Ratusan mahasiswa gabungan dari seluruh DIY menyemut di depan Auditorium Lantai 2 Gedung Perpustakaan UII pada 28 September 2019. Mereka juga beberapa adalah aktivis lembaga pers mahasiswa, komunitas jurnalistik, dan banyak juga yang juga adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi. Tak hanya mahasiswa, ada juga dosen dan staf tenaga pendidikan yang ikut kegiatan ini. Semua terlihat antusias karena juga ramai bawa laptop untuk mengikuti materi. Acara ini adalah kerja bareng Prodi Ilmu Komunikasi FPSB UII dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang juga didukung Google News Initiative dan Internews.
Kegiatan berjudul “Halfday Factchecking” ini difasilitasi oleh dua trainer bersertifikasi Google yaitu Rini Yustiningsih dan Agung Purwandono. Kegiatan ini juga dihelat menjelang hari hak informasi internasional pada 28 September. Fokus dari pelatihan ini adalah mengasah keterampilan masyarakat umum, komunitas, akademisi kampus, jurnalis mahasiswa untuk memanfaatkan sejumlah tools di internet guna melakukan verifikasi online yang banyak beredar di dunia maya.
Pemateri, Rini Yustiningsih, dari Solo Pos, dan Agung Purwandono dari KR.com menunjukkan beberapa slide presentasi soal contoh-contoh hoax. pertama, yang harus dipahami sebelum mengecek fakta adalah mengerti dan memahami beda antara Misinformasi dan Disinformasi. Misinformasi berarti konten yang salah namun dipercaya oleh penyebarnya. Sedangkan sebaliknya, Disinformasi adalah konten yang salah, dan penyebarnya mengetahuinya salah, tetapi tetap sengaja disebarkan.
Kata Rini, Ada 7 Macam konten misinformasi. Misalnya, contoh misinformasi yang misleading atau dihubung-hubungkan. Peristiwa berbeda, namun konteksnya dihubungkan dengan konteks atau asumsi yang lain. Rini menyontohkan berita gempa di kabupaten di Indonesia dengan ditambahi “Di lokasi ini gempa 6,5 SR pasca dikunjungi Jokowi Masyaaalah” katanya. Tidak ada hubungan langsung kunjungan jokowi dengan terjadinya Gempa. Ada juga contoh konten-konten informasi tidak logis tapi dipercaya karena agama, kepercayaan tertentu. Rini dan Agung menyontohkan gambar sebuah akun facebook menunjukkan gambar bayi tersenyum dan ditambahkan, “Bayi ini tersenyum ketika lahir karena lolos dari keganasan ibunya yang ingin menggugurkan dia.”
Namun adakah alasan di balik konten misinfomasi dan disinformasi? Pertama, ini akibat kualitas jurnalisme yang lemah, kata Agung yang juga. Seringkali jurnalis (dan tentu saja media massa) lebih mementingkan keuntungan dan klik ketimbang kualitas. Esensi jurnalisme dilupakan demi profit. Kedua, konten mis dan disinformasi bisa terjadi juga sering untuk menciptakan suasana yang kata Agung, “lucu-lucuan.” Beberapa kreator konten juga membuat konten yang ambigu seperti itu untuk kepentingan cari duit. Selanjutnya, kata Agung, dan ini belakangan marak dan ramai saat momen pemilu lalu yaitu alasan, “gerakan politik. Tentu saja alasan konten menjadi mis dan disinformasi juga karena konten dibuat dengan cara umpan klik (clickbait). konten umpan klik macam ini mengorbankan akurasi, kualitas, dan kebenaran sehingga meningkatkan jumlah penghasilan dari klik dan traffic pada laman.
Tips Untuk Lawan Hoax
Agung memberikan tips untuk melawan hoax, misinformasi, dan disinformasi. Pertama, jangan langsung percaya dan share. Jika temukan hoax, lawan. Kamu juga harus skeptis (curiga), cek, dan ricek. Jika menemukan konten yang disinformasi dan misinformasi jangan diam. Lakukan hal berikut, kata Agung. Cek alamat situs, misal cek alamat situs di situs domainbigdata.com. “masukkan alamat situs ke web domainbigdata itu. nanti akan terlihat mana website yang kredibel dan terbuka, mana yang mencurigakan,” kata Agung. Coba bandingkan kompas.com dan beritaterheboh.com masukkan ke domainbigdata.com, katanya lagi untuk menguji.
Agung juga bilang, kita sebaiknya cek detail visual. Seringkali ditulis kejadian di Jogja, tapi setelah ditelisik detil visualnya menunjukkan bangunan bukan jogja. Hati-hati juga banyak juga tulisan yang meniru berita asli. Cek “about us” atau menu “redaksi”. Jika penerbit, redaksi website tertera jelas, alamat jelas, dan terpercaya, tentu konten kemungkinan bisa dipercaya dan kredibel. “Sesuai UU Pers harus jelas dan nama penanggungjawabnya,” kata Agung. Selain itu, web berita sebaiknya mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber dalam lamannya.
Selain mengecek fakta dan hoax, peserta diminta untuk selalu higienis dalam dunia dijital. Materi “Digital Hygiene” yang juga jadi penutup sesi menyarankan kita untuk selalu mengganti password (kata kunci) pada surat elektronik, aplikasi, dan semua yang terhubung dalam dunia digital. Jikapun tidak, pakai kata kunci yang kuat dan tidak mudah ditebak. Agung dan Rini menyarankan peserta mencoba masukkan password di website tes kekuatan password di howsecureismypassword.net. Peserta juga diminta memasukkan alamat email di situs haveibeenpwneed.com untuk mengetahui sudah pernahkah email dibobol. Jika sudah pernah, baiknya tindakan proteksi segera dilakukan: kuatkan password, hindari mengakses email di komputer publik, dan lain sebagainya.