Sejarah Komunikasi: Sumbangan Pers Mahasiswa
Pers Mahasiswa pasca 1998 mengalami kebingungan, bahkan hingga sekarang belum selesai. Begiru yang diungkapkan wisnu Praseryo Utomo, Dosen Fisipol UGM, dalam diskusi Forum Amir Effendi Siregar (5/9) yang dilakukan oleh Pusat Studi dan Dokumentasi media Alternatif (PSDMA) NADIM Ilmu Komunikasi Univeritas Islam Indonesia.
Sebelum 1998 pers mahasiswa banyak memberikan sumbangsih sebagai media alternatif yang diperhitungkan di zaman orde baru dalam menyuarakan kepentingan publik.
Dimana pentingnya pers mahasiswa waktu itu? Amir Effendi Siregar, mengamini kata-kata Rosihan Anwar. Amir saat masih muda menulis dalam bukunya “Pers Mahasiswa: Patah Tumbuh Hilang Berganti”, bahwa pers Mahasiswa menyumbang keberanian.
Pada waktu itu pers umum atau pers mainstream takut memberitakan penyalahgunaan kekuasaan olwh Suharto dan rezimnya. Banyak koran dan media lainnya telah dibredel. Waktu itu Rosihan Anwar mengkritik Kompas karena pemberitaan gaya kepitingnya. Ia tak berani memberitakan kekuasaan dengan lugas, gaya penulisannya berputar karena cenderung cari aman.
Pada masa seperti itu pers mahasiswa seperti tak punya takut. Mereka, dengan bahasa yang lantang seperti tak memiliki rada takut. Meski bakal dibredel sekalipun. Mereka berani melabrak pakem jurnalistik, “bukan karena tak mamahami kaidah jurnalistik. Tetapi karena tak memiliki tendesi kepentingan politik maupun ekonomi,” jelas Wisnu. Halnini membuat persma tak gentar akan konsekuensi apapun selain menyuarakan kebenaran dan kepentingan publik.