Kritik Soal Film Horor Religi dan Tawaran Solusi

Horor
Reading Time: 2 minutes

Film horor menjadi genre paling diminati penonton Indonesia, terbukti dari 10 deretan film terlaris 3 diantaranya diisi genre tersebut. Sepanjang tahun 2024 saja setidaknya ada 12 film horor yang telah tayang di bioskop. Sineas Indonesia nampaknya berlomba-lomba untuk memenangkan pasar. Sayangnya, unsur religi yang menjadi jalan pintas seolah jadi strategi ampuh.

Menampilkan adegan komedi, seks, dan religi menjadi bentuk normalisasi film horor Indonesia. Jadi tak heran jika ketiga unsur tersebut tak boleh absen dalam proses produksinya. Namun belakangan kritik keras soal ritual ibadah dalam tren film horor dilayangkan oleh Gina S. Noer sutradara Indonesia.

“Kebanyakan film horor menggunakan sholat, doa, dzikir dan lain-lain Cuma jadi pilot devices murahan untuk jumpscare karakternya diganggu setan. Sehingga kelemahan iman bukan lagi menjadi eksploitasi kritik terhadap keislaman yang dangkal. Tapi cara dangkal biar cepat seram,” tulisnya pada story Instagram beberapa waktu lalu.

Meski kritik tersebut ramai-ramai dibagikan, nyatanya penikmat film horor dengan eksploitasi agama tak menurun. Tercatat film Siksa Kubur karya Joko Anwar ditonton lebih dari 4 juta penonton.

Horor adalah kata yang kuat. Kata ini membangkitkan perasaan benci, jijik, enggan, takut, dan teror. Peristiwa mengerikan terjadi di dunia kita setiap hari, jadi wajar saja jika peristiwa-peristiwa ini masuk ke dalam imajinasi kolektif kita melalui literatur, film, dan bentuk-bentuk seni dan wacana populer lainnya. (ISLE: Interdisciplinary Studies in Literature and Environment, Volume 21, Issue 3, Summer 2014)

Mempertimbangkan Genre Ecohoror

Salah satu tawaran solusi bagi sineas Indonesia untuk mengeksplorasi terhadap religiusitas disampaikan oleh salah satu dosen Ilmu Komunikasi UII, Khumaid Akhyat Sulkhan, S.I.Kom, M.A. ia berpendapat bahwa genre ecohorror bisa menjadi pilihan.

Terlebih Indonesia sebagai negara dengan polemic isu lingkungan tak terselesaikan genre ecohorror layak menjadi sarana edukasi dan mempromosikan kesadaran ekologis dan tentunya mempresentasikan krisis ekologis yang nyata.

“Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia,” tulisnya dalam laman The Conversation.

Ecohoror mampu mengeksplorasi cerita yang berhubungan antara manusia, alam, dan makhluk hidup lainnya. Sebut saja film Godzilla (1954)—monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

“Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara,” tambahnya.

“Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya,” tandasnya.

Artikel selengkapnya dapat diakses melalui laman https://theconversation.com/ecohorror-alternatif-untuk-film-horor-religi-di-indonesia-229812