#NgajiEkopol Sejarah Media Penyiaran Indonesia dalam Perspektif Ekonomi Politik Media
Hasil Disertasi Dr. rer. Soc, Masduki, MA, salah satu dosen senior di Komunikasi UII, tak henti-hentinya didiskusikan dan dibedah dalam beberapa kesempatan diskusi online. Pada bulan Ramadan ini pun, diskusi tentang penyiaran publik kembali hadir mengisi waktu paska tarawih pada Senin, 3 Mei 2021.
Menariknya, diskusi kali ini digagas secara kolaboratif oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Bertepatan dengan bulan Ramadan, temanyapun adalah Kelas Alternatif: Ngaji Ekopol Media yang akan dilakukan sebanyak 7 pertemuan. Di kesempatan keempat ini, diskusinya adalah kuliah tamu mengusung Sejarah Media Penyiaran Indonesia Dalam Perspektif Ekonomi politik Media dengan Masduki sebagai pembicara tamu. 50 partisipan mengikuti sesi ini.
Masduki mengatakan kemungkinan kalau orang Indonesia pasti bakal protes dan bertanya-tanya, “Ngapain riset tentang media penyiaran publik kita RRI TVRI yang secara market mengalami decline?” dari survey Nielson saja media penyiaran publik ini hanya medapatkan 2 sampai 2.5 poin. “Ini juga juga dipertanyatakan supervisor saya?” kata Masduki menceritakan pengalamannya memulai disertasi ini di Jerman.
Mengapa Topik Disertasi Penyiaran Publik Menarik?
“Saya tidak sedang meneliti sebuat institusi. Kita membicarakan sejarah lembaga penyiaran dalam konfigurasi politik yang sedang berubah di Indonesia. Sebuah lembanga penyiaran di sebuah bangsa yang sedang berubah, dan mengalami dinamika politik yang tidak stabil,” jawab Masduki kemudian.
Ketika bicara sejarah, pasti kita akan membayangkan kronologi tanggal dan bulan tertentu terjadinya peristiwa penting sejarah. Setidaknya begitu yang ada di benak kita ketika mendengar sejarah. Seperti bagaimana kita belajar sejarah di sekolah dulu. “Tidak seperti itu. Kita bisa saja cari di blog atau website tertentu selesai,” ungkap Masduki. “Melihat sejarah tidak melulu harus kronologis, tetapi memotret beberapa momentum penting sejarah lalu dilihat dalam dimensi yang lebih makro,” ujar Masduki.
Lalu Masduki memberikan gambaran salah satu chapter disertasinya dan buku yang membantunya dalam proses risetnya melihat gambaran penyiaran publik di negara-negara dunia ketiga. Ketika memulai chapter Sejarah Media Penyiaran Dunia Ketiga, Masduki menemukan sebuah Buku berjudul “Broadcasting in the Third World: Promise and Performing” oleh Elibu Katz (guru Besar University di Israel, dan Geoge Wedell.
“Buku ini menarik. Berisi tentang strategi orientasi dan performa konten media penyiaran 11 negara dunia ketiga termasuk Indonesia di tahun 70an, lalu di-compare dengan dunia pertama,” jelas Masduki.
Buku tersebut membantu Masduki dalam melihat fase sejarah media penyiaran Indonesia pada tahun 70an yang sangat kental dengan tiga hal. “Lintasan sejarah penyiaran di dunia ketiga, yang selalu menjadi platform penyiaran adalah, yang pertama, harus mendorong integrasi nasional.” Jelas Masduki yang kemudian menjadi tidak heran jika slogan RRI atau TVRI tidak jauh-jauh dari kata pemersatu bangsa atau media publik milik bangsa. “Yang seperti ini tidak ditemukan di negara dunia pertama.”
Yang kedua adalah Media menjadi corong pembangunan ekonomi dan sosial. Masduki meriwayatkan bahwa di Tahun 70 Peraturan Pemerintah nomor 55, PP pertama tentang penyiaran Indonesia yang isinya secara spesifik mematikan siaran politik di media komersial. Dan RRI menjadi corong pemerintah menyiarkan pembangunan, dan swasta disetir oleh pemerintah. Pada era Suharto inilah mendapatkan citra sebagai agent of socio-economic development.
Tujuan terakhir adalah perubahan dan kesinambungan budaya. Budaya menjadi yang utama dalam siaran saat itu. “Dan ini menjadi cenderung apolitis. Dan ini masih kita temukan sekali lagi sekarang,” ujar Masduki mengajak peserta untuk melihat dan mengenali penyiaran publik Indonesia yang masih didominasi oleh konten budaya alih-alih produk jurnalismenya yang kritis. “Pendek kata, menurut saya, walaupun ini dilakuka di 11 negara, kalau kita lihat, tiga hal ini masih menjadi warna paltform penyiaran kita,” simpul Masduki.
Ditarik mundur lagi di masa kepemimpinan Soekarno, menjelaskan berkembangnya ikon modernisasi dan simbol kemajuan pembangunan fisik di era sukarno. Jadi secara politik, penyiaran di indonesia bukan dibangun untuk mengakomodasi hak politik warga negara, melainkan tujuan politis alih-alih kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi. Sedangkan media penyiaran Publik pada masa paska reformasi penyiaran ia ibaratkan seperti, “By Law (secara hukum) penyiaran publik dilihat sebagai hal yang mencerdaskan kehidupan bangsa, namun faktanya lebih pada menyiarkan kebudayaan,” kata Masduki.