Melacak Konsep Penyiaran Publik pada Pemikiran AES
Penyiaran publik adalah keniscayaan. Ia hadir sebagai pemenuh hak publik akan informasi yang berkualitas dan bermutu tinggi. Dari sini, publik akan menjadi masyarakat yang beradab karena teredukasi dengan informasi. Dengan informasi, masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri dan meningkatkan kualitas hidupnya dan peradabannya. Maka, penyiaran publik harus hadir menjadi penyeimbang.
“Di negara-negara yang demokrasinya maju, keberadaan penyiaran publik sangat dibutuhkan untuk penyeimbang,” kata Darmanto, Manajer Program Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RP LPP) dalam Diskusi Buku Melawan Otoritarianisme Kapital Jilid 2, pada Sabtu, 3 Juli 2021. Diskusi ini diadakan oleh Prodi Komunikasi UII, PR2Media, dan SPS untuk mengenang dan mengabadikan pemikiran Amir Effendi Siregar. Amir Effendi Siregar (AES) adalah pendiri Komunikasi UII dan PR2Media, dua lembaga kunci dalam kajian Komunikasi dan Media di Indonesia.
Darmanto adalah salah satu penulis dalam buku berisi kumpulan tulisan murid, sahabat, kolega, dan rekan AES tentang pemikiran demokratisasi dan gerakan media. Menurut Darmanto, salah satu pemikiran AES yang paling penting adalah soal kepublikan dan penyiaran publik. Eksistensi penyiaran publik penting hadir dalam negara dengan sistem demokrasi. Penyiaran publik di negara-negara maju juga cenderung menjadi lembaga yang kuat, independen, dan profesional.
Alasan keberadaan penyiaran publik, kata Darmanto, mendedah pemikiran AES, adalah untuk melayani kepentingan publik. “Raison d’etre penyiaran publik adalah untuk itu, melayani kepentingan publik,” ungkap Darmanto. Penyiaran publik, karenanya, harus menjadi institusi yang merdeka dari beragam bidang. Baik itu merdeka dari sisi sumber daya manusia, redaksional, hingga keuangan.
Menurut AES, kata Darmanto, dari segi kemandirian, pengelolaan SDM di RRI TVRI masih menjadi problem. Belum lagi karena LPP adalah mutlak memenuhi kepentingan publik, maka perlu regulasi atau undang-undang khusus yang memayungi penyiaran publik agar ia lebih independen di segala lini.
Meski begitu, wacana soal penyiaran publik telah lama bergeser ke arah istilah public service media (media layanan publik). Ia bukan lagi hanya bersandar pada media penyiaran, tetapi media apapun yang cakupannya lebih luas di era internet. “Bahkan di negara skandinavia, pada 2003 mereka sudah merilis sebuah buku tentang public service media,” kata M. Kabul Budiono, Dewan Pengawas TVRI, yang ikut menjadi pembicara pada kesempatan tersebut.