Model-model Penelitian Kualitatif
Konten dan naskah jurnal yang masuk ke meja redaksi tak hanya bermetode kuantitatif. Banyak pula penulis naskah yang mengirim naskahnya ke redaksi jurnal dengan metode kualitatif. Meski begitu tak jarang pula yang tak jelas metodenya.
Maka dari itu Prof. Irwan Abdullah menjelaskan secara rinci melakukan penelitian agar bisa dengan mudah menggunakan jenis-jenis penelitian kualitatif. “Kenapa ini saya hadirkan? Karena pada naskah penelitian kualitatif, dia seringkali tidak jelas. Ini dia CDA (Critical Discourse Analysis) kah, fenomenologikah, dll. Ini kita seringkali tidak memperhatikannya,” kata Prof. Irwan Abdullah, Profesor antropologi UGM, di Pelatihan Penelitian Kualitatif pada 13 September 2021.
Acara ini diadakan oleh Unit Pengelolaan Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB), UII. “Kami berharap para pengelola jurnal di lingkungan FPSB UII dapat mendapat penyegaran metode dan meningkatkan kualitas jurnalnya,” kata Puji Rianto, Kepala Pengelolaan Jurnal dan Publikasi Karya Ilmiah FPSB UII.
Irwan mengatakan, setidaknya ada enam jenis penelitian kualitiatif. Dengan memahami jenis-jenis ini, Irwan berharap akan memudahkan pengelola jurnal mengenali dan memperbaiki kualitas naskah jurnal. Irwan, yang juga adalah reviewer jurnal nasional dan internasional, ini berkata bahwa selain memahami 6 jenis penelitian kualitatif, para pengelola jurnal juga harus memahami empat nalar metode kualitatif.
Enam Jenis Penelitian Kualitatif
Enam jenis penelitian itu misalnya grounded research. “Grounded research ini menarik karena dia merangsang munculnya ide-ide dan hipotesis-hipotesis survei,” jelas Irwan. Irwan menepis anggapan sebagian orang tentang grounded research yang keliru. Grounded research, menurutnya, bukan penelitian tanpa teori. “Tapi penelitian yang bertujuan membangun teori,” ungkap Irwan. Selain grounded research, kita juga bisa memahami model kualitatif yang lain seperti narrative analysis.
Irwan menjelaskan bahwa, “Narrative analysis itu dia making sense of reality. Bagaimana dia membuat realitas itu make sense.” Contoh, kata Irwan, kita meneliti berita tentang keberhasilan seorang tokoh agama yang hebat. Kita wawancara dia menggunakan analisis naratif.
“Bagaimana kita melihat tokoh kita ini menarasikan keberhasilan dna menjelaskan keberhasilan itu,” jelasnya. “Jadi di dalam narrative analysis ini kita berusaha making sense dari realitas-realitas bahasa, pake ungkapan apa, cara bahasa apa yg digunakan si tokoh. Jadi dia making senses of reality,” imbuhnya kemudian.
Jika narrative analysis mengungkap narasi bahasa, maka jenis selanjutnya yaitu Analisis konten justru berusaha mencari pola. “Content analysis berusaha mencari frekuensi dan kecenderungan pola. Biasanya di komunikasi ini. Ia melahirkan tabel-tabel,” papar Irwan, yang sejak 2018 menulis untuk jurnal-jurnal Scopus.
Sedangkan selanjutnya, Irwan menjelaskan bahwa analisis wacana berbeda dengan analisis isi. Peneliti menggunakan analisis wacana untuk melihat, “bagaimana dalam sejarah atau kultur seseorang itu membangun discourse/ wacana. Kita melihat bagaimana sejarah dia, budaya, mempengaruhi dia.”
Ada pula jenis fenomenologi. IPA fenomenologi itu merekam pengalaman. Misalnya, Irwan menyontohkan, misalnya pengalaman sembuh dari covid-19. “Dia akan menceritakan pengalamannya hingga sembuh dari Covid dan bagaimana dia memberi meaning/ makna,” kata Irwan. “Jadi di setiap tahap dari pengalamannya diberi meaning.”
Menjelang menutup materinya, Irwan mengatakan, penelitian kualitatif ini seringkali diwakili dengan istilah studi kasus. Ini kurang diperhatikan juga oleh beberapa peneliti. Ada tiga macam jenis studi kasus. Pertama, Intrinsik studi kasus. Ini adalah studi kasus mikro yanh satu peristiwa diteliti secara mendalam. “Bahkan seorang tokoh diteliti dan dijadikan biografi itu intrinsik,” ungkap Irwan.