Perempuan yang bekerja pada sektor media seperti jurnalis tentu memiliki peluang bersuara dengan lantang menanggapi isu kesetaraan. Ironisnya, jurnalis perempuan justru menerima banyak kekerasan hingga kelayakan upah yang tak setara dengan jurnalis pria. Jika dirimu perempuan yakin mau jadi jurnalis? Tingkat kekerasan tinggi, gaji masih belum mumpuni.
Dalam rangka merayakan “Hari Perempuan Internasional” 8 Maret 2023 sudah selayaknya kita tahu jika banyak perempuan yang mengalami kondisi mengerikan dan penuh diskriminasi. Perlu diketahui Hari Perempuan Internasional merupakan bentuk dukungan kepada seluruh perempuan di dunia yang memilih jalan hidupnya diberbagai bidang, mulai dari perempuan karier hingga ibu rumah tangga yang berhak untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hari Perempuan Internasional juga diartikan sebagai titik balik untuk memperjuangkan hak mengingat perempuan memiliki pengaruh besar dalam advokasi berbagai isu.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh PR2Media dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebanyak 82,6 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan seksual. Riset dilakukan kepada 852 jurnalis perempuan yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Setidaknya 704 perempuan memiliki pengalaman kekerasan seksual sepanjang menjalani kariernya.
Bagaimana fakta ini cukup mencengangkan bukan? Ternyata di tengah upaya kesetaraan gender yang digaungkan oleh berbagai pihak masih banyak perempuan yang posisinya tidak aman dan menerima perlakuan diskriminatif.
Lantas apa saja bentuk kekerasan serta tindakan diskriminatif yang diterima jurnalis perempuan selama menjalani profesinya, simak hasil laporan riset berikut ini.
Baca juga: “Riset: jurnalis perempuan masih menjadi target rentan kekerasan”
Kekerasan yang dialami jurnalis perempuan di Indonesia relatif tinggi
Meski memiliki kesempatan untuk bersuara lantang nyatanya jurnalis perempuan masih tidak aman dalam belenggu kekerasan seksual. Tingginya kasus kekerasan seksual tentu menjadi masalah besar yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.
704 dari 852 jurnalis dari 34 provinsi di Indonesia mengaku memiliki pengalaman kekerasan seksual selama bekerja. Dari riset yang dilakukan PR2Media dan AJI mereka mengalami pelecehan seksual ataupun serangan seksual di kantor dan luar kantor, bahkan di lokasi liputan. Perlu diketahui kekerasan seksual dialami secara daring maupun luring. Fakta selanjutnya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan juga berasal dari rekan kerja sebesar 20,9 persen dan atasan 6,9 persen.
Berikut data yang ditemukan oleh PR2Media dan AJI terkait kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan.
- Body shaming secara luring (58,9% dari total responden),
- Catcalling secara luring (51,4%),
- Body shaming secara daring (48,6%),
- Menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring (37,2%),
- Sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan secara luring (36,3%),
- Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara luring (36%),
- Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara daring (35,1%),
- Diperlihatkan pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara luring (27,2%),
- Dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku secara luring (4,8%), dan
- Dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6%).
Sementara itu, terkait ranah daring dan luring, sebagian besar jurnalis mengalami kekerasan di ranah daring sekaligus luring (37% dari total responden), lalu daring saja (26,8%), dan luring saja (18,2%). Hanya 17,4% (148) responden yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual apa pun dalam karier jurnalistik mereka.
Diskriminatif dan gaji yang belum mumpuni
Jika kekerasan masih menjadi pil pahit bagi sebagian besar jurnalis perempuan ternyata masih ada pola diskriminatif yang tumbuh subur. Isu soal gaji yang lebih rendah daripada pria hingga diskriminatif tugas di lapangan hanya karena persoalan gender.
Hasil riset yang dilakukan AJI Jakarta soal Survei Upah Layak 2021 ternyata masih ada jurnalis perempuan yang diberi gaji lebih rendah. 5 dari 99 jurnalis perempuan yang bekerja maksimal 5 tahun mengaku ada perbedaan signifikan terkait gaji jurnalis perempuan dengan laki-laki. Sedangkan 41 responden mengaku tidak ada perbedaan gaji, dan 54 lainnya tidak mengetahui sama sekali ada atau tidaknya perbedaan gaji.
Berdasarkan upah layak bagi jurnalis tahun 2022 yakni sekitar Rp 8,3 juta, faktanya sebagian jurnalis digaji dengan ketentuan UMP. Padahal gaji yang rendah tentu akan berpengaruh terhadap profesionalisme jurnalis seperti isu suap dan lainnya. Sementara etika dalam jurnalis dituntut untuk bekerja secara profesional , memihak kebenaran, serta kepentingan masyarakat luas.
Riset AJI bersama Internasional Federation Journalist (IFJ) pada akhir 2020 ternyata upah minimum tak berpihak kepada jurnalis. Setidaknya respoden yang terdiri dari 700 jurnalis mengungkap 83,5 persen jurnalis terdampak ekonomi dari pandemi, berupa pemotongan honor (53,9 persen), pemotongan gaji (24,7 persen), Pemutusan Hubungan Kerja (5,9 persen), dan dirumahkan (4,1 persen).
Melihat banyaknya potongan gaji tersebut apa kabar dengan jurnalis perempuan yang sejak awal menerima upah lebih rendah?
Beralih dari diskriminasi gaji, ternyata jurnalis perempuan juga menerima diskriminasi soal tugas di lapangan. Menurut penuturan Erlina Fury Santika salah satu jurnalis media nasional di Jakarta mengaku pada saat dirinya menjadi reporter pembagian pos liputan juga berbasis gender.
Sejak awal kesempatan dan jenis pekerjaan yang dilakukan antara jurnalis perempuan dan laki-laki berbeda. Erlina menyebut paling sering mengalami diskriminasi soal tugas lapangan. Isu potensial lebih banyak diberikan kepada jurnalis laki-laki.
“Perbedaanya di pos liputan dan itu terasa sekali. Liputan yang dianggap berat diserahkan ke laki-laki misalnya soal hukum, politik selalu didominasi laki-laki,” terangnya saatdihubungi melalui pesan WhatsApp pada 8 Maret 2023.
Ia menambahkan kondisi itu membuatnya merasa tidak nyaman, terlebih jurnalis perempuan juga butuh pengembangan kualitas di bidang jurnalistik dan liputan yang beragam. Hingga akhirnya Ia mantap untuk selalu mengajukan diri.
“Ada (isu potensial dan urgen) tidak tercover karena semua jurnalis laki-laki gak ada yang lowong akhirnya mengajukan diri,” terangnya.
Ketimpangan yang dialami jurnalis perempuan masih terjadi padahal menurut Anggota Dewan Pers Ninik Rahayu kesenjangan gaji yang diberikan kepada jurnalis perempuan bias disebabkan adanya bias yang sistematis terhadap perempuan dalam bekerja. Misalnya saja, jurnalis perempuan yang memang selama ini “dibedakan” pekerjaannya dengan laki-laki, sehingga kesempatan yang berkaitan dengan promosi gaji atau bonus pun juga berbeda.
“Sejak awal jenis pekerjaannya sudah dibedakan, kenapa (bisa jadi) mendapatkan upah yang berbeda,” katanya dilansir dari konde.co.
Artikel ini ditulis untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2023
Penulis: Meigitaria Sanita