Tag Archive for: Film horor

Kaliurang Festival Hub
Reading Time: 4 minutes

Film lokal dan film horor seolah memiliki batasan makna yang tipis. Di Indonesia, film yang mengusung konsep lokal bergenre horor tampaknya telah menjadi keniscayaan. Bagaimana tidak film jenis ini terbukti memenangkan pasar dari awal tahun 2023 hingga saat ini.

Tercatat 7 di antara 10 film yang paling laris dari Januari hingga Maret 2023 adalah film bergenre horor antara lain Waktu Magrib dengan 2,3 juta penonton; Mangkujiwo 2 dengan 554,5 ribu penonton; Bayi Ajaib dengan 434,2 ribu penonton; Perjanjian Gaib dengan 342 ribu penonton; Pesugihan Bersekutu Iblis dengan 248 ribu penonton; Betina Pengikut Iblis  dengan 214,5 ribu penonton; dan Iblis dalam Darah dengan 201 ribu penonton.

Namun sebenarnya, menyebut film lokal sama dengan film horor adalah keliru. Keduanya memiliki makna dan ide yang berbeda. Film lokal adalah film yang mengusung isu keseharian, tidak hanya soal tempat melainkan juga bercerita tentang perlawanan. Sementara film horor adalah genre film yang menampilkan adegan-adegan menyeramkan, mengungkap hal mistis dan gaib yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan pada penonton dengan orientasi memenangkan pasar.

Seperti disebutkan oleh Anugrah Pambudi Wicaksono yang menggawangi Festival Film Disabilitas tahun 2013-2016, isu film lokal sebenarnya berlawanan dengan isu mainstream yang diproduksi oleh rumah produksi besar yang kini memenangkan pasar.

“Saya iseng cari film lokal di Google, (yang muncul paling banyak adalah film horor) jadi film lokal yang dimaksud adalah yang orientasinya pasar. (Sebenarnya) film lokal adalah film-film yang mengangkat isu keseharian. Jadi lokal itu juga lokus atau tempat, isunya juga isu yang berlawanan dengan isu mainstream. Jadi ketika kita menyelenggarakan festival film disabilitas kami sangat mempertimbangkan isu. Karena memang kalau festival film disabilitas di-setting sebagai film yang berbeda,” sebutnya saat menjadi pembicara Kaliurang Festival Hub pada 7 Juli 2023.

Hal senada disampaikan pula oleh Ade Hidayat, Direktur Festival Aruh Film Kalimantan (AFK) yang kini membangun ekosistem film di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya mulai dari produksi, kurasi, hingga memamerkan film-film dari Kalimantan

“Ekosistem film sederhananya ada yang memproduksi film ada yang mengkonsumsi film (kegiatan AFK). Sementara film lokal itu soal isu, di Aruh Film Kalimantan tiga tahun pertama konsentrasinya kita pada film-film dari provinsi Kalimantan, produksi, kemudian dikumpulin lalu kita pamerkan,”  ujar Ade pada momen yang sama.

Selain itu, fakta lain terkait film horor di Indonesia adalah seringnya tokoh perempuan menjadi objek eksploitasi. Tercatat film KKN di Desa Penari tembus 10 juta lebih penonton dan dinobatkan sebagai film terlaris sepanjang sejarah di Indonesia. Hantu Badarawuhi adalah sosok perempuan yang memenangkan rasa penasaran penonton se-Indonesia.

Sementara pasca reformasi beberapa film horor seperti Kuntilanak (2006), Suster Ngesot the Movie (2007) secara dominan menampilkan hantu perempuan sebagai antagonis. Artinya ada ketimpangan representasi perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam sejarah film horor di Indonesia, ditambah kerasnya budaya patriarki dan misogini.

Dari 559 film horor Indonesia yang terbit selama periode 1970-2019 menunjukkan bahwa perempuan sangat dominan direpresentasikan sebagai hantu dan karakter utama. Setidaknya 60,47 persen atau 338 film horor sosok hantu diperankan oleh perempuan, sementara 24,15 persen atau sekitar 135 film horor pemeran hantunya adalah laki-laki.

Sisanya film horor yang menampilkan posisi peran berimbang hantu laki-laki dan perempuan hanya 15,38 persen atau 86 film saja.  (Selengkapnya baca: Film Horor Paling Laris di Indonesia, Kenapa Hantunya Rata-rata Perempuan?)

Pambudi mengamini jika ingin memenangkan pasar memang cara tersebut paling efektif.

“Film horor didominasi oleh hantu perempuan: bayi, muda, tua mewakili semua. Perempuan dan minoritas itu paling juara, seksi banget untuk dijual. Jadi kalau kamu mau dapat banyak duit gunakan difabel, perempuan, anak, orangtua untuk jadi objekmu. Tapi di mana nuranimu? Bagaimana film lokal itu sekarang mau kembali ke pasar atau mau kembali ke akarnya kita,” ungkap Pambudi.

Tujuan diproduksinya film-film lokal dalam festival adalah melawan isu mainstream, jika Festival Film Difabel yang digawangi Pambudi 2013 silam bertujuan mengadvokasi isu-isu difabel, Aruh Film Kalimantan juga demikian.

Ade Hidayat bercerita mirisnya tinggal di Kalimantan yang terus menerus ikhlas menerima tentang stereotipe negatif yang terus dilanggengkan. Sehingga produksi Aruh Film Kalimantan adalah bentuk perlawanan dari para seniman melalui karya.

“Narasi besar yang melekat pada Kalimantan itu cenderung negatif. Saya kemarin pernah survei, saya menyebutkan kata Kalimantan terhadap teman-teman luar daerah yang disebutkan itu aneh-aneh. Kalau saya sebutkan kata Kalimantan apa yang muncul di benakmu? Mistis, hutan, tambang, mandau terbang apalah macem-macem. Ini kok negatif semua, ternyata ketika bertemu dengan teman-teman seniman lainnya ternyata narasi itu memang dibikin oleh sebut saja oknum. Oknum ini semacam sesuatu yang besar, sebut saja mafia yang mereka tidak mau terlibat banyak, SDA kita itu benar-benar harta di sana buat mereka, dan dia tidak mau diganggu. Maka narasi-narasi besar ini selalu dibikin oleh mereka. Nah sebagai seniman kita bisa melawannya hanya dengan karya, dan banyak sekali keinginan kami melahirkan film-film yang memang berani untuk menembus itu,” jelas Ade.

Isu sosial tentu banyak disoroti pada film lokal yang telah dikurasi oleh Aruh Film Kalimantan. Salah satu isu yang disoroti terkait dengan isu lingkungan hingga tambang yang tidak berpihak pada masyarakat lokal. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak. Namun kini, geliat film lokal cukup gencar dilakukan, salah satu ruang baru yang digagas oleh Laaboratorium Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yakni “Kaliurang Festival Hub” yang menjadi ruang dengan wajah baru yang diharapkan mempertemukan ide, kolaborasi, hingga momen apresiasi dalam ekosistem film.

“Makanya festival seperti Kaliurang Festival Hub, Festival Aruh Film Kalimantan penting untuk digemakan. Dari bawah kita menerobos lokalitas macam apa yang mau kita bentuk problem perebutan makna juga. Potret realitas kita seperti itu, jadi kepala kita belum melokal kepala kita mengglobal, sukanya horor,” tandasnya.

Sebenarnya Kaliurang Festival Hub bukanlah festival yang melulu soal kompetisi film. Dr. Zaki Habibi selaku Festival Hub Programmer menyebutkan bahwa program ini merupakan ruang untuk berjejaring dan momen apresiasi dalam ekosistem film.

“Program ini menyediakan ruang dan platform bagi berbagai festival film. Hub dalam konteks ini artinya mempertemukan, perjumpaan ide, hingga kolaborasi. Selanjutnya Kaliurang Festival Hub menjadi bertemunya momen kreasi dan momen apresiasi dalam ekosistem film secara luas secara berkala melalui dua bentuk kegiatan utama, yakni pemutaran karya-karya film terkurasi dan diskusi dengan pengelola festival maupun undangan relevan lainnya dari setiap festival film,” ungkapnya membuka Movie Talk pada 7 Juli 2023.

 

Penulis: Meigitaria Sanita

Film horor paling laris di Indonesia
Reading Time: 3 minutes

Data menunjukkan jika genre film di Indonesia yang paling laris adalah film horor. Namun, menariknya rata-rata semua hantu dalam film horor selalu diwakili oleh perempuan. Kenapa demikian? Simak fakta dan data berikut ini.  

Tahun 2022 lalu film horor yang berjudul “KKN di Desa Penari” dinobatkan sebagai film terlaris sepanjang masa di Indonesia karena berhasil ditonton oleh 9,2 juta penonton. Hantu perempuan yang menjelma sebagai Badarawuhi menjadi ikon seramnya film “KKN di Desa Penari”.  

Lanjut lagi, menilik ke belakang tahun 2018 berdasarkan data yang dihimpun oleh Databoks Katadata, dari 13 judul film terlaris tahun 2018, 6 di antaranya ditempati oleh film bergenre horor. Deretan enam judul film bergenre horor tersebut cukup memikat pemirsa layar lebar dan meraih jumlah penonton lebih dari 1 juta.  

Enam film tersebut di antaranya Suzzanna: Bernafas dalam Kubur lebih dari 1 juta penonton, Sebelum Iblis Menjemput 1,1 juta penonton, Kuntilanak 1,24 juta penonton, Jailangkung 2 1,5 juta penonton, Asih 1,7 juta penonton, serta Danur 2: Maddah 2,6 juta penonton.  

Artinya masyarakat Indonesia memang gemar menonton film bergenre horor alasan praktisnya, “Daya tarik film-film horor itu terkait erat dengan jiwa orang Indonesia dan umumnya melekat pada budaya Timur yang dianggap identik dengan mistisisme dan kejadian makhluk supernatural dan peristiwa-peristiwa mistik”. (Jurnal ProTVF, Volume 4, No. 1, 2020)  

Lantas kenapa hantunya harus perempuan? Dari deretan film yang telah disebutkan di atas bisa dikatakan seluruhnya menampilkan hantu perempuan demi menyukseskan alur cerita. Apakah perempuan memang diidentikkan dengan hal mistis penuh keseraman?  

Kenapa perempuan selalu menjadi objek hantu?  

Menengok ke belakang ternyata film-film horor telah mengalami dinamika dari berbagai hal mulai dari narasi dan sinematografi. Narasi horor yang dibangun dari folklore (cerita rakyat atau budaya) beralih menjadi narasi urban legend (legenda urban atau kontemporer).  

Namun yang tak berubah adalah sosok perempuan sebagai perwujudan hantu dan menghantui dengan berbagai teror. Tercatat pasca reformasi beberapa film horor seperti Kuntilanak (2006), Suster Ngesot the Movie (2007) secara dominan menampilkan hantu perempuan sebagai antagonis.  

Artinya ada ketimpangan representasi perempuan dibandingkan dengan laki-laki dalam sejarah film horor di Indonesia, ditambah kerasnya budaya patriarki dan misogini.  

Melansir dari hasil riset Justito Adiprasetio dan Annisa Winda Larasati yang diterbitkan pada Juni 2022 lalu menampilkan data yang begitu kontras terkait pemilihan pemeran hantu di Indonesia.  

Dari 559 film horor Indonesia yang terbit selama periode 1970-2019 menunjukkan bahwa perempuan sangat dominan direpresentasikan sebagai hantu dan karakter utama. Setidaknya 60,47 persen atau 338 film horor sosok hantu diperankan oleh perempuan, sementara 24,15 persen atau sekitar 135 film horor pemeran hantunya adalah laki-laki.  

Sisanya film horor yang menampilkan posisi peran berimbang hantu laki-laki dan perempuan hanya 15,38 persen atau 86 film saja.  

Saat menonton film horor Indonesia tentu kita menyadari tiga hal yang tak mungkin terlewat yakni komedi, seks, dan religi. Teranyar, film KKN di Desa Penari juga menceritakan bagaimana perempuan berbuat ulah hingga terjadi kekacauan serta eksploitasi seksual. Sementara sosok Mbah Buyut (laki-laki) bertindak sebagai pihak yang menyadarkan, menyembuhkan, dan mengusir hantu. 

Perempuan yang menjadi hantu biasanya berawal dari ketidakadilan dari laki-laki, mereka bangkit membalas dendam. Namun narasi yang dibangun dari menuntut ketidakadilan berubah menjadi monster antagonis.  

“Film horor hampir selalu menampilkan paradoks atas sosok perempuan. Di satu sisi, mereka dikonstruksi sebagai korban, sedangkan di sisi lain, mereka punya sifat layaknya monster. Perempuan dalam film awalnya ditampilkan sebagai korban, lalu kemudian berubah menjadi hantu yang menampilkan sisi monster.” (Dominasi hantu perempuan dalam film horor Indonesia)  

Artinya ada justifikasi terhadap perempuan, perempuan dianggap “seharusnya” tidak boleh melawan agar diterima secara sosial, kultural, dan seksual. Femininitas dikonstruksikan sebagai hal mengganggu sistem, identitas, dan tatanan serta tidak taat pada posisi, batas, dan aturan yang ada. 

Lantas bagaimana agar peran ini menjadi adil bagi perempuan? Menyambut Hari Film Nasional (HFN) dirayakan setiap tahun, pada 30 Maret 2023 sesuai dengan tema HFN tahun ini yakni “Bercermin Pada Masa Lalu, Merencanakan Masa Depan”, perlu campur tangan perempuan dalam dunia film horor terutama dalam segi gagasan, ide, hingga produksi.  

Minimnya sutradara perempuan dalam produksi film horor disinyalir membuat kuatnya budaya patriarki dan misogini. Tentunya industri film horor Indonesia sangat membutuhkan perspektif perempuan di tengah dominasi sutradara laki-laki. Hal ini diperlukan demi meningkatkan kualitas film di Indonesia serta ajang refleksi ekosistem industri perfilman. 

 

Penulis: Meigitaria Sanita