Tag Archive for: kajian bulanan fpsb

Reading Time: 3 minutes

We need to go home, return to standard. If the term mobile phone, we have to restore or restart. We, as Muslims, restart five times a day. Every year we also restart with fasting. All Islamic ritual activities go towards Eid. Back to nature. Aware of his human existence.

That’s what Didik Purwodarsono, a spiritual speech at the UII FPSB Religious Ta’lim said on Friday, April 23, 2021, through the online conference application, Zoom Meeting. The speech which is routinely held by the dean of the Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences, Universitas Islam Indonesia is carried out in the context of strengthening Islam and internalizing Islamic nuances. The speech was also held to enliven the month of Ramadan and the 26th Anniversary of FPSB this year.

According to Didik, fasting is also an educational momentum. “Education is teaching humans to be able to guide their every demand. As a lecturer, there are two tests, religious science and professional science, guiding students to have the ability to be smart and wise,” said Didik. Didik explains what he means by instructions and demands.

“We have to set from the epigastrium to top (guidance) and from the epigastrium to bottom (demand),” he said explaining the meaning of fasting like a cell phone, actually returning (restarting) the concept of the human future. The first restart, when referring to the Quran Surah Maryam (33), humans should not forget the three major events, namely the events of birth, death, and events of life after death. Didik said, in the Quran Surah Yasin (verse 12), Allah revives humans to appreciate their achievements and inscriptions (alms, useful knowledge, and pious children).

“Why do we have to wait for death, because life is to make achievements, not waiting for appreciation,” explained Didik, who is also the caretaker of a boarding school in Sleman. “If we have achievements just to wait to die is a loss, then the Quran in Surah Yasin (12) states that we need to live again to receive a fair award for our achievements and inscriptions.”

So for fasting to reach Eid al-Fitr, to achieve the sanctity of human life, humans must be perfect in looking at the future, namely worldly goodness and hereafter. “Therefore, it is not surprising that we are encouraged to pray in full to get good not only in this world but also in the hereafter. The trick is to read Rabbana Atina Fiddunya hasana Wa fil Akhirati Hasanah,” he said.

It is possible, said Didik, that we only conceptualize in educational teaching about future achievements before death, not after death. “In Javanese terms, wong iman iku bayarane katah, ganjarane turah. People of faith are paid a lot, and the rewards are excessive. So we are looking for rewards and payments,” said Didik. “Have we used our budget allocation to build the house we live in to wait to die and at the same time for the house we will live in in the afterlife?” Said Didik throws a reflective question sentence.

Didik gives the example of the people of Kuwait, Yemen, and the surrounding areas educating children not only to build a decent house that is sufficient (worldly) but also to prepare for a future home by saving mosque waqf.

“The world is the grass, the hereafter is the rice, the Javanese say. If we plant rice, we will reap the grass. On the other hand, if we plant grass, we will never get rice,” explained Didik with an analogy from Javanese local wisdom. That is, if we pursue the afterlife then there is the potential to get the world. On the other hand, if you pursue the world, it is impossible to get the afterlife.

The next human restart, said Didik, is as stated in the Quran Surah Ali Imron verse 112, is to become a valuable human being.

Humans who are valuable and useful are humans who are not greedy for plants, animals, and damage for the sake of humans. “Fasting brings humans back to take care of the earth,” said Didik. There is a servitude through what in Islam is called hablu minallah and hablu minannas. Connect with God and fellow creatures.

So if humans have restarted themselves, the hope of piety is the fruit. Taqwa is a necessity. Towards holiness or human nature as a leader with Islamic guidance is a mercy for the universe.

 

Reading Time: 3 minutes

Kita perlu mudik, kembali ke standar. kalau istilah ponsel, itu kita harus restore atau restart. Kita juga sebagai seorang muslim itu restart sehari lima kali. setiap tahun kita juga restart dengan puasa. semua aktivitas ritual islam itu menuju idul fitri. kembali ke fitrah. menyadari eksistensi manusianya yang manusiawi.

Begitulah kata Didik Purwodarsono, penceramah dalam Kajian FPSB UII pada Jumat, 23 April 2021 lewat aplikasi konferensi daring, Zoom Meeting. Kajian yang rutin diselenggarakan oleh dekanat Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia ini dilaksanakan dalam rangka penguatan keislaman dan internalisasi nuansa keislaman. Kajian juga dihelat demi menyemarakkan bulan ramadhan dan Milad FPSB ke 26 tahun ini.

Menurut Didik, puasa juga menjaid momentum pendidikan. “Pendidikan adalah mengajar manusia supaya bisa menuntun setiap tuntutannya. Sebagai dosen tesnya dua, ilmu syar’i dan ilmu profesi, membimbing mahasiswa agar memiliki
kemampuan untuk cerdas dan bijaksana,” kata Didik. Didik menjabarkan apa yang ia maksud dengan tuntunan dan tuntutan. “Kita harus mengatur ulu hati ke atas (tuntunan) dan ulu hati ke bawah (tuntutan),” katanya menjelaskan

Makna puasa layaknya ponsel, sesungguhnya mengembalikan (restart) konsep masa depan manusia. Restart yang pertama, bila merujuk Quran surat Maryam (33), manusia tidak boleh lupa tiga peristiwa besar yaitu peristiwa kelahiran, kematian, dan peristiwa hidup sesudah mati. Didik bilang, dalam Quran Surat Yasin (ayat 12), Allah menghidupkan manusia untuk
menghargai prestasi dan prasastinya (sodakoh jarinyah, ilmu yang bermanfaat, anak soleh).

“Kenapa kita harus menunggu kematian, karena hidup untuk mencetak prestasi bukan menungu apresiasi,” jelas Didik yang juga adalah Pengasuh Pondok Pesantren di Sleman ini. “Kalau kita punya prestasi hanya untuk menunggu mati itu rugi, maka Quran surat yasin (12) menyebutkan maka kita butuh hidup lagi untuk menerima penghargaan yang adil atas prestasi dan prasasti kita.”

Maka agar puasa mencapai idul fitri, mencapai kesucian kehidupan manusia, maka manusia harus sempurna menatap masa depan, yaitu kebaikan duniawi dan ukhrowi. “Oleh karenanya tak heran bila kita dianjurkan berdoa secara lengkap agar mendapatkan kebaikan tak hanya di dunia melainkan akhirat juga. Caranya dengan membaca Rabbana Atina Fiddunya hasana Wa fil Akhiroti Hasanah,” katanya.

Jangan-jangan, kata Didik menegaskan, kita hanya mengonsep dalam pengajaran pendidikan soal prestasi masa depan sebelum mati, bukan sesudah mati. “Dalam istilah jawa, wong iman iku bayarane katah, ganjarane turah. Orang iman itu bayarane banyak, dan ganjarannya berlebih. Jadi kita cari ganjaran dan bayaran,” ungkap Didik. “Apakah kita sudah menggunakan alokasi anggaran kita untuk membangun rumah tinggal yang kita tinggali untuk menunggu mati dan sekaligus untuk rumah yang akan kita tinggali di akhirat?” Kata Didik melontarkan kalimat pertanyaan yang sifatnya reflektif.

Didik memberi contoh orang Kuwait, Yaman, dan sekitarnya mendidik pada anak untuk tak hanya bangun rumah layak yang cukup (duniawi) melainkan juga mempersiapkan untuk rumah masa depan dengan menabung wakaf masjid.

“Dunia itu rumputnya, akhiratnya itu padinya, kata orang jawa. Kalau kita menanam padi, kita akan menuai rumput. Sebaliknya, kalau kita menanam rumput, tidak akan pernah mendapat padi,” jelas Didik dengan suatu ibarat dari kearifan lokal jawa. Maksudnya, kalau kita mengejar akhirat maka ada potensi mendapatkan Dunia. Sedangkan sebaliknya, jika mengejar dunia, mustahil mendapat akhirat.

Restart manusia yang berikutnya, kata Didik, adalah seperti yang tertuang dalam Quran Surat Ali Imron ayat 112, adalah menjadi manusia yang bernilai.

Manusia yang bernilai dan bermanfaat adalah manusia yang bukan rakus dan serakah dengan tanaman, hewan, dan merusak demi kepentingan manusia. “Puasa mengembalikan manusia agar ikut menjaga bumi,” kata Didik. Ada sebuah pelayanan-penghambaan melalui apa yang dalam islam disebut hablu minallah dan hablu minannas. Berkoneksi dengan Allah dan sesama makhluk.

Maka jika manusia telah me-restart diri, harapannya takwa adalah buahnya. Takwa adalah keniscayaan. Menuju kesucian atau fitrah manusia sebagai pemimpin dengan panduan islam yang menjadi rahmat untuk semesta.