jerman selama tiga tahun ini. Pembelajaran-pembelajaran muncul bahkan dari hal-hal yang tidak biasa dihadapi di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Misalnya dari perbandingan kultur antara Jerman (eropa) dan Indonesia.
Indonesia, misalnya, masih fokus pada hal-hal yang sifatnya material. Orang masih sibuk urus bagaimana makan, bagaimana keamanan harta benda, bagaimana rumah dan lain sebagainya. Sedangkan, ”Orang-orang Jerman bahkan sudah Post-Material,” kata Masduki. Misalnya orang-orang Jerman sudah bicara soal berbagi dengan orang lain. Maka tak heran bila banyak pengungsi dari syria, afganistan, dan lain-lain yang disambut dengan “Welcome Refugee”.
Pembicaraan tentang kebebasan berpendapat, rasa kepedulian sosial, dan post-religius sudah jadi bahasan utama di Jerman. Post-religius menganggap agama itu pribadi. Gereja hanya jadi tempat wisata orang non eropa. “Sudah tidak ada jamaahnya kecuali datang kalau mau nikah di gereja,” tambahnya.
Tapi intinya, kata Masduki, tradisi akademik di universitas kelas dunia seperti Institute of Communication Studies & Media Research (IfKW), Ludwig Maximilians University of Munich (LMU Munich) memang berbeda. Misalnya cara mahasiswa interaksi dengan dosen. “Mahasiswa di Jerman, kalau ibaratnya ini gelas, dia dianggap sudah ada isi 70 – 80 persen isi gelasnya,” kata Masduki. Di sana dosen kasih reading dan di kelas akan ditanyakan dan proses diskusi berlangsung di sana, jelas Masduki. Posisinya saat itu mahasiswa sudah siap semua. Masduki menjelaskan dosen memeberikan tugas review paper dan penulisan lain maka tak heran bila perpustakaan penuh untuk baca dan kirim tugas.
Belum lagi ada segudang workshop yang sayang untuk dilewatkan dengan sistem registrasi yang ramah lingkungan: pendaftaran online. Misalnya bagi mahasiswa asing ada workshop orientasi kota, atau ada juga workshop academic writing (pelatihan penulisan akademik) untuk menulis karya tulis akademik baik tesis maupun disertasi.
Masduki berpesan, “Kalau mau membangun jaringan (di dunia akademisi komunikasi) maka rajin dan aktiflah di International Communication Association (ICA) dan International Association for Media and Communication Research (IAMCR),” kata Masduki. Para forum itu, anda akan banyak bertemu dengan tokoh-tokoh pemikir di dunia komunikasi yang sering kita baca bukunya sebagai rujukan. Misalnya, kata Masduki, ia bisa bertemu Graham Murdoch, penulis buku Handbook Ekonomi Politik Komunikasi di forum-forum itu. Pada forum internasional itu, bagi sivitas akademika yang berminat melanjutkan studi, bisa berdiskusi dengan banyak profesor soal tema kajian yang diangkat. “Di sana banyak profesor yang sering hadir di tidak ikut jadi presenter konferensi, justru untuk melihat perkembangan studi ilmu komunikasi dunia kekinian, nah anda bisa pendekatan dengan profesor itu di sini,” ceritanya. Cara ini justru lebih besar peluangnya untuk mendapatkan pendampingan dari profesor yang diinginkan ketika akan studi lanjut di luar negeri. Cara ini lebih manjur ketimbang mengirim proposal disertasi secara acak ke sembarang profesor dengan harapan mereka tertarik dengan ide kita, katanya lagi.
Jika beruntung, rajin menulis paper, dan rajin berjejaring, anda bisa juga ikut konferensi di beberapa negara secara gratis sekaligus wisata. Paparan Masduki bukan semata isapan jempol. Ia misalnya bisa ikut konferensi tentang Kebebasan Pers sambil pulang kampung, dibiayai pulang pergi. “Waktu itu ada World Press Freedom Day di Jakarta, panitianya tertarik dengan paper saya, ya sudah saya katanya dibiayai ke indonesia. Lho saya pulang kampung gratis, nih?” tanyanya pada panitia yang sejurus kemudian diiyakan. Bukan hanya ke Indonesia, tapi juga ke konferensi beberapa negara lain.
Meski begitu, menurut Masduki, tak selamanya setiap penerima beasiswa bisa seperti ini. Banyak juga peraturan dari pemberi beasiswa yang ketat dan membuat penerima jadi tak bisa bergerak bebas selain fokus pada studinya. Maka perlu kiranya pencari beasiswa jeli memilih dan memilah pemberi beasiswa. Beasiswa dengan studi ke Jerman banyak sekali kata Masduki. Beragam jenisnya dan kriterianya. Misalnya anda bisa mencoba beasiswa IGSP (Indonesia Germany Scholarship Program) sebuah beasiswa dari Jerman untuk orang Indonesia lewat pemerintah Indonesia. Ada juga DAAD (The German Academic Exchange Service), hans shiedel (beasiswa studi dan riset) , Friedrich-Ebert-Stiftung, atau juga dari lembaga seperti Friedrich Naumann Stiftung.
Bagaimana dengan kehidupan sehari-hari di eropa? Baca lanjutannya di sini