Kisah nyata yang diangkat menjadi sebuah film terbukti memiliki daya tarik tinggi bagi penonton. Catatan soal raihan jumlah penonton adalah bukti nyata, sebut saja Hafalan Shalat Delisa yang rilis 2011 mengisahkan perjuangan anak perempuan pasca bencana tsunami Aceh 2004 sukses menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak ketiga pada awal tahun 2012. Tak berhenti disitu, KKN di Desa Penari adalah pemenangnya, film bergenre horor ini sukses menjadi film terlaris sepanjang masa dengan raihan lebih dari 10 juta penonton.
Keduanya merupakan film-film yang diadopsi dari kisah yang telah terjadi dan disajikan dengan narasi-narasi serta visual yang begitu menggugah. Salah satu alasan mendasar mengapa film yang diangkat dari kisah nyata selalu laris karena adalah sisi yang cukup menawan (captivating).
Sisi captivating yang senggaja diciptakan, menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi yang fokus dengan media and film studies menyebut film diproduksi untuk mengajak penonton menyaksikan isu tertentu.
“Bagaimana film yang diproduksi dengan basis kisah nyata atau based on true story punya sisi captivating, bikin penonton ingin terlibat, dan ingin tau lanjutannya. Terlepas sejauh mana pendekatan kreatif sineas. Mau kisah nyata atau rekaan, buatku film is an art to persuade creativity. Ekspresi seni yang pada dasarnya untuk mempersuasi penonton untuk membicarakan isu tertentu,” ujar Dr. Zaki Habibi.
Meski demikian, kerja kreatif dalam menampilkan kisah nyata ini selalu memantik pergolakan berbagai respon penonton. Banyak yang mendukung, menghujat, hingga ramai-ramai mengajak memberhentikan penayangan.
Memvisualkan Kisah Nyata
Mengeksplorasi kisah nyata menjadi film membutuhkan ketrampilan dan riset yang mumpuni. Seperti kisah kehidupan Delisa, layaknya film biopik lainnya kedalaman hidup subjek yang difilmkan mencoba memeberikan pemahaman kepada penonton melalui karakter hingga tingkat intelektualitasnya. Bagaimana kegigihan Delisa hingga tsunami Aceh menghantamnya membuat penonton hanyut dengan air mata.
George Frederick Custen dalam Bio/Pics: How Hollywood Constructed Public History yang direview oleh Charlotte Greenspan pada Jurnal of Film and Video menyebutkan jika film dari kisah nyata dalam kategori biopik memiliki sisi dramatisasi sehingga bisa jadi tak akurat. Hal ini dilakukan untuk menyampaikan makna lebih luas daripada hanya menjadi teks objektif karena setiap kisah nyata yang difilmkan selalu punya maksud atau tujuan.
Zaki menjelaskan, ada berbagai tujuan pembuatan film dari kisah nyata dan tentu setiap tujuan memiliki teknik masing-masing. Beberapa tujuan tersebut adalah inspirasi dan adaptasi.
“Kisah nyata sebagai apa, misal inspirasi, inti kisah nama tokoh dikreasi bukan menunjukkan subjek kisah. Menjadi adaptasi atau ekranisasi, dari sesuatu menjadi film. Kadang struktur pembabakan alur mengikuti kisah nyata demi sebuah tujuan. Durasi episode hidup tidak harus sama,” jelasnya.
Sementara soal etika Zaki menyebut jika metode dalam film dokumenter yakni reenactment (menghidupkan kembali) atau disebut kegiatan reka ulang peristiwa bersejarah dengan aksesoris berdasarkan riset sah-sah saja dilakukan secara etika dan estetika.
“Penggunaan arsip dan narasi perlu diolah. Banyak film kadang kurang riset pra produksi, tidak hanya mau ngangkat kisah apa, tapi juga keputusan narasi mau dibawa kemana,” ujarnya.
“Dramatisasi (sah dilakukan), izin (kebutuhan menggali cerita dan etika), nama tidak sama (dengan tokoh dengan dalih perlindungan privasi),” tambahnya.
Sikap Netizen dalam Merespon
Ramai-ramai menghakimi suatu karya film yang dianggap tak etis dalam segi estetika hingga privasi tokoh utama. Dalam konteks ini Zaki menjelaskan jika penonton juga harus bersikap adil. Artinya, bukan seru menyeru boikot di media sosial namun memberi pencerahan yang lebih berimbang.
“Penonton sama-sama lebih literate sekaligus adil, bersikap jelas. Anti boikot film, sejelek apapun seruwet film. Respon adilnya penonton berhak membuat resensi film, kritik film (opini pembuat dari penulis) untuk penonton dan pembuat film, kajian film bisa berbentuk video konten,” jelasnya.
Lebih lanjut, konteks ini menjadi pembeda penonton sebagai sosok yang literate bukan sosok yang otoriter. Seiring berkembangnya estetika film, pengetahuan penonton juga diharapkan mampu bertumbuh.
Kadangkala, banyak film mengalami penolakan karena standar nilai dan norma yang diangkat tidak sesuai pada kondisi masyarakat.
“Tanggung jawab produser dan sineas tidak bertanggung memuaskan persepsi penonton, tapi tanggung jawab estetika, tanggung jawab etik. Terikat kondisi dimana film itu diputar,” tambahnya.
Sementara mengutip dari laman Esei Nosa tulisan Nosa Normanda yang aktif menulis resensi dan kritik film, ia menyebut tidak semua film yang diangkat dari kisah nyata dapat dikategorikan sebagai film biopik. Sebut saja film bergenre horor dengan adegan sadis yang dialami korban pemerkosaan hingga pembunuhan tidak bisa serta merta dipromosikan sebagai horor mistik biopik.
“Tapi karena mistik adalah subjektif, nama korban bukan nama asli dan tidak melibatkan realitas sosial seperti perkosaan”.
Trakhir, soal riuhnya publik yang marah dan tak logis justru bisa menjadi agen iklan gratis bagi pihak pembuat film.
“Jika kamu sudah cukup umur dan dewasa, kamu harus berpikir logis sebelum mengadili sebuah produk budaya yang terbit dengan keterlibatan banyak unsur: dari PH, lembaga sensor, dan bioskop. Kalau belum menonton filmnya, baiknya kamu menggunakan data sahih yang tersilang referensi untuk menentukan kebijakan atau opinimu. Jika tidak, jangan mengadili sebuah film atau produk budaya yang kamu tidak tonton. Baiknya bicarakan hal-hal fenomena yang kamu saksikan dan terverifikasi”.
Jadi bagaimana menurutmu Comms? Sebagai mahasiswa yang belajar tentang kajian film tertarik untuk menulis kritik film dengan perpektif akademis dan relevan?