Part 2 TeaTime: Mustadha’afun dalam Komunikasi profetik
“Mustada’afun atau orang terpinggirkan dalam Islam dimanifestasikan apa?” lontaran pertanyaan moderator ini mendapat jawaban yang menarik dan tak pendek. Lalu Holy memberikan satu gambaran konteks sosial masyarakat modern yang saat ini dengan banyaknya gedung dan mobil mewah berseliweran. “Cara paling gampang” kata Holy, “ kita bisa ngecek apakah ada tetangga yang masih kelaparan atau tidak, kekurangan atau tidak”.
Komunikasi profetik bukan cuma dakwah. “Dakwah juga komukasi profetik, cuma itu berada di dimensi prakmatis-normatif; tatacara ibadah. Kamu boleh gini, nggak boleh gitu.”
Tetapi dalam komunikasi profetik tidak mengeliminasi tata-cara ibadah yang frontal dalam penjelasan Holy tentang mewujudkan masyarakat yang adil. “Dalam praktek komunikasi profetik, kalau tidak bisa dengan cara halus dan disampaikan melalui tata cara normatif, kalau kiranya harus demo, ya demo.”
Mustada’afun pada jaman nabi MUhammad dulu biasanya dapat dilihat dari status sosial dan ekonomi, misalnya miskin dan budak. Jaman sekarang harus diteliti dulu. Misalnya, apakah pengemis itu masuk dalam kategori orang tertindas. “jaman sekarang ini memang ada yang pengemis sebagai ‘profesi’ dan bahkan lebih kaya dari dosen UII,” contoh Holy sambil bergurau.
Dalam keseharian mahasiswa misalnya, ada juga yang tertindas. Misalnya ditengah mahasiswa yang setelah kuliah ini punya akses untuk mendapatkan pekerjaan dari kampus dengan akreitasi A dan predikat unggul, tetapi ada juga yang kehilangan kesempatan karena kampusnya akreditasi C, padahal bisa jadi ketrampilannya lebih baik. Nah, ketika ada banyak yang berpeuang, ada sedikit tidak. Ini kan tertindas, tidak adil sistem penerimaan pekerjaannya.
Contoh kasus lain, Holy memberikan gambaran tentang seorang waria tua. “Waria itu untuk mendapatkan pekerjaan saja sulit. Di tengah masyarakat terkucilkan, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Waria saja yang muda tertindas, apalagi yang sudah tua yang secara fisik sudah lemah.” Holy tidak mengesampingkan soal kontroversi waria, “ini soal manusia yang tertindas. Mereka perlu dirangkul, bukan dikucilkan dan malah jadi rentan.”
“Waria itu untuk mendapatkan pekerjaan saja sulit. Di tengah masyarakat terkucilkan, apalagi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Waria saja yang muda tertindas, apalagi yang sudah tua yang secara fisik sudah lemah.”
-Holy Rafika Dhona-
Untuk menigkatkan sense dan mengenali apakah masih ada yang terntidas disekitar kita, perlu banyak membaca; membaca kondisi, membaca keadaan selain juga penting membaca buku. ”Harus dikembangkan sense bahwa ada masalah di sekitar kita, sesuatu itu tidak terjadi dengan sendirinya, everthing is constructed,” saran Holy pada mahasiswa yang ingin lebih peka terhadap situasi sosial di sekitar mereka.