Tag Archive for: komunikasi gender

Reading Time: 2 minutes

The objectification of women in the media takes place in various forms and mediums. Starting from objectification in songs, films, advertisements, games, to journalistic content products. Women have always been objects and victims of media violence.

Iwan Awaluddin Yusuf said that something can be described as objectifying women if the content makes women objects, tools, and sexual commodities. “In addition, also check, are there any expressions, depictions, or dialogues that sound like harassment against women (body shaming, sexist jokes, etc.),” ​​said Iwan who is also a Communications Lecturer at UII, on May 30, 2021, at the Women in Media Perspectives a public discussion: Is it true that women are objectified by the media?

This discussion by the Student Press Institute/ LPM Meets Pasundan University, besides presenting Iwan as an academic, also presented from the perspective of women activists Poppy Dihardjo, and journalist Nani Afrida. Poppy is the initiator of Women Without Stigma at @pentasindonesia and Nani is a journalist at Anadolu Agency.

Iwan added that the full depiction of the Male Gaze (male perspective) must also be checked whether he is dominantly present in the visual or audio depiction produced by the media.

According to a doctoral student at Monash University, Australia, this media objectification is often also present by putting women as a form of the perpetuation of patriarchal values.

In front of more than a hundred participants, Iwan said, in the world of film, the practice of media objectification often occurs as well. “Many films with the title women (widows) create symbolic violence against women and widows,” said Iwan. Not only in movies, this also appears in song lyrics that use widow’s diction. There is symbolic violence that appears in the choices of song diction.

Seeing Gender and Media Issues through a Media Ecosystem Approach

Women’s representation in the media from the past until now is not far from placing women as commodity objects and not serious subjects. “In the past, women have never been shown (represented) in serious content. For example, news, why are women presenters and how are they arranged?” Iwan asked. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” added Iwan.

Iwan provides a way to overcome gender issues in our media. “This has been an issue for a long time. This is actually a good way to build an egalitarian media. For example, women become media leaders, become directors, and enter the internal media ecosystem,” explained Iwan.

In the past, the public was the audience. Now it has changed. When the public is able to produce their own media which is eventually called prosumer, the public should also be able to remind and report the media to avoid objectification of women by the media.

Why is it important to avoid objectification? If the media objectifies women, then what Iwan calls double victimisation. “So women are not tried to be victims twice. Victims of sexual violence perpetrators, even victims by the media because the stories are published by the media that make women victims and media selling commodities,” explained Iwan.

Reading Time: 2 minutes

Objektifikasi perempuan dalam media berlaku dalam beragam bentuk dan medium. Mulai dari objektifikasi dalam lagu, film, iklan, game, hingga produk konten jurnalistik. Perempuan selalu menjadi objek dan korban kekerasan media.

Iwan Awaluddin Yusuf mengatakan sesuatu dapat digambarkan mengobjektifikasi perempuan jika konten menjadikan perempuan sebagai benda, alat, dan komoditas seksual. “Selain itu, cek juga, adakah ungkapan, penggambaran, atau dialog bernada pelecehan pada perempuan (body shaming, candaan seksis, dll),” kata Iwan yang juga adalah Dosen Komunikasi UII, pada 30 Mei 2021 di acara diskusi publik Perempuan dalam Kacamata Media: Benarkah Perempuan diobjektifikasi oleh Media.

Diskusi oleh Lembaga Pers Mahasiswa/ LPM Jumpa Universitas Pasundan ini selain menghadirkan Iwan sebagai akademisi, juga menghadirkan dari kacamata aktivis perempuan Poppy Dihardjo, dan Jurnalis, Nani Afrida. Poppy adalah penggagas Perempuan Tanpa Stigma di @pentasindonesia dan Nani jurnalis di Anadolu Agency.

Iwan menambahkan bahwa penggambaran penuh Male Gaze (perspektif laki-laki) juga harus dicek apakah ia dominan hadir dalam penggambaran visual atau audio yang diproduksi media. Menurut mahasiswa doktoral Monash University, Australia, ini objektifikasi media seringkali juga hadir dengan menomorduakan perempuan sebagai bentuk pelanggengan nilai-nilai patriarki.

Di depan lebih dari seratus partisipan, Iwan mengatakan, dalam dunia film, praktik objektifikasi media sering terjadi juga. “Banyak judul film dengan judul perempuan (janda) yang membuat kekerasan simbolik pada perempuan dan janda,” kata Iwan. Tak hanya film, hal ini juga muncul dalam lirik-lirik lagu yang menggunakan diksi janda. Ada kekerasan simbolik muncul dalam pilihan-pilihan diksi lagu.

Melihat Persoalan Gender dan Media melalui Pendekatan Ekosistem Media

Representasi perempuan di media dari dahulu hingga sekarang tidak jauh dari menampilkan perempuan sebagai objek komoditas dan bukan subyek yang serius. “Sejak dulu perempuan tidak pernah ditampilkan (representasi) dalam konten yang serius. Misal berita, kenapa perempuan presenter dan diatur sedemikian rupa?” Kata Iwan mempertanyakan. “Say no to objectification. Towards women, towards men, towards you, towards us,” imbuh Iwan.

Iwan memberi cara mengatasi persoalan gender di media kita. “Ini yang menjadi isu dari dulu. Ini sebenarnya cara yang baik untuk membangun media yang egaliter. Misalnya perempuan menjadi pemimpin media, menjadi sutradara, dan masuk ekosistem internal media,” kata Iwan menjelaskan.

Dahulu, publik sebagai audiens. Kini telah berubah. Saat ketika publik sudah bisa memproduksi media sendiri yang akhirnya disebut prosumen, maka publik juga seharusnya bisa mengingatkan dan melaporkan media untuk menghindari objektifikasi perempuan oleh media.

Mengapa penting menghindari objektifikasi? Jika media mengobjektifikasi perempuan, maka akan terjadi apa yang disebut Iwan sebagai double victimisation. “Jadi perempuan diupayakan tidak menjadi korban dua kali. Korban dari pelaku kekerasan seksual, bahkan juga korban oleh media karena ceritanya dipublish oleh media yang menjadikan perempuan korban dan komoditas jualan media,” jelas Iwan.