Plagiarisme Semakin Susah Terdeteksi di Era Digital? Mahasiswa Wajib tahu Dampaknya
Menjadi bagian dari masyarakat digital tentu sangat dimudahkan dalam mengakses segala informasi hingga referensi berbagai materi. Saking mudahnya, kerap kali kita luput dari tindakan terlarang yakni plagiarisme.
Terlebih dalam institusi pendidikan, plagiarisme bisa jadi tak disadari oleh beberapa mahasiswa. Padahal, plagiarisme merupakan tindakan yang mengabaikan etika dan melanggar hukum.
Mengutip dari laman University of Oxford, plagiarisme merupakan tindakan mencuri atau menjiplak karya orang lain tanpa mencantumkan pencetus ide. Tindakan ini juga dianggap sebagai pelanggaran integritas akademik yang mencederai nilai kejujuran intelektual.
Meski tampak sepele dan jarang disadari, ternyata tindakan ini merupakan indikator bahwa pelaku dianggap gagal dalam menyelesaikan proses pembelajaran. Dalam komunitas mahasiswa di University of Oxford, meyakini sanksi sosial akan berlaku termasuk dalam masa depan karier.
Dalam laman resmi, pihaknya menyebut bahwa plagiarisme sama halnya dengan merendahkan standar institusi dan gelar yang dikeluarkan untuk pelaku.
Di Indonesia terdapat aturan yang jelas terkait plagiarisme. Berdasarkan peraturan yang dipublikasikan di laman BPK terkait Undang-undang (UU) No. 28 Tahun 2014 tentang Perlindungan Hak Cipta menyebut, perlindungan ini dilakukan dengan waktu yang relatif panjang sejalan dengan aturan yang berlaku di berbagai negara, dengan durasi tertentu selama pencipta masih hidup ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Penyelesaian atas tindak plagiarisme dapat dilakukan melalui proses mediasi, arbitrase, serta penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana. Mengenai peraturan tersebut selengkapnya dapat diakses melalui link berikut https://peraturan.bpk.go.id/Details/38690.
Jika kita mengintip laman resmi Direktori Putusan Mahkamah Agung, kasus plagiarisme dapat berujung pembayaran ganti rugi senilai ratusan juta bagi pelaku pelanggaran hak cipta.
Namun, di tengah-tengah percepatan digital dan pesatnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang memfasilitasi pembuatan artikel, hingga karya tulis ilmiah di ruang lingkup akademik nampaknya akan sedikit sulit menemukan karya yang original. Benarkah plagiarisme akan sulit terdeteksi?
Bahkan ada berbagai sistem dan aplikasi AI yang mampu memproduksi artikel ilmiah lengkap dengan sumber referensi. Hal ini tentu “mempermudah” seseorang tak terdeteksi melakukan pelanggaran.
Budaya di Prodi Ilmu Komunikasi UII
Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) telah menetapkan sistem yang cukup ketat bagi mahasiswa agar terhindar dari tindakan plagiat. Sebelum melakukan sidang pendadaran, mahasiswa wajib menyerahkan bukti lolos plagiarism checker yang dikelola oleh pihak Pusat Dokumentasi Media Alternatif (PDMA) Nadim.
Pengecekan dilakukan maksimal tiga kali dengan tingkat plagiarisme maksimal 20 persen. Jika melebihi batas yang ditetapkan, mahasiswa diminta untuk memperbaiki selama 1 bulan. Jika melebihi masa yang ditentukan, artinya skripsi yang telah digarap batal maju pendadaran dan ada kewajiban untuk mengulang.
“Maksimal 3 kali (cek plagiasi melalui sistem), maksimal tingkat plagiarisme 20 persen. Jika lebih dari ketentuan maka akan diberlakukan jeda selama satu bulan untuk melakukan perbaikan,” jelas Putri Asriyani selaku staf PDMA Nadim.
Meski demikian, Putri menyebut bahwa plagiarism checker belum mampu mendeteksi karya orisinal mahasiswa atau hasil dari AI karena cenderung rapi.
Namun, hal ini akan terindikasi oleh dosen penguji ketika melakukan sidang pendadaran. Hal ini diungkap oleh salah satu dosen Prodi Ilmu Komunikasi Puji Hariyanti, S.Sos., M.I.Kom,.
“Hal itu akan terdeteksi ketika langsung berhadapan, dari kata-kata dalam teks yang bagus dan rapi misalnya dalam membahas digital marketing begitu. Tapi ketika dia menjawab pertanyaan tak mampu menjelaskan dengan baik. Ya dosen akan tahu itu bukan hasil pekerjaanya,” tuturnya.
Ia juga menambahkan, keberadaan PDMA Nadim diharapkan mampu memberi ruang bagi mahasiswa dengan staf untuk saling berdiskusi. Staf sengaja dilibatkan dalam proses tersebut untuk mendukung tujuan menjaga integritas akademik.
“Fungsi PDMA Nadim juga memfasilitasi hal tersebut. Tak hanya itu, Nadim menjadi wadah dan tempat interaksi dan diskusi antara staf dan mahasiswa,” tambahnya.
Dampak Plagiarisme pada Individu dan Institusi
Akan ada konsekuensi bagi pelaku plagiarisme, berdasarkan artikel yang dimuat dalam media online Kumparan pada tahun 2018 dengan judul “4 Akademisi Tanah Air yang Terjerat Kasus Plagiarisme” disebutkan telah mencoreng nama institusi. Bahkan dalam artikel tersebut ada yang harus mundur dari jabatan akademisnya. Lantas apa dampak plagiarisme secara detail?
Mengutip dari The Law Dictionary, bagi mahasiswa yang melakukan plagiarisme biasanya akan mendapatkan peringatan, gagal mendapat nilai, hingga sanksi berat mengulang mata kuliah tersebut karena dianggap gagal. Bagi pelaku plagiarisme dengan kasus ekstrem bisa jadi akan diberhentikan oleh institusi.
Sementara bagi seorang profesional, yang dipertaruhkan jauh lebih tinggi mulai sanksi sosial hingga berakhirnya suatu karier. Hal ini akan menyulitkan pelaku untuk mendapat pekerjaan baru di bidang yang sama. Bahkan, kasus plagiarisme yang dilakukan profesional dapat dikenai tindakan hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Itulah beberapa hal yang perlu diketahui oleh mahasiswa tentang plagiarism. Meski akses informasi sangat mudah dan AI cukup memudahkan untuk di-copy paste, ada dampak sosial yang akan diterima. Bagaimana menurutmu, Comms?