Tag Archive for: hegel

Reading Time: 2 minutes

Penulis itu sebaiknya punya tirakat. Seorang penulis harus menjadi pembaca yang “rakus” menekuni dan menguasai bidang keilmuan secara kaffah. Seorang penulis harus mempunyai slogan hidup, “tiada hari tanpa membaca dan menulis.”

“Menjadi penulis mudah. Namun menjadi penulis yang transformatif dan inspiratif membutuhkan modal pengetahuan yang luas,” tutur Zuhairi Misrawi, kolomnis kawakan dan pemikir muda muslim ternama di Indonesia pada Senin (31/5/2021). Ia hadir di Komunikasi UII membagikan pengalamannya 30 tahun menulis kolom dalam Kuliah Pakar Penulisan Esai daring.

Meski begitu, ia menuturkan, menulis itu cuma butuh dua modal: kemauan. Kemauan dan mengerti jam biologis pribadi kapan nyaman menulis. Jika kita telah menemukan ritme menulis, segera melanjutkan dan menyelesaikan tulisan tersebut. Modal kedua adalah keberanian. Keberanian menyampaikan sudut pandang. Sementara itu, sudut pandang yang bagus dipengaruhi oleh bacaan. “Seorang penulis akan kelihatan apakah ia rakus membaca atau tidak,” katanya. “Tulisan harus komunikatif, berkomunikasi dengan pembaca seakan mereka terlibat dan berdialog dengan pembaca.”

Menurut pria lulusan Universitas Al Azhar, Mesir, ini penulis harus punya academic mindset: Cara berfikir akademis. Cara berfikir akademis itu harus bisa berfikir metodologis. Artinya ia harus berdasar teori (theory driven). “Apa yang kita pikirkan berbasis teori dan metodologi yang kuat. Berpikir rasional itu tidak bisa seenaknya berfikir, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, masuk akal,” jelasnya kemudian.

Selain ilmiah, mahasiswa yang ingin menjadi penulis tidak boleh lupa untuk berfikir argumentatif. “Maksudnya berfikir itu ada argumennya. Argumen sejarah, antropologis, politisnya seperti apa,” imbuhnya. Tak hanya itu, mahasiswa juga sebaiknya menulis dengan cara berpikir kritis reflektif. Gunakan bahasa yang baik, benar, dan mengalir dan kaya gagasan khas mahasiswa.

Zuhairi menekankan, “Mahasiswa harus menulis bukan deskriptif, harus mempertanyakan. Berpikir kreatif itu bisa melakukan apa saja seperti yang kita hendaki. Out of the box.”

Diskusi yang dipandu oleh Risky Wahyudi dan Sumekar Tanjung, Dosen pengampu Mata Kuliah Penulisan Akademik, ini menjadi pengayaan berharga bagi mahasiswa Komunikasi UII dari begawan penulisan esai dan kolom kaliber nasional.

Tipologi Tulisan ala Hegel

Berdasar perspektif hegel, kata Zuhairi, tulisan yang paling mudah adalah tulisan dengan tipologi tesa. Tipologi ini hanya mendeskripsikan gagasan yang sudah ada. “Saya menantang mahasiswa menulis dengan tipologi anti-tesa yaitu tulisan yang mengkritik ide yang sudah mapan. Harusnya juga tulisan mahasiswa itu yang transformatif inspiratif yaitu tipologi sintesa: Memberi solusi dan melahirkan ide baru,” kata Zuhairi mengutip dialektika Hegel.

Menulis adalah tindakan peradaban karena ia mewarisi pikiran kepada generasi yang akan datang. Kalau kita menulis, kita masuk dalam bagian peradaban dunia. “Misalnya, buku-buku saya sudah masuk di satu rak khusus di Perpustakaan dunia, di Harvard, di Cambridge. Dari situ tulisan kita akan menjadi bagian peradaban dunia, menjadi referensi orang,” ungkapnya.

“Karena kita mewarisi peradaban, maka menulis adalah pekerjaan mulia. Sejatinya menulis adalah kita sedang sedekah ilmu,” kata Zuhairi memotivasi. Seorang penulis harus punya karakter yang mencerminkan identitas, visi, ideologi, sehingga pembaca tertarik dengan tulisan kita. “Bahkan untuk beberapa penulis, bukunya selalu diperbincangkan. Itu yang baik. Lalu kalau ditanya, banyak viewer-nya, banyak pembelinya, tapi apakah gagasan buku itu menjadi perbincangan?” jawab Zuhairi menanggapi pertanyaan salah satu peserta, Khalif Muhammad Madani.

Reading Time: 2 minutes

The writer should be humble. A writer must be a “greedy” reader to pursue and master the scientific field thoroughly. A writer must have a living slogan, “there is no day without reading and writing.”

“Being a writer is easy. But being a transformative and inspiring writer requires a broad knowledge base,” said Zuhairi Misrawi, a seasoned columnist and well-known young Muslim thinker in Indonesia, speak on Monday (31/5/2021). He was present at the Department of Communications UII, sharing his experience of 30 years of writing columns, in the online Essay Writing Expert Course.

Even so, he said, writing only requires two capitals: willpower and courage. Willingness and understanding personal biological clock when comfortable writing. If we have found the rhythm of writing, immediately proceed and finish the writing. The second capital is courage. Courage to present a point of view. Meanwhile, a good point of view is influenced by reading. “A writer will be seen whether he is a voracious reader or not,” he said. “Writing must be communicative, communicating with readers as if they were involved and in dialogue with readers.”

According to the man who graduated from Al Azhar University, Egypt, the writer must have an academic mindset: an academic way of thinking. The academic way of thinking must be able to think methodologically. This means that it must be based on theory (theory-driven). “What we think is based on a strong theory and methodology. Rational thinking cannot think arbitrarily, it can be scientifically justified, it makes sense,” he explained later.

Besides being scientific, students who want to become writers should not forget to think argumentatively. “It means to think that there is an argument. What are the historical, anthropological, political arguments like,” he added. Not only that, students should also write with reflective critical thinking. Use language that is good, correct, flowing and rich in typical university student ideas.

Zuhairi emphasized, “High Education students have to write not descriptively, they have to ask questions. Creative thinking can do whatever we want. Out of the box.”

The discussion, which was guided by Risky Wahyudi and Sumekar Tanjung, Lecturers in the Academic Writing Course, became a valuable enrichment for Department of Communication students from essay writing experts and national-calibre columns.

Hegel’s Typology of WritingHegel’s

Based on Hegel’s perspective, said Zuhairi, the easiest writing is writing with the thesa typology. This typology only describes an existing idea. “I challenge students to write with an antithesis typology, which is writing that criticizes an established idea. The student’s writing should also be transformative and inspiring, namely a synthesis typology: Providing solutions and generating new ideas,” said Zuhairi quoting Hegel’s dialectic.

Writing is an act of civilization because it inherits thoughts to future generations. If we write, we enter the civilization of the world. “For example, my books have been placed on a special shelf in the world library, at Harvard, in Cambridge. From there, our writings will become part of world civilization, become people’s references,” he said.

“Because we inherit civilization, writing is a noble job. In fact, writing is that we are giving alms to knowledge,” said Zuhairi. A writer must have a character that reflects his identity, vision, ideology so that readers are interested in our writing. “Even for some writers, their books are always discussed. That’s a good thing. Then if you ask, there is a book with many viewers, many buyers, but has the idea of ​​the book become a conversation in public dialogue?” replied Zuhairi in response to a question from one of the participants, Khalif Muhammad Madani.

 

Reading Time: 2 minutes

Further study is the struggle to build an intellectual journey. Naturally, ups and downs become daily in every process. Not infrequently, constant motivation is the key. Intellectual processes need to be passed from building to testing ideas.

Masduki, a Department of Communications lecturer, and Raden Retno Kumolohadi, UII Psychology Lecturer, are both new FPSB doctors and attended the Farewell event for Lecturers and Education Personnel of the Faculty of Psychology and Socio-Cultural Sciences, Universitas Islam Indonesia. At this event, the Dean of FPSB UII also gave a memento to Mr. Djiwanggo and Mrs. Indri, two FPSB education staff who have completed their tenure at UII so far.

At the event held on May 5, 2021, Masduki shared his experience while taking his doctorate in Munich, Germany. At first, he felt confident that he could complete his doctorate in up to three years. “I was confident when I submitted a research proposal to my supervisor. I thought this was cool,” said Masduki. Later, the five sheets of his research proposal that were considered good were asked to be revised by the supervisor. According to the supervisor, this proposal is more of an NGO program proposal. “So it’s not a proposal full of theoretical studies, I mean.”

“From there I believe, my struggle will be more than three years,” said Masduki while laughing, reminiscing about the early days. As a result, after that, Masduki had to read more and study various books. “I spent time from the library opening to closing. That was the first six months of his struggle,” he said.

Quick Recipe for Completing Doctoral Studies 

Retno Kumolohadi, another new doctor, said the recipe for completing doctoral studies was based on experience. “I think the most important thing is intention: to do something good. If that is the intention, we will get help from Allah SWT,” She said. She also greatly appreciated all employees, staff, and friends who have contributed to supporting the lecturers who are continuing their studies.

Another tip from Masduki, quoting Hegel, is that S3 is like tesis, antithesis, synthesis of Hegel’s words. “The doctoral degree person builds the thesis first. A kind of proposition. Then develops the antithesis,” He explained. “It’s like a building being beaten until it becomes strong. The process was during the antithesis building period. Now, the final process is the synthesis and I’m sure this has been completed,” He said.

On the other hand, Masduki believes that undergoing further studies is building an intellectual journey. “I also underline, I like to quote the Quran Surah Ali Imron verse 91. Inna fi kholqi fissamawati … li ulil albab. So if we take bachelor, magister, and doctoral then the end is ulil albab,” He said. “Well, we read the process. This is extraordinary,” He continued.

Ulil albab is the intellectual peak stage after Ulin Nuha. According to Masduki, ulinnuha is the level of scientists collecting knowledge, discovering and conveying it in class. “But if ulil albab is a scholar. So he is not only an intellectual explorer but also a learner, whose campus walls are not enough as a locus of devotion, but also has a dedication to the wider world,” He explained. “The ones in Gramsci are organic intellectuals. Not traditional intellectuals,” Masduki explained.

Traditional intellectuals are people who are only on campus conducting examinations, said Masduki. Intellectuals of this model think about how it impacts outside the campus.

“Hopefully we can go there. Hopefully later our friends can do the same and so that our faculty can have an international reputation,” concluded Masduki.

 

Reading Time: 2 minutes

Studi lanjut adalah perjuangan membangun perjalanan intelektual. Wajar jika jatuh bangun menjadi makanan dalam setiap prosesnya. Tak jarang, motivasi yang ajeg menjadi kunci. Proses intelektual perlu dilewati mulai dari membangun, hingga menguji gagasan.

Masduki, dosen komunikasi UII, dan Raden Retno Kumolo, Dosen Psikologi UII, misalnya, keduanya adalah doktor baru FPSB dan hadir dalam acara Pisah Sambut Dosen dan Tenaga Kependidikan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia. Pada acara ini Dekan FPSB UII juga memberi kenang-kenangan pada Bapak Djiwanggo dan Ibu Indri, dua tenaga pendidikan FPSB yang telah merampungkan masa pengabdiannya di UII selama ini.

Pada acara yang dilaksanakan 5 Mei 2021 ini, Masduki berbagi pengalamannya selama mengambil doktor di Munich, Jerman. Mulanya, ia merasa yakin dapat menyelesaikan doktoralnya hingga tiga tahun. “Saya sudah percaya diri waktu mengajukan proposal riset pada supervisor saya. Saya merasa ini sudah keren,” kata Masduki. Belakangan, 5 lembar usulan risetnya yang sudah dirasa bagus, diminta revisi oleh supervisor. Menurut supervisor, usulan ini lebih kepada usulan program sebuah NGO. “Jadi bukan usulan yang penuh dengan kajian-kajian teoritik, maksudnya.”

“Dari situlah saya meyakini, perjuangan saya akan lebih dari 3 tahun,” kata Masduki sambil terbahak mengenang masa-masa awal. Akibatnya, setelah itu, Masduki harus lebih banyak membaca dan menelaah beragam buku. “Saya sampai menghabiskan waktu dari perpustakaan buka hingga tutup. Itu enam bulan pertama perjuangannya,” ungkapnya.

Resep Cepat Menyelesaikan Studi Doktoral

Retno Kumolo Hadi, doktor baru lainnya, mengucapkan resep menyelesaikan studi doktoral berdasarkan pengalaman. “Menurut saya yang paling penting adalah niat: mengerjakan sesuatu yang baik. Kalau niat begitu kita akan mendapatkan pertolongan dari Allah SWT,” ungkapnya. Ia juga memberikan penghargaan yang tinggi pada seluruh karyawan, tendik, teman-teman yang telah berkontribusi mendukung para dosen yang tengah melanjutkan studi.

Tips lain dari Masduki, mengutip Hegel, bahwa S3 itu layaknya tesa, antitesa, sintesa kata hegel. “Tahapan orang S3 itu membangun tesanya dulu. Semacam proposisi. Lalu mengembangkan antitesa,” jelasnya. “Layaknya bangunan itu dipukuli sampe jadi kuat. Proses itu di masa membangun antitesa. Nah proses akhir ini sintesisnya dan yakin ini sudah selesai,” ungkapnya.

Di sisi lain, Masduki meyakini menjalani studi lanjut adalah membangun intellectual journey. “Saya juga memberi garis bawah, saya senang mengutip Quran Surat Ali Imron ayat 91. Inna fi kholqi fissamawati…li ulil albab. Jadi kalau kita ikut S1, S2, dan S3 ya ujungnya ulil albab,” katanya. “Nah prosesnya itu kita membaca. Ini luar biasa ini,” sambungnya.

Ulil albab adalah tahapan puncak intelektual setelah Ulin Nuha. Menurut Masduki, jika ulinnuha adalah taraf ilmuwan mengumpulkan pengetahuan, penemu dan menyampaikan di kelas. “Namun kalau ulil albab itu cendekiawan. Jadi dia tidak cuma penjelajah intelektual (intellectual explorer) tapi juga pembelajar, yang dinding kampus ini tidak cukup sebagai lokus pengabdian, tetapi juga punya pengabdian pada dunia yang lebih luas,” paparnya. “Yang dalam bahasa Gramsci itu intelektual organik. Bukan intelektual tradisional,” jelas Masduki.

Intelektual tradisional adalah orang yang hanya di kampus melakukan eksaminasi, kata Masduki. Intelektual model ini memikirkan bagaimana dampak ia di luar kampus.

“Semoga kita bisa menuju ke sana. Semoga nanti kawan-kawan juga bisa begitu dan sehingga fakuktas kita bisa bereputasi internasional,” tutup Masduki.