Tag Archive for: film

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 3 minutes

Film tak sekedar soal hiburan, film adalah ide dan nilai yang disajikan secara audio visual demi membuat penontonnya sama-sama sepakat soal isu yang diangkat. Jika memang demikian, apakah benar film mampu membuat orang semakin peka?

Pada seri ke-5 Kaliurang Festival Hub berkesempatan lakukan kolaborasi dengan Festival Bahari yang berumah di Cirebon. Gelaran sejak 27 Juni hingga 28 Juni 2024 itu mengabil tajuk “Kabar Tepi Laut”. Diawali dengan pemutaran 3 film berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip semua film mengambil latar perairan.

Perahu Sandeq merupakan film genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.

Kedua, Mimpi Andini film dokudrama yang menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor Kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.

Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.

Film dalam Konteks yang Adil

Movie Talk “Kabar Tepi Laut” dalam seri ke-5 Kaliurang Festival Hub menghadirkan kawan-kawan dari Film Festival Bahari. Mereka adalah Kemala Astika selaku Program Director serta Doni Kus Indarto, Advisory Board. Dipandu oleh Rizka Aulia, kru Film Bertema Perempuan Nelayan sekaligus Laboran Ilmu Komunikasi UII.

Doni Kus Indarto membuka diskusi dengan sebuah konteks keadilan dalam sebuah karya film. Ada keresahan terkait isu tersebut, ia menyebut selama ini film menjadi barang mewah bagi masyarakat ekonomi ke bawah.

Festival Film Bahari ingin mengembalikan film kepada pemiliknya, yakni masyarakat yang menjadi sumber inspirasi dan konten.

“FFB pertama kali hadir karena kegelisahan hampir semua festival film hadir untuk filmmaker bukan ditayangkan untuk penonton. Hampir semua diputar di gedung mewah, yang miskin tidak boleh nonton film.  Di Gedung tiketnya (film) mahal. Beda dulu ada grade semua kalangan bisa masuk,” tuturnya membuka diskusi.

Tak hanya itu, festival lazimnya hanya menyasar komunitas-komunitas tertentu. Doni berpaham bahwa film yang digarap di tengah-tengah masyarakat sudah selayaknya mampu dinikmati bersama. Interaksi antara masyarakat, mengangkat sebuah isu, hinggatimbul diskusi usai menonton tak jarang menemukan sebuah jalan keluar.

“Begitu juga festival filmnya, yang penyelenggaraanya ada di tengah masyarakat lakukan. Audiens di sekitar, layar tancap, ada mbok-mbok jualan di tepi. Sehingga interaksi dilakukan langsung lanjut diskusi soal masalah yang terjadi,” tambahnya.

Kerap kali screening dilakukan di sekolah-sekolah hingga pesantren untuk sebagian film yang memang diproduksi memiliki orientasi pesan kepada pelajar. Jangka panjangnya tak hanya ajang interaksi namun ada pesan yang memiliki manfaat.

“Tema Bahari satu secara geografis Cirebon di pantai. Kesadaran laut pemersatu belum tebal, film bukan tujuan, film adalah media sarana bisa bersilaturahmi dengan masyarakat. Syukur-syukur bisa memunculkan kebermanfaatan,” tandasnya.

Peka dengan Isu Lingkungan

Secara geografis Cirebon berada pada posisi Lintang Selatan dan Bujur Timur Pantai Utara Pulau Jawa Bagian Barat. Kondisi ini membuat sebagian besar masyarakatnya hidup di pesisir pantai dan berprofesi sebagai nelayan, petani tambak, dan sektor serupa lainnya.

Kerja-kerja yang bergantung dengan alam tentu penuh ketidakpastian, menurut Kemala Astika dari cuaca dan kondisi menentu yang berujung pada kondisi ekonomi hingga lubang-lubang utang masyarakat dengan para lintah darat.

“Di sana banyak pantai bukan untuk wisata, karena dangkal dibuat untuk tambak, ada temuan kisah-kisah sudah tidak melaut. Mereka ada yang pindah menjadi petani tambak, menangkap dengan manual, berkostum lengkap menyelam nyari ikan, kepiting, yuyu. Based real story. Nasib nelayan kita banyak banget PRnya. Mereka menghadapi kehidupan dengan tangguh, faktor ekonomi, terlilit lintah darat,” jelas Kemala.

Kemala yang juga sebagai pengajar di salah satu sekolah di Cirebon berharap dengan film-film yang dikurasi oleh Festival Film Bahari mampu membuat orang peka dengan kondisi yang terjadi pada sekitar, termasuk soal isu lingkungan yang pasti berdampak dengan kondisi sosial dan ekonomi.

“Dari film mengenal lebih dekat semua tentang kelautan dan kebaharian. Pertama sebagai ruang belajar, untuk mengenal kelautan. Indonesia punya garis pantai terpanjang kedua di dunia. Tapi narasi-narasi yang sering diberitakan betapa miskinnya para komunitas di sekitar, tapi banyak PR. Sebanranya banyak banget potensi-potensi yang ada pada teman-teman pesisir, budaya, seni, tapi bisa menghidupi sehari-hari,” tambahnya.

Salah satu upaya yang dilakukan Kemala dan kawan-kawan adalah menggandeng para pelajar untuk belajar bersama memproduksi film. Mulai dari riset isu, hingga live in bersama masyarakat nelayan.

“Kepekaan untuk pelajar proses riset paling penting, pentingnya menyelami subjek, bekerja dengan tim, menemukan keunikan isu. Bermanfaat, berdampak setidaknya warga sekitar, ada konsekuensi panjang. Pendektan dengan warga, kenal, stay dulu,” ujaranya lagi.

Ia tak memiliki ekspektasi tinggi soal hasil garapan itu, baginya proses yang dilakukan para pelajar untuk peka terhadap kondisi sosial adalah pencapaian terbaik. Sementara, film yang telah selesai digarap bisa dinikmati bersama para nelayan mampu menjadi pereda lelah seharian melaut.

“Perayaan, habis melaut, bisa menikmati (film). Pak tani punya siklus sendiri, begitupun juga nelayan (bekerja mengikuti kondisi cuaca). Buat warga bisa untuk refleksi, cerminan, Ada temuan baru, bisa berdialog antara warga dengan Kepala Desa,” pungkasnya.

Film
Reading Time: 3 minutes

Kisah nyata yang diangkat menjadi sebuah film terbukti memiliki daya tarik tinggi bagi penonton. Catatan soal raihan jumlah penonton adalah bukti nyata, sebut saja Hafalan Shalat Delisa yang rilis 2011 mengisahkan perjuangan anak perempuan pasca bencana tsunami Aceh 2004 sukses menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak ketiga pada awal tahun 2012. Tak berhenti disitu, KKN di Desa Penari adalah pemenangnya, film bergenre horor ini sukses menjadi film terlaris sepanjang masa dengan raihan lebih dari 10 juta penonton.

Keduanya merupakan film-film yang diadopsi dari kisah yang telah terjadi dan disajikan dengan narasi-narasi serta visual yang begitu menggugah. Salah satu alasan mendasar mengapa film yang diangkat dari kisah nyata selalu laris karena adalah sisi yang cukup menawan (captivating).

Sisi captivating yang senggaja diciptakan, menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Dr. Zaki Habibi yang fokus dengan media and film studies menyebut film diproduksi untuk mengajak penonton menyaksikan isu tertentu.

“Bagaimana film yang diproduksi dengan basis kisah nyata atau based on true story punya sisi captivating, bikin penonton ingin terlibat, dan ingin tau lanjutannya. Terlepas sejauh mana pendekatan kreatif sineas. Mau kisah nyata atau rekaan, buatku film is an art to persuade creativity. Ekspresi seni yang pada dasarnya untuk mempersuasi penonton untuk membicarakan isu tertentu,” ujar Dr. Zaki Habibi.

Meski demikian, kerja kreatif dalam menampilkan kisah nyata ini selalu memantik pergolakan berbagai respon penonton. Banyak yang mendukung, menghujat, hingga ramai-ramai mengajak memberhentikan penayangan.

Memvisualkan Kisah Nyata

Mengeksplorasi kisah nyata menjadi film membutuhkan ketrampilan dan riset yang mumpuni. Seperti kisah kehidupan Delisa, layaknya film biopik lainnya kedalaman hidup subjek yang difilmkan mencoba memeberikan pemahaman kepada penonton melalui karakter hingga tingkat intelektualitasnya. Bagaimana kegigihan Delisa hingga tsunami Aceh menghantamnya membuat penonton hanyut dengan air mata.

George Frederick Custen dalam Bio/Pics: How Hollywood Constructed Public History yang direview oleh Charlotte Greenspan pada Jurnal of Film and Video menyebutkan jika film dari kisah nyata dalam kategori biopik memiliki sisi dramatisasi sehingga bisa jadi tak akurat. Hal ini dilakukan untuk menyampaikan makna lebih luas daripada hanya menjadi teks objektif karena setiap kisah nyata yang difilmkan selalu punya maksud atau tujuan.

Zaki menjelaskan, ada berbagai tujuan pembuatan film dari kisah nyata dan tentu setiap tujuan memiliki teknik masing-masing. Beberapa tujuan tersebut adalah inspirasi dan adaptasi.

“Kisah nyata sebagai apa, misal inspirasi, inti kisah nama tokoh dikreasi bukan menunjukkan subjek kisah. Menjadi adaptasi atau ekranisasi, dari sesuatu menjadi film. Kadang struktur pembabakan alur mengikuti kisah nyata demi sebuah tujuan. Durasi episode hidup tidak harus sama,” jelasnya.

Sementara soal etika Zaki menyebut jika metode dalam film dokumenter yakni reenactment (menghidupkan kembali) atau disebut kegiatan reka ulang peristiwa bersejarah dengan aksesoris berdasarkan riset sah-sah saja dilakukan secara etika dan estetika.

“Penggunaan arsip dan narasi perlu diolah. Banyak film kadang kurang riset pra produksi, tidak hanya mau ngangkat kisah apa, tapi juga keputusan narasi mau dibawa kemana,” ujarnya.

“Dramatisasi (sah dilakukan), izin (kebutuhan menggali cerita dan etika), nama tidak sama (dengan tokoh dengan dalih perlindungan privasi),” tambahnya.

Sikap Netizen dalam Merespon

Ramai-ramai menghakimi suatu karya film yang dianggap tak etis dalam segi estetika hingga privasi tokoh utama. Dalam konteks ini Zaki menjelaskan jika penonton juga harus bersikap adil. Artinya, bukan seru menyeru boikot di media sosial namun memberi pencerahan yang lebih berimbang.

“Penonton sama-sama lebih literate sekaligus adil, bersikap jelas. Anti boikot film, sejelek apapun seruwet film. Respon adilnya penonton berhak membuat resensi film, kritik film (opini pembuat dari penulis) untuk penonton dan pembuat film, kajian film bisa berbentuk video konten,” jelasnya.

Lebih lanjut, konteks ini menjadi pembeda penonton sebagai sosok yang literate bukan sosok yang otoriter. Seiring berkembangnya estetika film, pengetahuan penonton juga diharapkan mampu bertumbuh.

Kadangkala, banyak film mengalami penolakan karena standar nilai dan norma yang diangkat tidak sesuai pada kondisi masyarakat.

“Tanggung jawab produser dan sineas tidak bertanggung memuaskan persepsi penonton, tapi tanggung jawab estetika, tanggung jawab etik. Terikat kondisi dimana film itu diputar,” tambahnya.

Sementara mengutip dari laman Esei Nosa tulisan Nosa Normanda yang aktif menulis resensi dan kritik film, ia menyebut tidak semua film yang diangkat dari kisah nyata dapat dikategorikan sebagai film biopik. Sebut saja film bergenre horor dengan adegan sadis yang dialami korban pemerkosaan hingga pembunuhan tidak bisa serta merta dipromosikan sebagai horor mistik biopik.

“Tapi karena mistik adalah subjektif, nama korban bukan nama asli dan tidak melibatkan realitas sosial seperti perkosaan”.

Trakhir, soal riuhnya publik yang marah dan tak logis justru bisa menjadi agen iklan gratis bagi pihak pembuat film.

Jika kamu sudah cukup umur dan dewasa, kamu harus berpikir logis sebelum mengadili sebuah produk budaya yang terbit dengan keterlibatan banyak unsur: dari PH, lembaga sensor, dan bioskop. Kalau belum menonton filmnya, baiknya kamu menggunakan data sahih yang tersilang referensi untuk menentukan kebijakan atau opinimu. Jika tidak, jangan mengadili sebuah film atau produk budaya yang kamu tidak tonton. Baiknya bicarakan hal-hal fenomena yang kamu saksikan dan terverifikasi”.

Jadi bagaimana menurutmu Comms? Sebagai mahasiswa yang belajar tentang kajian film tertarik untuk menulis kritik film dengan perpektif akademis dan relevan?

Google doodle
Reading Time: 2 minutes

Ilustrasi yang ditampilkan dalam Google Doodle hari ini adalah sosok yang tak asing dalam dunia perfilman Indonesia. Aminah Cendrakasih yang ikonik dengan sebutan Mak Nyak pada serial Si Doel.

29 Januari 2024 menjadi momentum peringatan hari lahir Aminah Cendrakasih sebagai tokoh perfilman lintas zaman. Dalam ilustrasi Google Doodle digambarkan seorang Aminah versi Mak Nyak dengan kerudung khasnya yang dibingkai televisi jadul.

Tercatat Aminah lahir di Magelang, 29 Januari 1938 dan wafat pada 21 Desember 2022. Namanya telah melejit dengan membintangi sekitar 120 film selama hampir 50 tahun terakhir.

Dedikasinya di dunia perfilman Indonesia patut menjadi inspirasi, bahkan pada momen sakitnya ia masih bersedia membantu Rano Karno dalam projek film Si Doel The Movie pada tahun 2019.

Dalam ingatan penonton, Aminah merupakan tokoh cerdas yang sangat menghibur. Atas keberhasilannya ia meraih dua Lifetime Achievement Awards dari Festival Film Bandung dan Penghargaan Film Indonesia.

Bicara soal film, ada banyak aspek yang bisa dipelajari dari bidang ini mulai dari akting, teknik pembuatan film mulai dari penulisan naskah hingga eksekusi. Salah satu ruang yang bisa dimanfaatkan bagi kamu yang tertarik dengan dunia film adalah memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi.

Ilmu Komunikasi memiliki kajian media yang memfasilitasi bakat mahasiswa yang tertarik di dunia perfilman. Salah satunya Jurusan Ilmu Komunikasi UII yang telah terakreditasi Unggul memiliki mata kuliah khusus seperti kajian Film dan Media layar, Foto dan Film Dokumenter, Animasi Digital dan berbagai mata kuliah lain yang kinier dengan dunia film. Selengkapnya dapat diakses pada laman berikut https://communication.uii.ac.id/program-studi/#tab-id-12.

Selain mata kuliah yang mendukung, fasilitas dan fasilitator juga cukup menunjang. Seperti laboratorium khusus yakni laboratorium audio visual, laboratorium audio, dan laboratorium fotografi dan multimedia.

Belajar Film dengan memilih Jurusan Ilmu Komunikasi

Menariknya tak hanya teori yang akan didapatkan, mahasiswa akan melakukan praktik langsung dengan para fasilitator yang telah ahli di bidangnya. Salah satu Laboran Prodi Ilmu Komunikasi UII aktif memproduksi berbagai karya film dokumenter dan kerap melibatkan para mahasiswa. Bahkan salah satu karyanya yang berjudul The Independence Day: Between Tears and Laughters raih nominasi pada Festival Film Indonesia 2023 enam deretan nominasi film dokumenter pendek terbaik.

Keseriusan dalam bidang film juga dibuktikan oleh deretan dosen dan staf Prodi ilmu Komunikasi UII melalui berbagai program, salah satunya adalah Kaliurang Festival Hub yang mulai berjalan pada tahun 2023. Event ini merupakan ruang interaksi publik dari berbagai penjuru, tidak hanya mereka yang berkecimpung dalam dunia perfilman dan penikmat film, melainkan juga publik secara umum yang berada di Yogyakarta.

Bahkan, setelah menyelesaikan teori dan praktik pada masa perkuliahan mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih menyelesaikan tugas akhir dengan berbagai projek salah satunya dengan memproduksi film. Salah satu alumni Prodi Ilmu Komunikasi UII yang sukses menjadi film maker dan menembus festival internasional. Ia adalah Muhammad Heri Fadli lewat passionnya, berkesempatan menyinggahi beberapa negara. Kisahnya bahkan viral pasca Mas Menteri umumkan skripsi bukan satu-satunya syarat lulus, karena ternyata Prodi Ilmu Komunikasi UII telah lebih dahulu menerapkan kebijakan tersebut sejak tahun 2015. Kisah selengkapnya dapat diakses pada laman ini https://communication.uii.ac.id/lulus-lewat-jalur-proyek-film-dokumenter-alumni-ilmu-komunikasi-uii-sukses-bawa-karyanya-ke-kancah-internasional/

Tertarik terjun di dunia perfilman? Informasi detail terkait jurusan Ilmu Komunikasi UII dapat diakses melalui laman communication.uii.ac.id.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 5 minutes

Film seolah menyuarakan berbagai fenomena yang terjadi pada manusia dan alamnya. Bahkan rumitnya konflik sosial mampu diuraikan dengan atau tanpa dialog yang ada dalam karya visual. Praktik ini dilakukan oleh deretan sineas yang tergabung dalam Aceh Documentary dan Aceh Film Festival.

Kehancuran Aceh atas bencana tsunami justru melahirkan berbagai skill baru, sekedar merekam dan menjahitnya menjadi sebuah tontonan yang bercerita sangat dalam. Gelaran Kaliurang Festival Hub edisi ketiga digelar pada 23 November 2023 berkesempatan untuk melakukan kolaborasi dengan Aceh Film Festival.

Edisi ketiga kali ini dibuka dengan pemutaran tiga film yang telah dikurasi oleh Aceh Film Festival, ketiganya adalah Puing Paling Sunyi, Gelombang Sinema di Ujung Sumatera, dan Surat Kaleng 1949.

Setelah pemutaran film, dilanjutkan dengan movie talk bertajuk “Sinema Pasca-Bencana” oleh Akbar Rafsanjani, Film Programmer & Film Curator Aceh Film Festival yang dipandu oleh Muzayin Nazaruddin Peneliti Komunikasi Lingkungan dan Kebencanaan dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoral di Tartu University, Estonia.

Bermula dari tsunami Aceh 2004 yang menelan korban 227.898 jiwa, LSM dan NGO di berbagai belahan dunia berbondong-bondong datang mengulurkan tangan. Tak hanya memberikan bantuan dan pertolongan, pemberi donor juga meminta bukti pelaporan. Sehingga para LSM dan NGO melaporkannya dalam dokumentasi tulis, foto, hingga video.

Menurut penuturan Akbar, sebagian masyarakat terlatih memegang dan mengoperasikan kamera berkat LSM dan NGO yang datang pasca tsunami.

“Film baru benar-benar hadir pasca tsunami, asumsi pertama kami muncul LSM dan NGO dari luar datang ke Aceh dengan berbagai tujuan untuk pelaporan kepada donor. Mereka memanfaatkan jurnalis lokal (jurnalis cetak). Temen-temen yang dilatih, kalau dulu jadi kontributor sekarang mereka punya skill baru (memproduksi video),” jelas Akbar membuka sesi Movie Talk.

Geliat Perfilman di Aceh Pasca Bencana di Tengah Keterbatasan Ruang

Pembuka yang disampaikan oleh Akbar menjadi momentum geliat film di Aceh mulai tumbuh. Pasca bencana yang seolah menjadi kiamat bagi masyarakat ternyata membawa Aceh bangkit dengan wajah baru.

Menilik ke belakang, riset-riset yang dilakukan oleh Akbar dan rekan-rekannya tak menemukan jika Aceh memiliki sejarah tentang perfilman, seni pada masa konflik berhenti pada pertunjukan panggung sandiwara. Artinya, sejarah bermulanya film di Aceh sangat muda.

“Kalo ditelusuri lebih lama kita mentok di seni panggung sandiwara pada masa konflik,” ujar Akbar.

Kaliurang Festival Hub

Akbar Rafsanjani bersama Muzayin Nazaruddin saat diskusi terkait geliat film di Aceh yang menjadi media untuk menyuarakan konflik sosial

Berangkat dari skill yang muncul pasca tsunami, geliat memproduksi film muncul. Hingga lahir beberapa komunitas salah satunya Aceh Documentary yang menjadi rumah bagi para sisneas muda di Aceh. Berbagai kelas, produksi film, hingga kompetisi dilakukan untuk melanjutkan mimpi.

Tak mudah membangun perfilman di Aceh, salah satu kendala nyata terkait dengan ruang. Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tak memiliki bioskop. Absennya ruang bisokop di Aceh lantaran dorongan berbagai kelompok yang berpendapat jika kehadiran bioskop bertentangan dengan syariat Islam.

“Aceh merupakan daerah khusus yang menjalankan syariat Islam secara kaffah (secara menyeluruh),” ujar Rijaluddin, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dilansir dari Kompas.com.

Namun, kendala ini menjadi hal tak berarti bagi para pegiat film di Aceh. Mereka tetap melakukan screening film secara sederhana, mulai dari konsep berkeliling memutarnya di daerah-daerah, hingga pemutaran besar di sebuah ruang serba guna dengan memisah antara perempuan dan laki-laki yang tentu dengan pengawasan Polisi Wilayatul Hisbah.

Seperti yang disampaikan Akbar, tak pernah terjadi hal-hal pelanggaran selama pemutaran film dilakukan. Justru yang dilakukan oleh Polisi Wilayatul Hisbah adalah mengimbau penonton agar tak merekam film selama pemutaran.

“Jadi malah tak ada pelanggaran syariat Islam, mereka [Polisi Wilayatul Hisbah] justru akhirnya mengimbau penonton untuk tidak merekam, mendokumentasikan film selama pemutaran saja,” ujar Akbar.

Satu dekade sejak 2013, Aceh Documentary menjadi wajah baru yang mendorong perfilman terus bertumbuh. Hingga tahun 2015 dibentuklah Aceh Film Festival sebagai ajang penghargaan bagi sineas yang terus berjuang.

Untuk mempertahankan geliat perfilman di Aceh, ada strategi yang terus dilakukan yakni dengan menyesuaikan dengan kebiasaan dan jadwal menonton masyarakat Aceh.

“Masyarakat Aceh duduk di warung kopi, ada TV menonton sepak bola, film yang tayang tengah malam. Kami mengikuti jadwal menonton masyarakat untuk mempertontonkan film yang diproduksi (Aceh Film Festival, Aceh Documentary),” tambah Akbar.

Hingga kini perfilman di Aceh mulai diminati oleh generasi muda, mereka yang kuliah di Jawa akan kembali dengan bekal pengalaman dan melirik isu-isu sosial yang terjadi di tanah kelahirannya.

Film Media Mengurai Konflik Sosial di Aceh

Ada pertanyaan menarik dalam sesi Movie Talk “Sinema Pasca Bencana”, Muzayin Nazaruddin selaku moderator melontarkan kalimat cukup menarik “Kira-kira film di Aceh menjadi medium perubahan sosial atau hiburan?”

Seolah penuh konflik sosial, film ternyata mampu menjadi medium untuk mengurainya. Jauh sebelum bencana tsunami Aceh 2004, sekitar tiga puluh tahun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus bergulir.

Selama periode 1976 hingga 2005 kisah pelik itu menjatuhkan 15.000 korban jiwa dan ribuan pelanggaran HAM terjadi. Dalam penelitian yang berjudul Konflik Vertikal Antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta Tahun 1976-2005 yang dilakukan Kurnia Jayanti dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut jumlah kasus pelanggaran HAM selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sebagai berikut kasus tewas/terbunuh 1.321 kasus, 1.958 kasus hilang, 3.430 kasus penyiksaan, 128 kasus pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran.

Secara singkat konflik di Aceh terjadi lantaran kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara Pemerintah pusat dan daerah, ketidakadilan selama puluhan tahun dirasa tidak terlalu diperhatikan. Kesejahteraan, pembagian sumber daya alam yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Aceh, hingga aspirasi terkait keistimewaan identitas dan etno religious syariat Islam yang tak diakomodasi menjadi faktor kekecewaan melalui gerakan separatis GAM.

Sementara kebijakan di masa orde baru yang sangat militeristik penuh kekerasan semakin membuat masyarakat Aceh terus mengalami penderitaan.

Meski pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, rekonsiliasi dan dialog dilakukan nyatanya hingga tahun 2001 tak ada hasil yang berarti. Hingga tsunami datang di tahun 2004, NGO dan LSM internasional nyatanya malah membawa kompleksitas sendiri dalam proses Pembangunan perdamaian.

Konflik-konflik sosial ini mulai diurai dan disuarakan melalui film. Film yang diproduksi oleh pegiat di Aceh menjadi penanda the voice of voiceless. Film Puing Paling Sunyi menjadi gambaran penderitaan masyarakat Aceh akibat konflik. Meski menyingkap dan menyuarakan konflik, film ini tampak lembut tanpa memasukkan kata konflik, GAM, Pembunuhan, dan pelanggaran HAM lainnya.

“Film yang diproduksi adalah the voice of voiceless. Warga aceh biasa kehilangan suami, anak kehilangan bapak. Ada upaya melupakan itu secara sistematik, kesedihan yang panjang Puing Paling Sunyi adalah tubuh itu sendiri,” ujar Muzayin Nazaruddin.

“Tidak ada kosa kata GAM, Konflik, dan lainnya,” tambahnya.

Hadirnya Akbar dalam sesi Movie Talk menjadi validasi terkait konflik yang pernah terjadi namun tak ada upaya rekonsiliasi.

“Ada dua film (Puing Paling Sunyi, Surat Kaleng 1949) yang apabila tidak hadir disini konteksnya akan hilang,” jelas Akbar.

Puing Paling Sunyi disutradai oleh mahasiswa yang lahir tahun 2004, artinya ia adalah sosok yang tak mengalami langsung konflik di Aceh namun merasakan dampaknya.

“Sutradara orang Aceh, lahir 2004 dia bukan generasi konflik Aceh. Dia punya memori tentang ayahnya sperti ibu dalam film tersebut yang mengalami kekerasan, [pajak Nangroe] ketika tidak ada uang diancam tembak mati, sering takut, marah, menggigil,” tambahnya.

Perbedaan memori dan pengalaman antara sutradara dengan produser yakni Akbar Rafsanjani, sengaja tak diintervensi demi menghasilkan karya yang murni. Menurut Akbar, ada persepsi dan perbedaan dalam meromantisasi konflik di Aceh. Inilah yang menjadi perbedaan di setiap generasi.

Puing Paling Sunyi, sepakat untuk tidak mengintervensi. Penting diproduksi karena ada gap antar generasi, meromantisasi konflik, romantisasi kekerasan,” sebut Akbar.

Menututp, diskusi film-film yang diproduksi pasca bencana adalah upaya menyingkap pesan secara alegoris dengan mencari makna di balik visual dalam film.

“Sekejam apa sih sampai membuat ayahnya traumatik, riset tentang psikologi, memori yang tersimpan dalam tubuh, film ini sangat alegoris,” tutup Muzayin Nazaruddin.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Komunitas
Reading Time: 3 minutes

Resmi menjadi mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi UII tentu wajib tahu apa saja komunitas-komunitas yang ada di dalamnya. Bagi mahasiswa baru (maba) informasi terkait komunitas sangat penting demi menyalurkan bakat dan minat.

Di Prodi Ilmu Komunikasi terdapat lima komunitas yang berada di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi UII (Himakom). Lima komunitas tersebut fokus terhadap dunia Ilmu Komunikasi yang akan bermanfaat untuk kariermu dalam jangka panjang mulai dari dunia fotografi, film, riset, jurnalistik, dan broadcasting.

Perlu maba ketahui, manfaat bergabung komunitas antara lain memperluas koneksi, melatih keterampilan komunikasi, berbagi ilmu dan pengalaman, berkolaborasi, dan perspektif baru.

Lantas perlukah bergabung dalam suatu komunitas? Yang pasti dengan bergabung di komunitas, Anda akan menemui banyak orang dengan background yang berbeda bahkan dengan pengalaman-pengalaman yang mumpuni di bidangnya.

Berikut beberapa komunitas-komunitas yang ada di Prodi Ilmu Komunikasi UII yang dapat diikuti oleh maba.

  1. Klik 18

Klik 18 atau Komunitas Lensa Ilmu Komunikasi UII yang aktif pada bidang fotografi. Banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini mulai dari workshop, hunting foto, hingga lomba-lomba nasional.

Salah satu agenda yang rutin digelar adalah gelar karya. Beberapa bulan lalu, Klik 18 menggelar pameran bertajuk  “Hidden Gems Photography Exhibition: Potret Pesona Hidden Gems Indonesia dalam Fotografi Landscape di Yogyakarta tahun 2022”.

Bagaimana tertarik menyalurkan bakat fotografimu? Klik 18 adalah komunitas yang tepat untukmu.

Instagram                    : klik18uii

Contact person            : 082281189164

  1. Kompor.kom

Kompor.kom adalah akronim dari Komunitas Pilem Orang Komunikasi, bagi Anda yang tertarik dengan dunia perfilman wajib untuk bergabung dengan komunitas ini.

Bergabung dengan komunitas ini akan mempertemukan Anda dengan sineas-sineas Tanah Air. Pengalaman menggarap proyek film dari menulis skrip, mengatur peran talent, hingga teknik videografi akan didapatkan di sini.

Beberapa kegiatan yang dilakukan komunitas adalah screening sekaligus diskusi film dari berbagai perspektif yang menarik. Apakah tertarik menjadi bagian dari komunitas ini?

Instagram                    : kompor.com

  1. RedAksi

RedAksi memiliki tagline “Lugas Membaca Realita” merupakan komunitas jurnalistik Ilmu Komunikasi UII.

Komunitas ini berfokus pada kondisi-kondisi sosial yang terjadi dan menuliskannya menjadi sebuah karya jurnalistik. Selain itu, RedAksi aktif melakukan kegiatan sosial, baru-baru ini RedAksi berkolaborasi dengan Literasik.Kom melakukan kegiatan pemberdayaan di Panti Asuhan Al Wahhaab Sinar Melati 11 dengan tajuk “Pengembangan Literasi pada Anak Membuahkan Sebuah Karya”.

Menariknya komunitas ini juga ada kegiatan visit media, beberapa media yang pernah dikunjungi adalah Hipwee, Hookspace, Provoke Magazine Jogja, dan Mojok. Visit ini bertujuan untuk sharing dan diskusi terkait kerja media.

Ingin terjun ke dunia jurnalistik? Sepertinya cocok untuk belajar di RedAksi dengan pengalaman-pengalaman menarik dari anggota yang lain.

Instagram                    : redaksikomunikasi

  1. Dispensi

Dispensi merupakan akronim dari Diskusi dan Penelitian Komunikasi. Dalam akun Instagramnya disebut “Dispensi adalah counterculture berkedok komunitas diskusi dan penelitian”. Komunitas ini adalah wadah bagi kamu yang memiliki perspektif kritis. Apa saja bisa didiskusikan hingga menjadi bahan penelitian!

Dispensi juga menjadi salah satu komunitas yang paling aktif karena rutin menggelar diskusi bulanan yang berkolaborasi dengan PDMA Nadim. Isu-isu menarik dibahas, seperti diskusi beberapa waktu lalu yang bertajuk “Wacana Keseharian Para penggemar K-Pop” menjadi perbincangan menarik dalam perspektif komunikasi.

Apakah kamu tertarik dengan komunitas ini? Cari tahu melalui akun Instagram di bawah ini ya.

Instagram                    : dispensi_uii

  1. Galaxy Radio

Galaxy Radio dengan saluran 107.8 ini merupakan komunitas radio kebanggaan Prodi Ilmu Komunikasi UII. Dengan tagline “Your Universe of Music” komunitas ini selalu menemani para mahasiswa dengan musik-musik populer saat bersantai di sekitar kampus.

Bagi kamu yang tertarik dengan dunia penyiaran, wajib untuk bergabung dengan komunitas ini. Kamu bisa belajar dari announcer cara mengolah vokal, manajemen siaran radio, teknis operasional siaran, kegiatan lain seperti pengembangan skill, workshop, hingga visit ke beberapa radio komersial maupun radio komunitas.

Instagram                    : 107.8galaxyradio

Bagaimana Comms tertarik dengan komunitas yang mana nih? Tenang, biasanya komunitas-komunitas ini akan membuka pendaftaran pada bulan September. Siap-siap ya!

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Contoh judul skripsi
Reading Time: 5 minutes

Salah satu tips mengerjakan skripsi dengan tenang tanpa overthinking adalah memilih topik yang Anda sukai menjadi objek penelitian. Bagi Anda yang menyukai K-Pop, drama Korea, hingga Idol dari Korea Selatan, tema ini menarik jika dibahas dari sisi akademis.

Sebagai informasi, K-Wave (Korean Wave)-dalam bahasa Indonesia Gelombang Korea-adalah istilah yang merujuk pada budaya pop Korea Selatan secara global. Hal ini memicu banyak orang di belahan dunia tertarik mengikuti, mengidolakan, hingga mempelajari tentang Korea.

Anda bisa membahasanya dari berbagai sisi, misalnya fandom (fans kingdom) suatu idol, analisis program acara TV Korea, analisis pemberitaan media di Korea, dan lainnya. Berikut contoh judul skripsi untuk Jurusan Ilmu Komunikasi yang membahas tentang K-Pop, drama Korea, hingga hal-hal lain terkait K-Wave yang dilansir dari berbagai jurnal.

Contoh judul skripsi jurusan Ilmu Komunikasi tentang K-Wave

  1. Stigma Media terhadap Fandom Perempuan dalam Pemberitaan Penggemar K-Pop

Penelitian ini membahas stigma fandom perempuan sebagai salah satu diskriminasi gender karena dominasi budaya patriarki. Stigma ini kerap muncul dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di media. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis stigmatisasi fandom perempuan K-Pop di CNNIndonesia.com dan bagaimana wacana teks berperan dalam mengkonstruksi representasi fandom perempuan di media. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, terdapat diskriminasi terhadap fandom perempuan dalam berita-berita yang disiarkan oleh CNNIndonesia.com. Berita-berita dalam kanal ini memiliki kecenderungan untuk memperkuat stigma terhadap fandom perempuan melalui kiasan dan pemosisian subjek dan objek dalam media. Penggemar perempuan cenderung diggambarkan sebagai penggemar gila yang memiliki masalah psikologis dan bertindak tidak masuk akal.

Metode penelitian          : Analisis wacana

Penulis                                 : Imamatul Silfia, Rizaludin Kurniawan, Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia

  1. Speak Out Your Films: When Asian Independent Film Festivals Send Messages to the World

Artikel ini berfokus pada tiga festival film independen yang diadakan di tiga negara berbeda di Asia. Ketiga festival tersebut adalah (1) Jeonju International Film Festival (JIFF) di Jeonju, Korea Selatan, (2) Cinemalaya Philippine Independent Film Festival di Manila, Filipina, dan (3) Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta, Indonesia. Beberapa studi kasus diadopsi untuk menganalisis bagaimana ketiga festival film independen ini diselenggarakan, termasuk “pesan” yang disebarkan kepada penonton global. Temuan-temuan tersebut dianalisis berdasarkan kerangka kerja konseptual yang terdiri dari tiga konsep yang relevan: film sebagai produk budaya, festival film independen, dan wacana budaya. Kesimpulannya menunjukkan bahwa ketiga festival film yang dianalisis menawarkan cara alternatif dalam distribusi film, kemudian menunjukkan cara pengorganisasian festival yang tidak konvensional dan memperkuat kekuatan komunitas dan jaringannya sebagai basis pengembangan festival mereka.

Metode penelitian          : Studi kasus

Penulis                                 : Dr. Zaki Habibi, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

  1. Aktivisme Digital dalam Konteks Penggalangan Donasi Fandom BTS (ARMY) Indonesia Melalui Twitter

Salah satu cara untuk menjaga citra positif, para fandom melakukan kegiatan sosial melalui media digital. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana fandom menggunakan media digital untuk melakukan aktivisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan momentum tertentu yang berkaitan erat dengan suatu kelompok dapat mendukung keberhasilan aktivisme digital. Selain itu, pesan yang disebarkan untuk melakukan persuasi penting untuk dinarasikan dengan menyentuh sisi emosional individu. Transparansi dalam pelaksanaan aktivisme digital juga menjadi hal yang perlu dikelola dengan baik untuk mendukung keberhasilan aktivisme digital yang dilakukan.

Metode penelitian          : Kualitatif, studi kasus

Penulis                                 : Nawan Sumardiono, Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

  1. Fandom dan Konsumsi Media: Studi Etnografi Kelompok Penggemar Super Junior, ELF Jogja

K-Wave menjadi perhatian besar bagi remaja Indonesia, bukan tanpa alasan kekuatan media massa musik Korea, membentuk suatu komunitas fans hingga memunculkan fandom. Super Junior sebagai salah satu pionir boyband Korea menjadi grup yang memiliki fans club terbesar di dunia bernama ELF. Penelitian ini mengkaji perilaku konsumsi media secara privat oleh ELF Jogja dan interaksi antar anggotanya dalam komunitas organik dan virtual. Hasil penelitian tersebut antara lain,  (1) perilaku konsumsi media privat penggemar menunjukkan bahwa penggemar memiliki sensibilitas “hiperkonsumeris” dan (2) ketika penggemar sudah terjun ke komunitas virtual, mereka akan memiliki pola komunikasi yang berbeda dengan pola komunikasi yang mereka lakukan di komunitas organik sebelumnya.

Metode penelitian          : Kualitatif etnografi

Penulis                                 : Ratna Permata Sari, Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada

  1. Pengaruh Kredibilitas, Kualitas Pendekatan Emosional, Dan Kualitas Isi Pesan Terhadap Efektivitas Kampanye “Love Myself”

Kampanye sosial yang sukses diciptakan dari elemen-elemen seperti menyasar target audiens yang sempit, mengkreasikan pesan kampanye, mengembangkan teori perubahan, dan menggunakan komunikator yang tepat. Hal ini dirumuskan dalam aspek retorika yaitu kredibilitas, sisi emosional, dan isi pesan pada kampanye “LoveMyself” yang dilakukan oleh K-Pop grup BTS. Proses penelitian ini menyimpulkan bahwa kredibilitas dan pendekatan emosional BTS tidak memiliki kontribusi terhadap efektivitas kampanye “Love Myself”.

Metode penelitian          : Survei online

Penulis                                 : Antonia Meme, Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

  1. Dinamika Online Persona Akun Anonim Twitter Penggemar KPop

Penelitian ini membahas aspek psikologis dari kebutuhan akan kenyamanan dan kebebasan berekspresi di kalangan penggemar K-Pop yang diaktualisasikan melalui akun anonim di Twitter. K-Pop merupakan salah satu minat yang memiliki beberapa aktivitas yang selalu dibanding-bandingkan dengan fanastime dan masih belum bisa diterima secara bebas oleh masyarakat umum. Sebagai bagian dari kaum minoritas, para penggemar K-Pop mencari wadah yang dapat memberikan kebebasan untuk menampilkan identitas mereka sebagai penggemar yang aktif dalam kegiatan fandom K-Pop, dan wadah tersebut tidak lain adalah dengan menggunakan akun pseudonim di Twitter.

Melalui interaksi dengan menggunakan nama samaran, ada kalanya penggemar K-Pop tidak hanya membicarakan minat K-Pop mereka, tetapi juga menunjukkan identitas mereka dan juga kehidupan pribadi mereka sebagai fase ketika mereka berinteraksi dengan penggemar K-Pop lainnya. Oleh karena itu, hal ini dapat mengarah pada peningkatan di mana solidaritas dirasakan dalam fandom K-Pop di Twitter, dan hal ini juga dapat memberikan setiap penggemar K-Pop perasaan diterima dan merasa beruntung ketika mereka tidak dapat menampilkan diri mereka secara bebas di kehidupan nyata sebelumnya dan di sini mereka menjadi lebih terbuka dan bahagia di lingkungan Twitter ini.

Metode penelitian          : Kuantitatif, survei

Penulis                                 : Kirana Wistiani Ayundari, Pulung Setiosuci Perbawani, Universitas Gadjah Mada

  1. Consumer Fanaticism dalam Mendefinisikan Diri: Studi pada Budaya Konsumsi ARMY atas Merchandise BTS

BTS menjadi sorotan media global sebagai music influencer. Hal ini tak lepas dari kontribusi para fans (ARMY) mulai dari aktivitas streaming hingga pembelian merchandise. Fenomena pembelian merchandise ditengarai sebagai bentuk consumer fanaticism. Penelitian ini berfokus untuk melihat bagaimana consumer fanaticism dimaknai dalam diri informan sebagai bagian dari ARMY. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk consumer fanaticism dimaknai penggemar melalui 3 cara: antusiasme terhadap BTS, keberagaman interaksi ARMY, dan fanatisme atas merchandise BTS.

Metode penelitian          : Kualitatif

Penulis                                 : Fadia Aqilla Haya, Fariza Yuniar Rakhmawati, Universitas Brawijaya

  1. Peirce Semiotic Analysis of The Representation Of Oligarchic Power in the Korean Drama Film The Healer

Penelitian ini menunjukkan bagaimana sebuah film drama Korea menjadi media representasi atau gambaran dari sebuah realitas, khususnya mengenai kekuasaan oligarki dalam sejarah demokrasi Korea Selatan pada masa itu. Penelitian ini akan lebih berfokus pada tanda-tanda yang menggambarkan atau menunjukkan aktivitas kekuasaan oligarki dalam film drama Korea The Healer. Hasilnya, peneliti menyimpulkan bahwa adegan dan dialog yang menunjukkan aktivitas pemegang kekuasaan dalam bentuk adegan dan dialog merupakan representasi. Objek dalam film drama Korea The Healer ditunjukkan melalui aktivitas kekuasaan oligarki yang ditunjukkan melalui ekspresi, dialog, dan tindakan yang terlihat. Sementara itu, interpretasi makna dari kekuasaan oligarki muncul dalam benak yang berkaitan dengan objek yang dimaksud.

Metode penelitian          : Analisis semiotik

Penulis                                 : Rizka Septiana, Faculty of Communications, LSPR Communication & Business Institute,

  1. Factors Influencing Youth Audience Involvement (A study on BTS Fans who Follow @army_indonesia Instagram account)

K-Pop menjadi suatu fenomena yang menarik perhatian banyak orang. Dengan dibantu oleh keberadaan media sosial, penggemar K-Pop mengambil peran peningkatan popularitas dari K-Pop itu sendiri serta perkembangannya menjadi suatu industri yang besar. Penelitian ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan audiens dari penggemar grup idola BTS remaja di media sosial.

Metode penelitian          : Kuantitatif

Penulis                                 : Yolanda Gloria Hutauruk, Ummi Salamah, Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

  1. Komodifikasi Anak dalam Variety Show Korea Selatan The Return of Superman (TROS)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik komodifikasi anak dalam sebuah variety show Korea Selatan: The Return of Superman (TROS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat komodifikasi anak yang tersembunyi di balik judul program; program ini merupakan produk budaya populer yang berlatar belakang praktik kapitalisme: berorientasi pada keuntungan dan diatur oleh pasar; dan variety show dimaknai secara lebih negatif karena telah mengeksploitasi praktik-praktik komodifikasi dan pelecehan hak-hak anak demi kepentingan media.

Metode penelitian          : Kualitatif

Penulis                                 : Irani Yosef, Universitas Paramadina.

Itulah beberapa contoh judul penelitian dalam kajian Ilmu Komunikasi seputar K-Wave yang telah dirangkum dari berbagai jurnal.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

 

Reading Time: 4 minutes

Seperti apa film yang mengangkat problematika TKI di daerah indonesia bagian timur? Bagaimana film soal TKI digarap oleh kru yang sama sekali belum pernah pegang kamera dan nonton bioskop?

Muhammad Heri Fadli, sineas muda asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang pernah menimba ilmu di Prodi Ilmu Komunikasi UII, ini punya inisiatif bikin film soal keseharian di kampungnya: bekerja ke luar negeri jadi TKI. Ada yang legal, ada yang ilegal. Ia mengangkatnya dalam sebuah film dokumenter bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama.

Kamis, 25 Februari 2021, Heri diundang dalam diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim, Prodi Ilmu Komunikasi UII. Diskusi bulanan ini diselenggarakan dengan aplikasi Zoom dan disiarkan langsung di saluran resmi Komunikasi UII di Youtube: Uniicoms TV.

PSDMA Nadim Komunikasi UII adalah pusat studi yang menaruh fokus kajiannya pada upaya, sumber pengetahuan, dan medium alternatif. Sejak didirikan pada 2008, Nadim berupaya menjadi pengelola pengetahuan dan center of excellence dari beragam koleksi dan studi pelbagai sumber dan mengemasulangnya menjadi pengetahuan baru. Nama Nadim terinspirasi dari Ilmuwan cum pustakawan muslim bernama Ibn Al Nadim sebagai orang pertama di dunia yang melakukan proses dokumentasi, koleksi, dan temukenali pengetahuan pada 14 abad yang lalu.

Profesi Ibn Al Nadim inilah yang pada masa sekarang disebut sebagai ilmuwan cum pustakawan, bibliografer, atau bahkan lebih dari itu, sebagai pusat penelitian dan pengembangan: Knowledge Manager. Ibn Al Nadim membuat katalog pertama di dunia yang diberi judul Al Fihrist. Sebuah magnum opus dalam sejarah pengetahuan umat manusia. Kitab ini, menurut catatan sejarah, berisi katalog sekira 10 ribu koleksi dari 2000 penulis di era pertengahan islam.

Proses Kreatif Produksi Film Jamal

Alumni Ilmu Komunikasi UII ini mengatakan, film Sepiring Bersama digarap selama empat hari. Meski lamanya persiapan produksi justru melebihi masa produksi film, Heri justru mengapresiasi proses ini. Pasalnya semua kru filmnya adalah tetangga dan keluarga dekat yang sama sekali belum pernah terlibat produksi film. “Bahkan nonton bioskop saja belum pernah, tapi semangatnya itu besar sekali. Saya belum pernah menemui semangat besar mereka ini selama saya produksi film,” katanya.

Beberapa hal juga patut dijadikan pembelajaran bagi mahasiswa Komunikasi UII soal hal-hal tak terduga yang terjadi pada saat produksi film Jamal dan beberapa film lain yang digarapnya. Diskusi yang dipandu oleh Risky Wahyudi, ini membahas kepulangan para TKI dalam kondisi sudah tidak bernyawa dan produksi film Jamal yang tidak berjalan mudah.

Jamal merupakan film yang mengangkat permasalahan pemulangan TKI ke Lombok dalam keadaan tak bernyawa. Angka kepulangan terus meningkat sejak 2019 hingga 2021.

Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah siapa Jamal? Jamal merupakan gabungan suku kata yaitu “Janda Malaysia” atau bisa disebut sebagai wanita yang ditinggalkan oleh suaminya merantau ke negeri Jiran.

Film Jamal terlahir dari kisah yang melekat di tempat Heri tinggal dan menjadi sebuah keresahan tersendiri buatnya. Untuk mengungkap permasalahan ini, Heri merasa harus membuat sebuah film terkait problematika tersebut.

Film Jamal menggunakan bahasa Sasak di keseluruhan film. Bahasa sasak merupakan bahasa utama yang digunakan di Pulau Lombok. Alur cerita Jamal yang minim dialog namun memiliki isyarat yang kuat dari para pemeran Jamal  membuat film ini tetap mampu menyampaikan perasaan nestapa yang terjadi pada film tersebut kepada penonton, tanpa harus mengerti bahasa sasak.

Produksi film Jamal ini menggunakan kru yang merupakan orang terdekat Heri di Lombok. Mayoritas kru film ini merupakan orang-orang yang ditinggalkan anggota keluarga mereka merantau menjadi TKI. Heri mengungkapkan bahwa para kru ini minim akan pengetahuan produksi film. Bermodal semangat yang tinggi, para kru merasa bahwa problematika TKI dalam film ini adalah hal penting yang harus dituntaskan dan dipublikasikan secara luas.

Tak hanya Jamal, film sebelumnya, Sepiring Bersama juga bercerita tentang TKI. Bedanya, jika Jamal masuk dalam pemutaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada 2020, Sepiring Bersama lebih dulu masuk JAFF pada 2018. Setelah pemutaran Sepiring Bersama, Heri melanjutkan bahwa dia mendapatkan sebuah serangan ataupun ancaman setelah pemuturan film Sepiring Bersama, film tentang TKI juga, milik Heri. Ancaman tersebut dari seorang pengantar pesan yang belakangan mengaku dari orang petinggi di NTB. Pesan tersebut berisi untuk Heri agar tidak sembarang memutar film Sepiring Bersama. Sepiring Bersama dianggap sebagai film yang menunjukkan cacatnya provinsi Nusa Tenggara Barat.

Harapan di Balik Proses Kreatif

Heri mengatakan, ada sekira 14 trilyun pemasukan dari BMI masuk menjadi pendapatan daerah NTB. Jumlah itu tidak terhitung sebagai sumbangsih Buruh Migran Indonesia (BMI) yang begitu besar. “Tapi saya pengin ayo kita pikirkan bareng-bareng, di atas sumbangsih mereka ini, tolong kasih jaminan untuk anak-anak mereka. Minimal jaminan pendidikan,” harap Heri pada saat diskusi dengan dipandu Risky Wahyudi, moderator sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi UII.

“Karena saya bukan pengin mereka berhenti bekerja di luar negeri, setidaknya, ada keterampilan mumpuni yang mereka bawa di sana. Saya ingin mereka yang kerja di luar negeri ini membawa sesuatu,” katanya menjelaskan.

Heri bilang, kebanyakan TKI dari Lombok yang bekerja di Malaysia jadi kuli panggul sawit, tukang bangunan, yang notabene itu bisa mereka lakukan di rumahnya, di Lombok. “Sama saya berharap semua pihak tidak terkecuali di NTB atau di luar, dengan cara berdiskusi seperti ini, setidaknya ada pandangan baru dan solusi. Tidak hanya di NTB,tapi juga di daerah lain. Di jawa barat. Istri-istri ini jangan lagi disebut sebagai jamal. Karena itu rasanya seperti pelecehan. Dilabeli jamal padahal suaminya masih ada di Malaysia,” katanya.

Padahal, menurut Heri, mereka ini pasangan berani mengorbankan kebersamaan untuk menghidupi anak-anaknya. “Saya berharap semua pihak yang makan dari pengiriman BMI ilegal ini sadar diri, jangan sembarangan kita kirim orang ke luar negeri untuk bekerja,” katanya kemudian, sembari menilai banyak TKI berangkat kerja dengan hanya modal nekat.

————————————————

Penulis: Muhammad Malik Hamka Sukarman (Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014, Magang di PSDMA Nadim, Komunikasi UII) dan A. Pambudi W.

Reading Time: 3 minutes

Bagaimana riset praproduksi film bisa membuat filmmaker menemukan banyak fakta yang mencengkan? Apa saja temuan sineas ini ketika menelisik lika-liku wajah TKI di tanah kelahirannya itu?

Pada 2019,Muhammad Heri Fadli, mulai menjejaki beragam dokumen dan data. Pasalnya, ia ingin memahami lanskap dunia buruh migran dan lika-likunya. Meski ia sehari-hari, bahkan sejak kecil, hidup di lingkungan terbanyak pengirim buruh migram ke Malaysia, tapi itu tak membuatnya urung membaca puluhan bahkan ratusan angka soal TKI dari Lombok. Beginilah temuan Heri ketika melakukan riset praproduksi filmnya bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama. Film-film itu bercerita tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok, tempat lahirnya.

Heri hadir pada kesempatan diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim pada Kamis (25/2) di awal 2021 ini. Sebagai alumni Komunikasi UII, ia berbagi dan menceritakan fakta dan temuan mengagetkannya, bahkan mengesalkan untuk bahan produksi filmnya. Tak hanya itu, ia juga ceritakan bagaimana proses kerja produksi filmnya itu . Uniicoms TV menyiarkan secara Live diskusi ini yang rutin digelar PSDM Nadim Komunikasi UII.

Heri menceritakan bagaimana persoalan TKI di Lombok begitu pelik hingga sulit ditangani oleh pemerintah. Heri heran setelah mengetahui rumitnya penyelesaian soal migrasi tenaga kerja ini terutama di Lombok. Ia menyitir beberapa temuan data dari riset awalnya sebelum membuat film. Misalnya, jumlah pemulangan TKI NTB pada 2019 mencapai 766 orang. Tiga kabupaten di NTB bahkan masuk dalam 10 besar penyumbang Buruh Migran Indonesia/BMI di Indonesia.

Fakta dan Lumbung  Segala Masalah

Kabupaten Lombok Timur adalah kabupaten tertinggi, di Indonesia khususnya, sebagai penyumbang TKI dengan jumlah 28 ribu TKI per tahun. Lalu menyusul Lombok Tengah sebesar 16 ribu per tahun. Di urutan ketiga baru Lombok Barat masuk daftar.

Data-data ini membuatnya kaget becampur heran. Seketika lalu memantiknya memiliki ide membuat film soal ini. Menurut Heri dan produsernya, Ida Bagus, “inilah lumbung semua masalah di NTB. Mulai dari stunting, begal, angka putus sekolah, kemiskinan,” katanya.

Pada gilirannya Heri menemukan data lain yang juga membuat tercengang. “Akhirnya saya menemukan sejumlah 73 jenazah BMI dipulangkan pada 2019,” katanya. “Namun ketika saya ke bandara, justru saya menemukan tiap hari ada saja jenazah yang dipulangkan. Itu yang ilegal. Mereka tidak masuk di data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2019,” sambungnya.

Menurutnya, ketika melihat fakta ini, ia tak bisa tinggal diam. “Angka-angka ini yang bikin saya merasa ini benar nggak sih kalau saya diam saja?” Batinnya berkecamuk kemudian.

Heri menambahkan sederet data lagi yang membuatnya geram. “Ada satu fakta yang buat saya kesal. Lombok Tengah ini selalu dapat juara satu untuk penanganan BMI. Namun di sisi lain, dapat nomor satu pengiriman BMI ilegal,” keluhnya sembari heran.

Ada satu kebiasaan masyarakat yang mengakar di masyarakat, kata Heri. Orang-orang yang tidak bisa berangkat lewat Lombok Tengah, maka dia berangkat melalui pintu Lombok Timur. “Orang lombok ini nekat-nekat. Tanpa modal skill mereka berani berangkat ke Malaysia. Di keberangkatan kedua, mereka melancong, tinggal di hutan. Jarang ke kota,”kata Heri. “Sampai-sampai mereka kalau sakit, nggak ke pelayanan kesehatan. Jadi diurus teman-temannya,” tambahnya.

Catatan kasus para TKI ini juga banyak sekali. Ketika Heri bertemu dengan Kepala BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Mataram, pemda urusan TKI ini mengatakan bahwa ia sudah kerepotan bagaimana menangani orang yang berangkat menjadi BMI. “Ada satu fakta pada 2019 saat Suriah sedang konflik, ada tiga orang lombok dikirim ke sana,“ kata Heri menirukan kata Kepala BP3TKI itu. “Duta Besar RI di sana bilang, kenapa kok Lombok malah kirim ke sini. Saat dicek di Lombok sini keberangkatan mereka juga tak tercatat,” imbuh Heri.

Heri menuturkan, banyak kisah-kisah aneh juga yang ia dapatkan. Banyak orang yang nggak punya keterampilan dan pengalaman. “Mereka cuma diantar ke pulau-pulau sekitar. Seperti Sumbawa, Gili, dan lain-lain. Lalu uang mereka bagaimana? Mereka sudah nggak tau, udah dimakan penyalur jasa. Ini ternyata sudah berlangsung sejak 1980an,” tuturnya.

Tren dan Perubahan Sosial Keluarga TKI

Risky Wahyudi, moderator diskusi kali ini, mencoba memerdalam kajian ini dengan bertanya tentang tren sosial yang berkembang di Lombok beberapa tahun terakhir. Secara historis, kata Heri Fadli yang juga lahir di Lombok, mengungkapkan, tren berangkat ke menjadi TKI di Malaysia sudah menjadi hal biasa. Misalnya pada 2000an, anak muda semua berangkat ke Malaysia,” kata Heri menjawab pertanyaan Risky. “Termasuk di sebelah kampung saya, itu berangkat semua.”

Namun, seiring waktu, semuanya akhirnya lambat laun berubah. Meskipun tak semua kampung. “Sekarang misalnya, dari sekira 60an anak muda, hanya 4 yang berangkat malaysia, sisanya sudah mulai menjalani tren kuliah, sarjana dan bahkan, master. Kalau di kampung saya alhamdulillah sekarang sudah berubah trennya,” katanya menjelaskan.

Pada zaman dulu juga, pada era 1980an sampai 2000an, menurut tuturan Heri, paradigma dan tren masih tidak seperti sekarang. Orang dianggap sukses kalau anaknya bisa kirim uang banyak. Maka TKI jadi pilihan. Belakangan tren itu mulai berubah. Yang dulunya orang sarjana tidak dianggap, karena tak kirim uang banyak, tapi akhirnya berangsur-angsur kini mulai berbondong-bondong anak muda berkuliah. “Ada yang di Jogja seperti saya, Malang, Semarang, Bandung, dan lain-lain.”

Meski begitu, di kampung sebelah rumah tinggalnya, masih saja ada yang merasa penting mencari nafkah di Malaysia, kata Heri. Sampai-sampai di daerahnya, orang sudah merasa seakan Malaysia bukan luar negeri. Cuma seperti tempat melancong imbuhnya.