Mengenang Gempa Jogja 2006, Bayangan Trauma Meski 17 Tahun Berlalu ‘Teman TPA ku Meninggal Gara-gara itu’
Gempa Jogja yang terjadi pada 27 Mei 2006 menyisakan duka dan luka mendalam bagi warga DIY. Meski 17 tahun berlalu, ingatan dan trauma masih tergambar jelas, mencekam, dan menyeramkan di setiap sudut Yogyakarta.
Bencana layaknya kiamat itu terjadi pada Sabtu sekitar pukul 05:53 WIB, tepat saat para pelajar bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Minggu terakhir masuk sekolah itu seolah gelap tanpa harapan.
Gempa berkekuatan Magnitudo (M) 6,3 yang berlangsung selama 57 detik itu tercatat dalam sejarah sebagai gempa paling mematikan di dunia yang terjadi pada rentang tahun 2000-2022. Gempa Jogja 2006 menempati posisi ke-9 atas jumlah korban jiwa yang melayang.
Dari data BPBD Bantul, total korban meninggal mencapai 5.782 jiwa dan 26.299 luka berat serta ringan. Sementara jumlah rumah rusak total 71.763, rusak berat 71.372, dan 66.359 rumah rusak ringan.
Trauma masih dirasakan oleh Nur Arifin Hakim, warga Kota Jogja yang saat itu masih duduk di kelas 2 SMP. Hakim saat itu mengira gempa terjadi karena Gunung Merapi yang berstatus Siaga 3, namun dugaannya salah. “Teman TPA ku meninggal gara-gara itu (red: Gempa Jogja 2006)”
Pusat gempa berada di Sungai Opak Dusun Potrobayan, Sriharjo, Pundong, Bantul. Dari Pundong sebagai titik episentrum dan jalur gempa menuju ke Klaten. Artinya lokasi gempa berjarak kurang lebih 19 km dari rumah Hakim yang terletak di Pandeyan, Umbulharjo, Kota Jogja.
“Aku hampir ketiban tumpukan Coca-cola beberapa kerat yang disusun di dalam rumah, aku lari dari kamar mandi. Banyak rumah ambruk, temanku ada yang meninggal, bapaknya temanku juga ada yang meninggal. Kukira itu hari kiamat,” ucapnya menenang pengalaman mencekam itu.
Kabar temannya yang meninggal ia ketahui sekitar sehari pascagempa, terkejut dan campur aduk. Orang yang selama ini menemani masa-masa belajar di masjid setiap sore tak akan ia lihat lagi raut wajahnya. Kehilangan teman kali ini menjadi pengalaman perpisahan yang sebenarnya bagi Hakim. Kesedihan itu perlahan-lahan memudar bersama proses pendewasaan dirinya.
Serupa dengan Hakim, Eni Puji Utami yang kala itu kelas 1 SMP tak menyadari ada gempa. Ia sedang bersantai naik sepeda di sekitar desanya. Sesampai rumah ia terkejut, rumah-rumah di Bambanglipuro tak sedikit yang hancur. Ia berpikir akan terjadi tsunami hingga ketakutan terpisah dari ibunya.
“Ketakutan pasti ada, takut tsunami, takut kehilangan keluarga, hingga takut terpisah dengan ibuku,” ucapnya mengingat kejadian 17 tahun silam.
Jika warga DIY ketakutan dan trauma kehilangan orang-orang terdekatnya karena gempa, namun para ahli sepakat bahwa bukan gempa yang membunuh manusia tetapi bangunan yang menimpa mereka.
“Berkaca dari fenomena gempa Jogja 2006, para ahli mengingatkan bukan gempa yang membunuh manusia. Namun bangunannya. Korban tewas pada umumnya karena tertimpa bangunan yang roboh. Sementara itu korban luka-luka banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa,” ungkap Dwi Daryanto, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Bantul, dilansir dari laman elshinta.
Menilik penelitian berjudul “Jurnalisme Bencana di Indonesia, Setelah Sepuluh Tahun” yang dipublikasikan oleh Muzayin Nazaruddin pada Jurnal Komunikasi Volume 10, Nomor 1, tahun 2015, secara gamblang tertulis bahwa bencana yang terjadi di Indonesia selain dari spek geologis juga aspek sosial demografis.
Kondisi yang terjadi saat Gempa Jogja 2006 tak ada prediksi apapun sebelumnya. “Gempa bumi dapat terjadi tanpa adanya tanda-tanda pasti; dan dapat terjadi kapan pun. Teknologi ciptaan manusia belum mampu untuk memprediksi waktu gempa akan terjadi,” ujar Dr. Raditya Jati Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB dilansir dari laman bnpb.go.id.
Indonesia termasuk dalam wilayah Pasific Ring of Fire (Deretan Gunung Berapi Pasifik) yang berbentuk melengkung dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi Utara ditambah pertemuan dua lempeng tektonik dunia.
Selanjutnya aspek sosial demografis yang sangat berperan penting pada sikap dan tindakan yang mampu meningkatkan kerentanan terhadap bencana. Keragaman budaya, etnis, agama selain menjadi kekayaan ternyata di sisi lain justru menjadi potensi bencana jika tidak dikelola dengan baik.
Sementara kondisi Gempa Jogja 2006 kala itu benar-benar kaos, mulai dari mitigasi bencana hingga simpang siur dan hoaks muncul di mana-mana. Hal ini diungkapkan oleh salah satu Dosen Ilmu Komunikasi UII, Narayana Mahendra Prastya, yang saat itu menjadi wartawan Detik Biro Jogja.
“Kondisi chaos di mana-mana, banyak hoaks dan pesan berantai. Karena listrik dimatikan akses berita hanya mengandalkan radio. Akhirnya banyak orang meninggalkan rumah lupa mengunci pintu, maling beraksi,” ujarnya.
Sementara pada penelitian yang disebutkan oleh Muzayin Nazaruddin, media massa dalam menyikapi pemberitaan bencana justru cenderung menunjukkan euforia pemberitaan bencana dibandingkan mitigasi bencana dan langkah selanjutnya.
Secara tidak langsung eksploitasi bencana sebagai “kisah satir yang menghibur” karena dianggap sebagai sumber informasi yang tak pernah kering dari nilai berita.
Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan masyarakat Indonesia setelah mengetahui bahwa daerah yang ditinggalinya merupakan “ladang bencana”?
Setelah belajar dari Gempa Jogja 2006, Sumatera Barat 2009, Pidie Jaya 2016, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat 2018, dan Sulawesi Barat 2020 pihak BNPB menawarkan tiga solusi yang komprehensif.
Pertama, pada pengelolaan risiko bencana, investasi pengurangan risiko bencana (PRB) dapat dilakukan demi upaya mitigasi bencana. Sementara sebagai upaya pencegahan maupun mitigasi bencana pada konteks wilayah yang pernah terdampak, prinsip build back better and safer menjadi sangat penting dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Negara maju seperti Jepang, telah melakukan retrofitting pada salah satu ruang yang ada di rumah. Retrofit ini merupakan teknik melengkapi bangunan dengan memodifikasi atau membangun kembali dengan menambah bagian atau peralatan baru yang dianggap perlu karena tidak tersedia pada saat awal pembuatannya.
Kedua, pendekatan kolaborasi pentaheliks, pentaheliks ini terdiri dari pemerintah, pakar atau akademisi, lembaga usaha, masyarakat, dan media massa memiliki peran yang luar biasa dalam penanggulangan bencana.
Pendekatan ini akan meningkatkan aspek kewaspadaan, akses ke sumber daya, koordinasi dalam PRB maupun pemulihan, serta memperkuat pengambilan keputusan, akses komunikasi serta koordinasi saat tanggap darurat. Dalam hal ini kritik terhadap media massa agar tak hanya eksploitasi kisah kesedihan saja melainkan edukasi kepada masyarakat.
Terakhir, pendekatan adaptasi revolusi industri 4.0. Pendekatan ini dapat berkolaborasi dengan pendekatan pentaheliks dan diharapkan terwujud inter-konektivitas. Dari proses ini akan menghasilkan big data yang dapat digunakan sebagai kajian maupun penciptaan sesuatu. End to end dari terobosan ini untuk keselamatan nyawa manusia.
Selain tiga pendekatan tersebut, pemulihan pascabencana melalui konteks sosial juga menjadi hal penting untuk membangun resiliensi keluarga keberlanjutan hidup di tengah porak poranda pemukiman. Kekuatan gotong royong membangun kembali kehidupan pascabencana. Namun hal ini akan terwujud dengan adanya sikap kepemimpinan dan komitmen kepala daerah.
Penulis: Meigitaria Sanita