Reading Time: 5 minutesFilm seolah menyuarakan berbagai fenomena yang terjadi pada manusia dan alamnya. Bahkan rumitnya konflik sosial mampu diuraikan dengan atau tanpa dialog yang ada dalam karya visual. Praktik ini dilakukan oleh deretan sineas yang tergabung dalam Aceh Documentary dan Aceh Film Festival.
Kehancuran Aceh atas bencana tsunami justru melahirkan berbagai skill baru, sekedar merekam dan menjahitnya menjadi sebuah tontonan yang bercerita sangat dalam. Gelaran Kaliurang Festival Hub edisi ketiga digelar pada 23 November 2023 berkesempatan untuk melakukan kolaborasi dengan Aceh Film Festival.
Edisi ketiga kali ini dibuka dengan pemutaran tiga film yang telah dikurasi oleh Aceh Film Festival, ketiganya adalah Puing Paling Sunyi, Gelombang Sinema di Ujung Sumatera, dan Surat Kaleng 1949.
Setelah pemutaran film, dilanjutkan dengan movie talk bertajuk “Sinema Pasca-Bencana” oleh Akbar Rafsanjani, Film Programmer & Film Curator Aceh Film Festival yang dipandu oleh Muzayin Nazaruddin Peneliti Komunikasi Lingkungan dan Kebencanaan dari Prodi Ilmu Komunikasi UII yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoral di Tartu University, Estonia.
Bermula dari tsunami Aceh 2004 yang menelan korban 227.898 jiwa, LSM dan NGO di berbagai belahan dunia berbondong-bondong datang mengulurkan tangan. Tak hanya memberikan bantuan dan pertolongan, pemberi donor juga meminta bukti pelaporan. Sehingga para LSM dan NGO melaporkannya dalam dokumentasi tulis, foto, hingga video.
Menurut penuturan Akbar, sebagian masyarakat terlatih memegang dan mengoperasikan kamera berkat LSM dan NGO yang datang pasca tsunami.
“Film baru benar-benar hadir pasca tsunami, asumsi pertama kami muncul LSM dan NGO dari luar datang ke Aceh dengan berbagai tujuan untuk pelaporan kepada donor. Mereka memanfaatkan jurnalis lokal (jurnalis cetak). Temen-temen yang dilatih, kalau dulu jadi kontributor sekarang mereka punya skill baru (memproduksi video),” jelas Akbar membuka sesi Movie Talk.
Geliat Perfilman di Aceh Pasca Bencana di Tengah Keterbatasan Ruang
Pembuka yang disampaikan oleh Akbar menjadi momentum geliat film di Aceh mulai tumbuh. Pasca bencana yang seolah menjadi kiamat bagi masyarakat ternyata membawa Aceh bangkit dengan wajah baru.
Menilik ke belakang, riset-riset yang dilakukan oleh Akbar dan rekan-rekannya tak menemukan jika Aceh memiliki sejarah tentang perfilman, seni pada masa konflik berhenti pada pertunjukan panggung sandiwara. Artinya, sejarah bermulanya film di Aceh sangat muda.
“Kalo ditelusuri lebih lama kita mentok di seni panggung sandiwara pada masa konflik,” ujar Akbar.
Akbar Rafsanjani bersama Muzayin Nazaruddin saat diskusi terkait geliat film di Aceh yang menjadi media untuk menyuarakan konflik sosial
Berangkat dari skill yang muncul pasca tsunami, geliat memproduksi film muncul. Hingga lahir beberapa komunitas salah satunya Aceh Documentary yang menjadi rumah bagi para sisneas muda di Aceh. Berbagai kelas, produksi film, hingga kompetisi dilakukan untuk melanjutkan mimpi.
Tak mudah membangun perfilman di Aceh, salah satu kendala nyata terkait dengan ruang. Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang tak memiliki bioskop. Absennya ruang bisokop di Aceh lantaran dorongan berbagai kelompok yang berpendapat jika kehadiran bioskop bertentangan dengan syariat Islam.
“Aceh merupakan daerah khusus yang menjalankan syariat Islam secara kaffah (secara menyeluruh),” ujar Rijaluddin, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dilansir dari Kompas.com.
Namun, kendala ini menjadi hal tak berarti bagi para pegiat film di Aceh. Mereka tetap melakukan screening film secara sederhana, mulai dari konsep berkeliling memutarnya di daerah-daerah, hingga pemutaran besar di sebuah ruang serba guna dengan memisah antara perempuan dan laki-laki yang tentu dengan pengawasan Polisi Wilayatul Hisbah.
Seperti yang disampaikan Akbar, tak pernah terjadi hal-hal pelanggaran selama pemutaran film dilakukan. Justru yang dilakukan oleh Polisi Wilayatul Hisbah adalah mengimbau penonton agar tak merekam film selama pemutaran.
“Jadi malah tak ada pelanggaran syariat Islam, mereka [Polisi Wilayatul Hisbah] justru akhirnya mengimbau penonton untuk tidak merekam, mendokumentasikan film selama pemutaran saja,” ujar Akbar.
Satu dekade sejak 2013, Aceh Documentary menjadi wajah baru yang mendorong perfilman terus bertumbuh. Hingga tahun 2015 dibentuklah Aceh Film Festival sebagai ajang penghargaan bagi sineas yang terus berjuang.
Untuk mempertahankan geliat perfilman di Aceh, ada strategi yang terus dilakukan yakni dengan menyesuaikan dengan kebiasaan dan jadwal menonton masyarakat Aceh.
“Masyarakat Aceh duduk di warung kopi, ada TV menonton sepak bola, film yang tayang tengah malam. Kami mengikuti jadwal menonton masyarakat untuk mempertontonkan film yang diproduksi (Aceh Film Festival, Aceh Documentary),” tambah Akbar.
Hingga kini perfilman di Aceh mulai diminati oleh generasi muda, mereka yang kuliah di Jawa akan kembali dengan bekal pengalaman dan melirik isu-isu sosial yang terjadi di tanah kelahirannya.
Film Media Mengurai Konflik Sosial di Aceh
Ada pertanyaan menarik dalam sesi Movie Talk “Sinema Pasca Bencana”, Muzayin Nazaruddin selaku moderator melontarkan kalimat cukup menarik “Kira-kira film di Aceh menjadi medium perubahan sosial atau hiburan?”
Seolah penuh konflik sosial, film ternyata mampu menjadi medium untuk mengurainya. Jauh sebelum bencana tsunami Aceh 2004, sekitar tiga puluh tahun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus bergulir.
Selama periode 1976 hingga 2005 kisah pelik itu menjatuhkan 15.000 korban jiwa dan ribuan pelanggaran HAM terjadi. Dalam penelitian yang berjudul Konflik Vertikal Antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di Jakarta Tahun 1976-2005 yang dilakukan Kurnia Jayanti dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebut jumlah kasus pelanggaran HAM selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sebagai berikut kasus tewas/terbunuh 1.321 kasus, 1.958 kasus hilang, 3.430 kasus penyiksaan, 128 kasus pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran.
Secara singkat konflik di Aceh terjadi lantaran kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara Pemerintah pusat dan daerah, ketidakadilan selama puluhan tahun dirasa tidak terlalu diperhatikan. Kesejahteraan, pembagian sumber daya alam yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat Aceh, hingga aspirasi terkait keistimewaan identitas dan etno religious syariat Islam yang tak diakomodasi menjadi faktor kekecewaan melalui gerakan separatis GAM.
Sementara kebijakan di masa orde baru yang sangat militeristik penuh kekerasan semakin membuat masyarakat Aceh terus mengalami penderitaan.
Meski pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, rekonsiliasi dan dialog dilakukan nyatanya hingga tahun 2001 tak ada hasil yang berarti. Hingga tsunami datang di tahun 2004, NGO dan LSM internasional nyatanya malah membawa kompleksitas sendiri dalam proses Pembangunan perdamaian.
Konflik-konflik sosial ini mulai diurai dan disuarakan melalui film. Film yang diproduksi oleh pegiat di Aceh menjadi penanda the voice of voiceless. Film Puing Paling Sunyi menjadi gambaran penderitaan masyarakat Aceh akibat konflik. Meski menyingkap dan menyuarakan konflik, film ini tampak lembut tanpa memasukkan kata konflik, GAM, Pembunuhan, dan pelanggaran HAM lainnya.
“Film yang diproduksi adalah the voice of voiceless. Warga aceh biasa kehilangan suami, anak kehilangan bapak. Ada upaya melupakan itu secara sistematik, kesedihan yang panjang Puing Paling Sunyi adalah tubuh itu sendiri,” ujar Muzayin Nazaruddin.
“Tidak ada kosa kata GAM, Konflik, dan lainnya,” tambahnya.
Hadirnya Akbar dalam sesi Movie Talk menjadi validasi terkait konflik yang pernah terjadi namun tak ada upaya rekonsiliasi.
“Ada dua film (Puing Paling Sunyi, Surat Kaleng 1949) yang apabila tidak hadir disini konteksnya akan hilang,” jelas Akbar.
Puing Paling Sunyi disutradai oleh mahasiswa yang lahir tahun 2004, artinya ia adalah sosok yang tak mengalami langsung konflik di Aceh namun merasakan dampaknya.
“Sutradara orang Aceh, lahir 2004 dia bukan generasi konflik Aceh. Dia punya memori tentang ayahnya sperti ibu dalam film tersebut yang mengalami kekerasan, [pajak Nangroe] ketika tidak ada uang diancam tembak mati, sering takut, marah, menggigil,” tambahnya.
Perbedaan memori dan pengalaman antara sutradara dengan produser yakni Akbar Rafsanjani, sengaja tak diintervensi demi menghasilkan karya yang murni. Menurut Akbar, ada persepsi dan perbedaan dalam meromantisasi konflik di Aceh. Inilah yang menjadi perbedaan di setiap generasi.
“Puing Paling Sunyi, sepakat untuk tidak mengintervensi. Penting diproduksi karena ada gap antar generasi, meromantisasi konflik, romantisasi kekerasan,” sebut Akbar.
Menututp, diskusi film-film yang diproduksi pasca bencana adalah upaya menyingkap pesan secara alegoris dengan mencari makna di balik visual dalam film.
“Sekejam apa sih sampai membuat ayahnya traumatik, riset tentang psikologi, memori yang tersimpan dalam tubuh, film ini sangat alegoris,” tutup Muzayin Nazaruddin.
Penulis: Meigitaria Sanita