P2A UII: Melihat dan Membuat Foto dengan Kacamata Feminin
Fotografi selama ini didominasi oleh laki-laki. Setiap kali melihat fotografer, baik di media cetak maupun online, pasti dihuni oleh sosok laki-laki. Jikapun melihat fotografer perempuan, hanya segelintir saja. Foto yang dihasilkan pun cenderung adalah pembingkaian yang lahir dari budaya patriarki. Fotografi femini lahir untuk menjadi kritik dan alternatif untuk menangkap foto yang melihat dari sisi feminin.
Panizza Allmark, Profesor of Visual and Cultural Studies from Edith Cowan University, Australia memaparkan hasil kajiannya tentang fotografi feminin dalam sebuah Webinar P2A Ice Cream 2021, International Course on Creative Media. Passage to Asean (P2A) tahun ini mengambil tema Inspiring the World with Creative Production. P2A Ice cream 2021 ini diprakarsai oleh Program Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia pada 16 November 2021. Selain UII, ada juga universitas lain yang menjadi Co-host, misalnya, Universiti Utara Malaysia (UUM) dan Duy Tan University Vietnam. Sedangkan beberapa mitra resmi antara lain juga adalah termasuk AIC (Academy International Cambodia), Unika Atma Jaya Jakarta, Binus University, Genetic Computer School Singapore, University of Economic and Law Vietnam, Vietnam National University, Svay Rieng University, Victoria University College, dan lain-lain.
Dalam presentasinya “Photographie feminine and documentary photography”, Allmark banyak menjelaskan apa itu fotografi feminine dan mengapa lahir perpektif ini dalam dunia fotografi. “Fotografi feminine adalah kritik representasi partiarki. Kamera bisanya ada di belakang laki-laki, dan merepresentasikan cara pandang laki-laki. Karena, selama ini sejarahnya didominasi laki-laki.”
Kamera yang merupakan alat tembak untuk membingkai foto kini bisa dilihat dari cara pandang feminin. Untuk menunjukkan seperti apa fotografi feminin, Allmark juga menampilkan foto-foto karyanya. Ia ingin menunjukan bahwa fotografi feminie tak sekadar fotografer yang secara fisik perempuan karena perempuan bisa saja memiliki cara pandang patriarki.
Beberapa foto yang dihadirkan oleh Allmark adalah fotostory yang menunjukan demo perempuan-perempuan dengan wajah trauma karena anaknya yang diambil oleh pemerintah otoriter. Mereka sedang berdemontrasi menuntut informasi dan anaknya kembali. Dalam salah satu foto itu terlihat dua orang perempuan yang hendak berpelukan ketika masih mengenakan atribut tulisan protes masih melingkar di pundak mereka saat demontrasi.
Ia ingin menunjukan bagaimana kondisi psikologis perempuan karena anaknya hilang dan ketika mereka saling menguatkan satu sama lain saat melakukan aksi protes.
Foto lainnya adalah foto yang berusaha untuk membingkai kembali foto yang diproduksi oleh patriarki. Ia mengambil foto secara acak dimanapun ia berada .
“Saya ingin menunjukan perpektif berbeda. Foto-foto ini berusaha tampil sebagai kritik terhadap foto-foto yang ada.”
Ada pula foto foto yang ditangkap oleh Panizza di Bangkok, yakni sebuah foto yang didalamnya memuat gambar seorang wanita yang berhasil meraih gelar akademik, bersamaan dengan gambar seorang wanita berpose vulgar dengan mengenakan pakaian dalam.
Dalam foto tersebut, Allmark melihat sebuah kontras oposisi biner dalam sebuah foto yang ia tangkap sendiri dengan kacamata feminin.