Tag Archive for: Buruh migran

Reading Time: 4 minutes

Seperti apa film yang mengangkat problematika TKI di daerah indonesia bagian timur? Bagaimana film soal TKI digarap oleh kru yang sama sekali belum pernah pegang kamera dan nonton bioskop?

Muhammad Heri Fadli, sineas muda asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang pernah menimba ilmu di Prodi Ilmu Komunikasi UII, ini punya inisiatif bikin film soal keseharian di kampungnya: bekerja ke luar negeri jadi TKI. Ada yang legal, ada yang ilegal. Ia mengangkatnya dalam sebuah film dokumenter bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama.

Kamis, 25 Februari 2021, Heri diundang dalam diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim, Prodi Ilmu Komunikasi UII. Diskusi bulanan ini diselenggarakan dengan aplikasi Zoom dan disiarkan langsung di saluran resmi Komunikasi UII di Youtube: Uniicoms TV.

PSDMA Nadim Komunikasi UII adalah pusat studi yang menaruh fokus kajiannya pada upaya, sumber pengetahuan, dan medium alternatif. Sejak didirikan pada 2008, Nadim berupaya menjadi pengelola pengetahuan dan center of excellence dari beragam koleksi dan studi pelbagai sumber dan mengemasulangnya menjadi pengetahuan baru. Nama Nadim terinspirasi dari Ilmuwan cum pustakawan muslim bernama Ibn Al Nadim sebagai orang pertama di dunia yang melakukan proses dokumentasi, koleksi, dan temukenali pengetahuan pada 14 abad yang lalu.

Profesi Ibn Al Nadim inilah yang pada masa sekarang disebut sebagai ilmuwan cum pustakawan, bibliografer, atau bahkan lebih dari itu, sebagai pusat penelitian dan pengembangan: Knowledge Manager. Ibn Al Nadim membuat katalog pertama di dunia yang diberi judul Al Fihrist. Sebuah magnum opus dalam sejarah pengetahuan umat manusia. Kitab ini, menurut catatan sejarah, berisi katalog sekira 10 ribu koleksi dari 2000 penulis di era pertengahan islam.

Proses Kreatif Produksi Film Jamal

Alumni Ilmu Komunikasi UII ini mengatakan, film Sepiring Bersama digarap selama empat hari. Meski lamanya persiapan produksi justru melebihi masa produksi film, Heri justru mengapresiasi proses ini. Pasalnya semua kru filmnya adalah tetangga dan keluarga dekat yang sama sekali belum pernah terlibat produksi film. “Bahkan nonton bioskop saja belum pernah, tapi semangatnya itu besar sekali. Saya belum pernah menemui semangat besar mereka ini selama saya produksi film,” katanya.

Beberapa hal juga patut dijadikan pembelajaran bagi mahasiswa Komunikasi UII soal hal-hal tak terduga yang terjadi pada saat produksi film Jamal dan beberapa film lain yang digarapnya. Diskusi yang dipandu oleh Risky Wahyudi, ini membahas kepulangan para TKI dalam kondisi sudah tidak bernyawa dan produksi film Jamal yang tidak berjalan mudah.

Jamal merupakan film yang mengangkat permasalahan pemulangan TKI ke Lombok dalam keadaan tak bernyawa. Angka kepulangan terus meningkat sejak 2019 hingga 2021.

Pertanyaan yang mungkin akan muncul adalah siapa Jamal? Jamal merupakan gabungan suku kata yaitu “Janda Malaysia” atau bisa disebut sebagai wanita yang ditinggalkan oleh suaminya merantau ke negeri Jiran.

Film Jamal terlahir dari kisah yang melekat di tempat Heri tinggal dan menjadi sebuah keresahan tersendiri buatnya. Untuk mengungkap permasalahan ini, Heri merasa harus membuat sebuah film terkait problematika tersebut.

Film Jamal menggunakan bahasa Sasak di keseluruhan film. Bahasa sasak merupakan bahasa utama yang digunakan di Pulau Lombok. Alur cerita Jamal yang minim dialog namun memiliki isyarat yang kuat dari para pemeran Jamal  membuat film ini tetap mampu menyampaikan perasaan nestapa yang terjadi pada film tersebut kepada penonton, tanpa harus mengerti bahasa sasak.

Produksi film Jamal ini menggunakan kru yang merupakan orang terdekat Heri di Lombok. Mayoritas kru film ini merupakan orang-orang yang ditinggalkan anggota keluarga mereka merantau menjadi TKI. Heri mengungkapkan bahwa para kru ini minim akan pengetahuan produksi film. Bermodal semangat yang tinggi, para kru merasa bahwa problematika TKI dalam film ini adalah hal penting yang harus dituntaskan dan dipublikasikan secara luas.

Tak hanya Jamal, film sebelumnya, Sepiring Bersama juga bercerita tentang TKI. Bedanya, jika Jamal masuk dalam pemutaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) pada 2020, Sepiring Bersama lebih dulu masuk JAFF pada 2018. Setelah pemutaran Sepiring Bersama, Heri melanjutkan bahwa dia mendapatkan sebuah serangan ataupun ancaman setelah pemuturan film Sepiring Bersama, film tentang TKI juga, milik Heri. Ancaman tersebut dari seorang pengantar pesan yang belakangan mengaku dari orang petinggi di NTB. Pesan tersebut berisi untuk Heri agar tidak sembarang memutar film Sepiring Bersama. Sepiring Bersama dianggap sebagai film yang menunjukkan cacatnya provinsi Nusa Tenggara Barat.

Harapan di Balik Proses Kreatif

Heri mengatakan, ada sekira 14 trilyun pemasukan dari BMI masuk menjadi pendapatan daerah NTB. Jumlah itu tidak terhitung sebagai sumbangsih Buruh Migran Indonesia (BMI) yang begitu besar. “Tapi saya pengin ayo kita pikirkan bareng-bareng, di atas sumbangsih mereka ini, tolong kasih jaminan untuk anak-anak mereka. Minimal jaminan pendidikan,” harap Heri pada saat diskusi dengan dipandu Risky Wahyudi, moderator sekaligus Dosen Ilmu Komunikasi UII.

“Karena saya bukan pengin mereka berhenti bekerja di luar negeri, setidaknya, ada keterampilan mumpuni yang mereka bawa di sana. Saya ingin mereka yang kerja di luar negeri ini membawa sesuatu,” katanya menjelaskan.

Heri bilang, kebanyakan TKI dari Lombok yang bekerja di Malaysia jadi kuli panggul sawit, tukang bangunan, yang notabene itu bisa mereka lakukan di rumahnya, di Lombok. “Sama saya berharap semua pihak tidak terkecuali di NTB atau di luar, dengan cara berdiskusi seperti ini, setidaknya ada pandangan baru dan solusi. Tidak hanya di NTB,tapi juga di daerah lain. Di jawa barat. Istri-istri ini jangan lagi disebut sebagai jamal. Karena itu rasanya seperti pelecehan. Dilabeli jamal padahal suaminya masih ada di Malaysia,” katanya.

Padahal, menurut Heri, mereka ini pasangan berani mengorbankan kebersamaan untuk menghidupi anak-anaknya. “Saya berharap semua pihak yang makan dari pengiriman BMI ilegal ini sadar diri, jangan sembarangan kita kirim orang ke luar negeri untuk bekerja,” katanya kemudian, sembari menilai banyak TKI berangkat kerja dengan hanya modal nekat.

————————————————

Penulis: Muhammad Malik Hamka Sukarman (Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014, Magang di PSDMA Nadim, Komunikasi UII) dan A. Pambudi W.

Reading Time: 3 minutes

Bagaimana riset praproduksi film bisa membuat filmmaker menemukan banyak fakta yang mencengkan? Apa saja temuan sineas ini ketika menelisik lika-liku wajah TKI di tanah kelahirannya itu?

Pada 2019,Muhammad Heri Fadli, mulai menjejaki beragam dokumen dan data. Pasalnya, ia ingin memahami lanskap dunia buruh migran dan lika-likunya. Meski ia sehari-hari, bahkan sejak kecil, hidup di lingkungan terbanyak pengirim buruh migram ke Malaysia, tapi itu tak membuatnya urung membaca puluhan bahkan ratusan angka soal TKI dari Lombok. Beginilah temuan Heri ketika melakukan riset praproduksi filmnya bertajuk Jamal dan Sepiring Bersama. Film-film itu bercerita tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lombok, tempat lahirnya.

Heri hadir pada kesempatan diskusi bulanan Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim pada Kamis (25/2) di awal 2021 ini. Sebagai alumni Komunikasi UII, ia berbagi dan menceritakan fakta dan temuan mengagetkannya, bahkan mengesalkan untuk bahan produksi filmnya. Tak hanya itu, ia juga ceritakan bagaimana proses kerja produksi filmnya itu . Uniicoms TV menyiarkan secara Live diskusi ini yang rutin digelar PSDM Nadim Komunikasi UII.

Heri menceritakan bagaimana persoalan TKI di Lombok begitu pelik hingga sulit ditangani oleh pemerintah. Heri heran setelah mengetahui rumitnya penyelesaian soal migrasi tenaga kerja ini terutama di Lombok. Ia menyitir beberapa temuan data dari riset awalnya sebelum membuat film. Misalnya, jumlah pemulangan TKI NTB pada 2019 mencapai 766 orang. Tiga kabupaten di NTB bahkan masuk dalam 10 besar penyumbang Buruh Migran Indonesia/BMI di Indonesia.

Fakta dan Lumbung  Segala Masalah

Kabupaten Lombok Timur adalah kabupaten tertinggi, di Indonesia khususnya, sebagai penyumbang TKI dengan jumlah 28 ribu TKI per tahun. Lalu menyusul Lombok Tengah sebesar 16 ribu per tahun. Di urutan ketiga baru Lombok Barat masuk daftar.

Data-data ini membuatnya kaget becampur heran. Seketika lalu memantiknya memiliki ide membuat film soal ini. Menurut Heri dan produsernya, Ida Bagus, “inilah lumbung semua masalah di NTB. Mulai dari stunting, begal, angka putus sekolah, kemiskinan,” katanya.

Pada gilirannya Heri menemukan data lain yang juga membuat tercengang. “Akhirnya saya menemukan sejumlah 73 jenazah BMI dipulangkan pada 2019,” katanya. “Namun ketika saya ke bandara, justru saya menemukan tiap hari ada saja jenazah yang dipulangkan. Itu yang ilegal. Mereka tidak masuk di data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) pada 2019,” sambungnya.

Menurutnya, ketika melihat fakta ini, ia tak bisa tinggal diam. “Angka-angka ini yang bikin saya merasa ini benar nggak sih kalau saya diam saja?” Batinnya berkecamuk kemudian.

Heri menambahkan sederet data lagi yang membuatnya geram. “Ada satu fakta yang buat saya kesal. Lombok Tengah ini selalu dapat juara satu untuk penanganan BMI. Namun di sisi lain, dapat nomor satu pengiriman BMI ilegal,” keluhnya sembari heran.

Ada satu kebiasaan masyarakat yang mengakar di masyarakat, kata Heri. Orang-orang yang tidak bisa berangkat lewat Lombok Tengah, maka dia berangkat melalui pintu Lombok Timur. “Orang lombok ini nekat-nekat. Tanpa modal skill mereka berani berangkat ke Malaysia. Di keberangkatan kedua, mereka melancong, tinggal di hutan. Jarang ke kota,”kata Heri. “Sampai-sampai mereka kalau sakit, nggak ke pelayanan kesehatan. Jadi diurus teman-temannya,” tambahnya.

Catatan kasus para TKI ini juga banyak sekali. Ketika Heri bertemu dengan Kepala BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) Mataram, pemda urusan TKI ini mengatakan bahwa ia sudah kerepotan bagaimana menangani orang yang berangkat menjadi BMI. “Ada satu fakta pada 2019 saat Suriah sedang konflik, ada tiga orang lombok dikirim ke sana,“ kata Heri menirukan kata Kepala BP3TKI itu. “Duta Besar RI di sana bilang, kenapa kok Lombok malah kirim ke sini. Saat dicek di Lombok sini keberangkatan mereka juga tak tercatat,” imbuh Heri.

Heri menuturkan, banyak kisah-kisah aneh juga yang ia dapatkan. Banyak orang yang nggak punya keterampilan dan pengalaman. “Mereka cuma diantar ke pulau-pulau sekitar. Seperti Sumbawa, Gili, dan lain-lain. Lalu uang mereka bagaimana? Mereka sudah nggak tau, udah dimakan penyalur jasa. Ini ternyata sudah berlangsung sejak 1980an,” tuturnya.

Tren dan Perubahan Sosial Keluarga TKI

Risky Wahyudi, moderator diskusi kali ini, mencoba memerdalam kajian ini dengan bertanya tentang tren sosial yang berkembang di Lombok beberapa tahun terakhir. Secara historis, kata Heri Fadli yang juga lahir di Lombok, mengungkapkan, tren berangkat ke menjadi TKI di Malaysia sudah menjadi hal biasa. Misalnya pada 2000an, anak muda semua berangkat ke Malaysia,” kata Heri menjawab pertanyaan Risky. “Termasuk di sebelah kampung saya, itu berangkat semua.”

Namun, seiring waktu, semuanya akhirnya lambat laun berubah. Meskipun tak semua kampung. “Sekarang misalnya, dari sekira 60an anak muda, hanya 4 yang berangkat malaysia, sisanya sudah mulai menjalani tren kuliah, sarjana dan bahkan, master. Kalau di kampung saya alhamdulillah sekarang sudah berubah trennya,” katanya menjelaskan.

Pada zaman dulu juga, pada era 1980an sampai 2000an, menurut tuturan Heri, paradigma dan tren masih tidak seperti sekarang. Orang dianggap sukses kalau anaknya bisa kirim uang banyak. Maka TKI jadi pilihan. Belakangan tren itu mulai berubah. Yang dulunya orang sarjana tidak dianggap, karena tak kirim uang banyak, tapi akhirnya berangsur-angsur kini mulai berbondong-bondong anak muda berkuliah. “Ada yang di Jogja seperti saya, Malang, Semarang, Bandung, dan lain-lain.”

Meski begitu, di kampung sebelah rumah tinggalnya, masih saja ada yang merasa penting mencari nafkah di Malaysia, kata Heri. Sampai-sampai di daerahnya, orang sudah merasa seakan Malaysia bukan luar negeri. Cuma seperti tempat melancong imbuhnya.