Menjalankan misi kemanusiaan kali ini hanya menyingkap sekelumit fakta, meski demikian perjalanan menuju Dongi-Dongi patut untuk dijadikan pustaka demi sebuah asa.
Tercatat 54 relawan dari berbagai penjuru negeri berkumpul di Bandara Halim Perdanakusuma sejak sebelum subuh, 30 Juli 2024. Berbagai pengecekan dilakukan demi keamanan, hingga pukul 06:00 WIB kami semua diangkut oleh Super Hercules bernomor A-1340 menuju Bandara Mutiara Sis Aljufri. Penerbangan itu berlangsung lebih dari 3 jam.
Barangkali pengalaman menumpangi alutsista milik TNI AU ini adalah kesempatan yang sangat langka maka mengabadikan momen adalah kesempatan paling berharga. Selain cerita, foto berjejer akan menjadi artefak penuh makna nantinya. Kesempatan ini tentu tak lepas dari relasi-relasi yang dibangun oleh Yayasan Tunas Bakti Nusantara (YTBN) selama beberapa tahun terakhir.
Menginap semalam di Mes Pemda Palu, esoknya perjalanan menuju Dongi-Dongi dimulai. Jalanan berliku diapit perbukitan bisa dibilang tak cukup mudah, beberapa titik bekas longsoran tanah dan batu berserakan memaksa pengendara untuk terus waspada. Meski demikian, mata relawan dimanjakan dengan pemandangan yang menawan, bisa dibayangkan betapa menyenangkan bervakansi menuju lokasi bernama Dongi-Dongi.
Dongi-Dongi merupakan desa percobaan yang terletak di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Secara administratif Dongi-Dongi berada di dua kabupaten yakni Sigi dan Poso. Setibanya di sana, kami disambut suka cita dan tarian khasnya. Mata-mata penuh binar begitu hangat dan lekat. Ingat ini bukan bervakansi, melainkan datang untuk saling berbagi.
Faktanya, Dongi-Dongi adalah daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) ditambah statusnya sebagai desa percobaan dengan segudang tantangan yang rumit diselesaikan. Mulai dari akses pendidikan, kesehatan, pernikahan dini dan tidak stabilnya perekonomian. Tidak adanya akses internet dan aliran listrik yang memadai menjadikan Dongi-Dongi semakin pelik.
Akses Pendidikan Memang Tidak Memadai
Seharusnya tidak perlu kaget atas tidak idealnya pendidikan di daerah 3T, isu soal aksesnya yang sulit pasti sering kita dengar. Namun menjalaninya secara langsung tak semua orang bisa membayangkan betapa rumitnya kondisi serba terbatas ini.
Salah satu program yang tak pernah absen dari Bakti Nusantara YTBN adalah Inspirasi Nusantara (IN). Dengan fokus pendidikan, semua program IN berlangsung di Sekolah Satap Dongi-Dongi. Sekolah Satap adalah sebutan untuk sekolah satu atap, dalam satu lokasi ada jenjang TK, SD, dan SMP.
Salah satu fasilitator dalam program IN yakni Leonardus Devi Heryanto menangkap banyak cerita pilu. Anak-anak di Dongi-Dongi sebagian besar hanya menamatkan sekolah di jenjang SD dan SMP, melanjutkan ke jenjang SMA adalah kemewahan. Bahkan, hanya 70 persen siswa SD yang melanjutkan ke jenjang SMP. Kondisi ini terjadi karena berbagai faktor, kondisi ekonomi memaksa anak-anak turut bekerja membantu orang tua. Faktor lain adalah tidak tersedianya sekolah jenjang SMA di Dongi-Dongi. Untuk mengakses jenjang SMA mereka harus pergi ke Palu, artinya butuh biaya transportasi hingga biaya operasional lain yang tak sedikit.
“Yang kami tangkap dari cerita teman-teman terkait bahwa banyak yang berhenti SD atau SMP saja, banyak faktor mungkin karena kerja di ladang dan lain, kedua karena di sini tidak ada SMA. Kalau kita lihat dari SD yang melanjutkan ke SMP hanya 70-80 persen. Sisanya tidak lanjut hanya sampai SD saja,” ujar fasilitator yang akrab disapa Leo.
Cerita-cerita di daerah 3T tentu akan banyak kita dengar, semua dilakukan semata-mata untuk memperbaiki kehidupan yang lebih layak. Salah satu kakak beradik di SD Dongi-Dongi misalnya, keduanya harus berjalan kaki dengan jarak tempuh satu jam untuk menuju sekolah. Suhu dingin, jalan terjal bukan lagi jadi persoalan sulit bagi mereka.
Dari hasil fasilitasi yang dilakukan Leo bersama tim, para orang tua di Dongi-Dongi sebenarnya memiliki mimpi yang tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ketika mengisi sesi motivasi, ia mengungkap salah besar jika narasi-narasi terkait masyarakat 3T enggan meraih pendidikan. Mereka sebenarnya tak ingin mengalami kondisi rumit ini, namun luasnya Indonesia tak meratanya fasilitas adalah penyebab utama.
“Sebenarnya banyak orang tua yang sudah punya pemahaman bahwa sekolah itu penting maka ada orang tua yang semangat menyekolahkan anaknya setinggi mungkin meskipun dalam kekurangan,” tambahnya.
Bayangkan saja, dengan penghasilan yang fluktuatif, orang tua di Dongi-Dongi harus membayar Rp 500 ribu untuk satu setcel seragam pramuka. Ini mungkin menjadi pembelajaran bagi relawan untuk melakukan riset dan observasi lebih detail ketika merencanakan program. Salah satu program penutup adalah kemah perdamaian di Dongi-Dongi, dan pengalaman ini bisa jadi perdana bagi mereka. Antusiasme luar biasa, mirisnya tak semua siswa memiliki seragam pramuka, sedari awal memang tak mewajibkan hal ini. Namun, mereka benar-benar ingin melakukan yang terbaik alhasil para orang tua rela pergi jauh ke pasar demi mendapatkan seragam pandu itu.
Tuntutan Negara dan Akses Internet yang Tak Memadai
Claudya Mardiani, tim IN peningkatan kapasitas guru juga menyebutkan jika dua hari menjalankan programnya berbagai hambatan nyata dirasakan. Berkali-kali aliran listrik mati, soal internet tak perlu ditanyakan lagi. Sementara Kurikulum Merdeka memaksa semua guru adaptif dengan teknologi dan deretan aplikasi.
“Di sini guru-gurunya melakukan apa-apa sendiri, mereka manual. Tidak ada bantuan alat apapun untuk mengajar. Mereka tetap semangat dalam melakukan pengajaran sehari-hari bersama anak-anak,” ujarnya.
Dari pengamatannya para guru masih belum terampil dalam menerapkan Kurikulum Merdeka, ditambah kondisi yang serba terbatas.
“Di Kurikulum Merdeka para guru diharapkan bisa menentukan tujuan pembelajaran secara mandiri, dan ada beberapa hal yang harus dilakukan seperti upload ini dan itu kalau dibayangkan dari penjelasan tadi mengenai ketersediaan akses internet, ini menjadi hal sangat menyulitkan,” tambahnya.
Persoalan itu diamini oleh Arum Putri Suryandari, seorang guru sekaligus Bendahara PB PGRI yang turut menjadi fasilitator peningkatan kapasitas guru menyebut hal mendasar terkait Kurikulum Merdeka masih belum dipahami menyeluruh oleh para guru.
Peningkatan kapasitas guru yang dilaksanakan di Satap Dongi-Dongi mengundang antusiasme luar biasa. Para guru di sekitar kecamatan Lore Bersaudara rela datang dengan menempuh jarak hingga 3 jam perjalanan.
“Kendala pertama adalah informasi, mereka seperti ini karena internetnya agak sulit sehingga sulit mengakses informasi,” jelas Arum.
Terputusnya informasi terkait Kurikulum Merdeka membuat tenaga pendidik gagal paham dengan beberapa konsep dasar seperti Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) hingga analisis capaian belajar.
“Itu sebenarnya dasar banget di Kurikulum Merdeka, karena untuk mereka meng-create sebuah pembelajaran dia harus ngerti dulu apa yang harus dia ajarkan, pada saat dia tidak ngerti capaian pembelajaran kemudian tujuan pembelajaran seperti apa, alur pembelajaran seperti apa bagaimana mau ngajarin,” keluhnya.
Selain dipusingkan dengan Kurikulum Merdeka, para pengajar di Dongi-Dongi juga harus bertaruh dengan kondisi siswa yang kerap absen. Hal biasa dalam seminggu mereka hanya mampu masuk kelas dua kali, lagi-lagi karena membantu pekerjaan orang tua di ladang, berdagang atau pekerjaan lainnya.
“Siswanya datang hari Senin nanti datang lagi hari Jumat. Karena diajak dagang diajak ini dan itu. Jadi itu tantangannya, bagaimana guru mau mengajar dengan baik, muridnya saja datang suka-suka. Sudah merencanakan pembelajaran dengan baik ternyata masuk muridnya tidak ada,” ujarnya lagi.
“Pak Nadiem harus tahu sih,” tandasnya.
Walau demikian masyarakat Dongi-Dongi masih bisa mensyukuri, Kepala Sekolah Satap bernama Dirman yang baru menjabat 24 hari adalah sosok penuh semangat. Pengakuan dari warga sekitar, ia bahkan selalu membersihkan sekolah seorang diri, mengajak masyarakat bergotong royong mengalirkan air ke sekolah. Mungkin terdengar sederhana, namun sebelumnya ini tak pernah dilakukan.
Fasilitas Kesehatan Tidak Memadai
Beranjak dari isu pendidikan yang belum menemui titik terang, persoalan fasilitas kesehatan di Dongi-Dongi tak kalah runyam. Data tahun 2018 jumlah masyarakat di sana mencapai 581, sementara hanya ada satu bidan yang bertugas. Martina Bonggadika adalah satu-satunya bidan tetap yang harus melayani seluruh masyarakat.
Sosok yang akrab disapa Bidan Sambo mengaku sudah hampir satu dekade ditugaskan di wilayah tersebut. Tak hanya berurusan dengan kesehatan kehamilan dan persalinan, Bidan Sambo melayani segala jenis penyakit yang dikeluhkan masyarakat Dongi-Dongi.
Beruntungnya kini Bidan Sambo mendapat bantuan tenaga dari petugas kesehatan Puskesmas Wuasa, Ellen Leomi Tengkow salah satunya. Sebagai Pengelola promosi Kesehatan Puskesmas Wuasa ia rutin menyambangi Dongi-Dongi untuk melakukan berbagai aktivitas kesehatan.
Isu kesehatan lingkungan hingga angka pernikahan dini belum tertangani dengan maksimal, Ellen bercerita soal kultur msayarakat Dongi-Dongi yang banyak melakukan MCK di sungai hingga menimbulkan masalah baru yakni pencemaran air.
“Jelas akan berdampak pada kesehatan (kegiatan MCK di sungai), sungai digunakan sebagai tempat BAB, airnya diambil untuk cuci piring, air dikonsumsi untuk minum. Biasanya ada kasus diare dampak dari penggunaan air yang tidak bersih,” jelas Ellen.
Banyak kasus diare setiap tahunnya, bahkan dalam sesi program Sehat Nusantara (SN) rumah sakit lapangan ada salah satu warga Dongi-Dongi yang menderita diare lebih dari dua tahun dan tak kunjung sembuh. Untuk alasan mengapa tak segera pulih tentu banyak faktor, kondisi ini benar-benar rumit.
Dari observasi yang penulis lakukan selama program Bakti Nusantara (BN) Poso 2024, masyarakat Dongi-Dongi mengeluhkan kondisi toilet umum yang tak memadai. Dari jumlahnya yang tak ideal dengan kebutuhan, pembangunan tak sesuai standar, hingga kerusakan-kerusakan yang tak dipertanggungjawabkan. Bahkan, kalimat-kalimat negatif bersahutan, kemana larinya dana-dana perbaikan?
Ellen mengakui bahwa kondisi toilet umum di Dongi-Dongi tidak terawat, masyarakat sebagai pengguna seolah tak memiliki rasa tanggung jawab untuk saling merawat fasilitas umum tersebut.
“Namanya toilet umum mereka tidak ada rasa memiliki sehingga tidak terlalu terawat. Masih layak digunakan tapi untuk kebersihan masih sangat kurang,” ujar Ellen terkait kondisi toilet umum.
Dari toilet umum yang tak memadai, kondisi kesehatan masyarakat juga miris untuk diceritakan. Sekali lagi, semua terbelenggu dalam keterbatasan. Bidan Sambo dan Ellen tentu sudah menahan getirnya memperjuangkan masyarakat Dongi-Dongi.
Raissa Liem, dokter spesialis obgyn dari Metropolitan nampak gusar kala memfasilitasi pemeriksaan kehamilan para ibu di Dongi-Dongi. Ada satu kasus yang serius, kekhawatiran memuncak ketika sang ibu ternyata juga tidak concern soal itu.
Ia menghadapi bagaimana kesadaran kesehatan sangat rendah. Namun, ini semua tak bisa diambil kesimpulan begitu saja. Para ibu di Dongi-Dongi tak bisa setiap bulan mengakses pemeriksaan USG, kontras jika dibandingkan dengan kondisi warga kota. Mereka dipaksa oleh keadaan yang serba tak ideal.
“Mungkin kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan terutama kesehatan ibu hamil itu sangat rendah. Kemarin ada kasus bagaimana ibu hamil aterm 37 minggu ternyata pertumbuhan tulangnya tidak sesuai ukurannya 31-32 minggu. Namun ketika disampaikan kepada pasien, pasien tidak ada concern sama sekali mereka menganggap itu hal yang normal saja dan hanya peduli apa jenis kelamin bayinya saja,” jelas Raissa.
“Apa yang saya tangkap kesadaran dari masyarakat rendah, mereka mungkin tidak punya akses terhadap vitamin atau terhadap gizi yang baik atau mungkin pendidikan mereka masih tergolong rendah sehingga mereka tidak tahu apa itu pentingnya bayi yang sehat berpengaruh terhadap anak yang pintar, mereka belum ditahap itu,” tambahnya lagi.
Akses pendidikan yang tak memadai disinyalir menjadi pemicu-pemicu kondisi ini. Tak sedikit anak-anak melakukan pernikahan dini. Cerita yang dituturkan siswa-siswi sekolah Satap Dongi-Dongi banyak dari keluarga dan para tetangga yang menikah di usia dini, 14 tahun adalah usia yang sangat belia.
Dalam program SN lain yang fokus terhadap penyuluhan gizi tampak dua perempuan berusia belasan. Ketika berbincang, mereka mengaku akan melangsungkan pernikahan dengan laki-laki pilihannya beberapa bulan ke depan. Penyuluhan gizi yang mereka ikuti harapannya mampu memberi bekal ketika mereka berumah tangga nanti, bagaimana menyiapkan makanan pendampin asi untuk buah hatinya kelak.
Meski demikian, Dongi-Dongi adalah bagian dari Indonesia. Anak-anak di Sekolah Satap berhak meraih mimpinya. Beberapa dari mereka menyimpan semangat luar biasa. Mencoba mengurai rumitnya Dongi-Dongi, YTBN bersama banyak pihak membangun Puskesmas Pembantu atau Pustu Plus untuk memfasilitasi para masyarakat.
Semua pihak berhak mendapat fasilitas yang layak dan pendidikan yang memadai.
“Nama saya Alif, cita-cita ingin menjadi tantara. Saya ingin melanjutkan SMA di Palu karena di sana lebih bagus. Ada kakak sepupu melanjutkan di sana”
“Saya Novita, kelas 7. Cita-cita ingin menjadi TNI, ingin melanjutkan sekolah di daerah Parigi Palu. Di keluarga saya ada yang menikah usia dini kakak sepupu, ada yang lulus SMP ada yang lulus SMP”
“Saya Kayra, cita-cita ingin menjadi dokter, Mudah-mudahan nanti bisa sekolah di Palu. Saya sedih kakak sepupu menikah dini lulus SD”
Dongi-Dongi, untuk tiba di sana memang sangat berliku.
Penulis: Meigitaria Sanita