Ngaji Komunikasi: Fenomenologi Hikmah Pandemi Covid-19
Kematian itu hal yang pasti meskipun misterius. Dalam situasi wabah covid 19, kematian karena covid menjadi aib. Bahkan di beberapa wilayah ada yang tidak mau menerima jenazah mayat untuk dikuburkan di makam tersebut.
Ada juga warga yang merebut jenazah saudaranya karena tidak rela dimakamkan dengan prosesi sesuai protokol pemakaman covid-19. Bahkan ada fenomena kematian yang juga tragis. Seorang perempuan di Chicago Amerika Serikat yang dibunuh kekasihnya karena sesak napas. Setelah itu ia menembak mati dirinya karena takut akan stigma corona di masyarakat.
Prof. Dr. Deddy Mulyana, M.A mengatakan, dalam fenomena kematian karena covid 19 ini, terjadi konstruksi sosial bahwa mati karena covid 19 adalah aib. “Realitas sosial itu juga dipengaruhi oleh konstruksi sosial,” jelas Deddy dalam #NgajiKomunikasi bertema Fenomenologi Hikmah Pandemi Covid-19 pada (11/ 11).
Selain Deddy Mulyana, hadir juga Ridwan Hamid, Lc, M.P.I., M.A sebagai pembicara serta dimoderatori oleh Dr. Subhan Afifi, M.Si., Dosen Komunikasi UII klaster riset komunikasi strategis.
#NgajiKomunikasi yang diselenggarakan perdana oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, ini juga disiarkan secara langsung lewat saluran youtube Uniicoms TV.
Deddy Mulyana mengatakan kematian yang artinya adalah ditinggal oleh seseorang selamanya itu memang menyakitkan. “Apalagi dengan menyandang aib sebagai konsekuensi stigma sosial juga lebih menyakitkan,” imbuhnya.
Lalu apa itu fenomenologi?
“Fenomenologi adalah sebuah pemaknaan, dalam hal ini adalah pemaknaan kematian. Nah, untuk keluar dari kontruksi sosial, saran Edmund Husserl,” kata Deddy dalam Zoom Conference, “seseorang perlu untuk menelisik lagi soal hakikat realitasnya dengan menyingkirkan konsepsi dalam memaknai sesuatu.”
Menurutnya, hal saran ini memang muluk. “Karena Husserl ini tidak memberikan panduan praktis untuk melakukannya,” sanggah Mulyana.
Pemaknaan Fenomenologi merutut Alfed Schutz bawa seseorang akan memaknai peristiwa setelah peristiwa berlalu. Fenomenologi juga dapat diartikan pemaknaan tentang realitas.
Apa yang dimaksud dengan yang ia sebut tadi dengan realitas. Realitas terdiri dari berbagai dimensi: realitas sehari-hari, realitas ilmiah, pasca kebenaran, melamun, imajinasi, mimpi, kegilaan, alam kubur, dan alam ruh. “Realitas sehari-hari itu emang paling dominan, tapi ada alam lain yang mempengaruhi kehidupan nyata seseorang.”
Dalam fenomonologi kematian, “kematian ini seperti dramaturgi, seperti teater. Yang bertujuan untuk menyenangkan khalayak. Ada panggung depan dan panggung belakang,” jelas Mulyana.
Jika ingin ditelisik lebih jauh, secara ilmiah semua kematian secara biologis adalah tidak lagi bernafas, hilang detak jantung. itu Fenomena ilmiah, katanya. Versi hindu memaknai kematian sebagai transisi menuju reinkarnasi. sedangkan dalam islam dan kristen, ia dimaknai pintu menuju keabadian. “Tapi secara sosial, setiap kematian bisa berbeda di tiap daerah. Ada yang dibalut kesedihan, ada yag dibalut kegembiraan dan dirayakan, ada yang didoakan,” jelasnya kemudian.
Oleh karena itu Ali bin Abu Thalib mengatakan kepada Kumail bahwa jika orang mati di kuburan itu bisa bicara, ia akan berkata bahwa bekal paling baik adalah takwa. “dan kuburan adalah tempat menampung amal. Dan kita baru menyadari setelah mati,” tutupnya.
Maka, menurut Ridwan Hamid, pembicara berikutnya, persiapan sebelum menghadapi kematian itulah yang penting. Penting untuk manusia sadar dan menjalankan dan memahami kurikulum pondasi kehidupan. Pondasi yang perlu dipahami itu adalah Alquran, Kerasulan, kematian dan kebangkitan, hisab, juga memahami konsep surga dan neraka.
Lalu, Ridwan melanjutkan, memahami alam sekitar, kisah umat terdahulu, dan juga memahami manusia beserta pengawasan terhadap yang ghaib. Juga perlu memahami sunnatut Tadaafu’ yang artinya bahwa dalam kehidupan ada pertentangan antara yang benar dan yang batil.