Jurnalisme yang Menerobos Pagar Api

Pagar api jurnalisme
Reading Time: 2 minutes

Idealnya kegiatan jurnalistik harus terpisah dengan persoalan bisnis. Peran jurnalis menjadi menjadi faktor terbesar dalam sebuah produk jurnlistik yang disampaikan kepada publik. Sayangnya, pagar api jurnalistik (firewall) telah runtuh dari dalam.

Catatan dari Nanang Krisdinanto, dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) dalam bukunya yang berjudul Runtuh dari Dalam, Serangan Komersialisasi terhadap Pagar Api jurnalistik di Indonesia menjadi topik diskusi yang dihelat oleh Program Studi Ilmu Komunikasi UII bersama Sekolah Jurnalisme SK Trimurti, dan AJI Yogyakarta pada 4 November 2024 di UII.

Prof. Masduki, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII membuka diskusi dengan melontarkan pernyataan terkait bagaimana jurnalis bekerja dalam memproduksi berita.

“Harus free from economy interest, bebas dari persoalan bisnis. Dilema di antara profesional jurnalis, pimred, editor,” ujarnya.

“Jurnalis itu manusia biasa yang dipengaruhi banyak faktor di dalam dia bekerja (status kerja, gaji yang diterima, struktur lingkungan redaksi) mempengaruhi sebuah berita yang dia tulis.” Tambahnya lagi.

Pagar Api yang telah Runtuh

Nanang Krisdinanto sebagai penulis memaparkan hasil penemuannya bahwa ruang lingkup jurnalistik tak memiliki batasan konkret akibat kondisi ekonomi dan politik.

“Apa yang saya cemaskan sampai hari ini tidak menunjukkan gejala menurun tapi semakin meningkat eskalasinya. Sehingga pada akhir buku ini kesimpulannya adalah, bisnis media itu memang hidup di Indonesia tapi yang saya khawatirkan jurnalismenya mungkin sudah mati atau bahkan terancam mati,” ungkapnya.

“Garis pagar api antara redaksi dan bisnis sudah tidak dihormati lagi,” tambahnya.

Praktik-praktik penerabasan pagar api sebenarnya telah terjadi sejak tahun 90an, namun hal ini semakin parah selama masa pandemi Covid-19, semua bisnis semakin sulit termasuk pendapatan media dan iklan. Kondisi tersebut berakibat pada berita yang dihasilkan oleh jurnalis. Melalui berbagai proses di ruang redaksi yang sedemikian dimanipulative karena berbagai kepentingan (iklan).

“Itu tidak hanya disumbang dari kekuatan besar di luar (ekonomi dan politik) tapi juga dari dalam dari para jurnalis itu sendiri yang mengalami perubahan signifikan dalam cara mereka memandang jurnalisme,” jelasnya.

Temuan tersebut diamini oleh Nugroho Nurcahyo, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Jogja yang turut menjadi pembicara. Bergelut dengan industri media lokal, ia mengungkap bobroknya ruang redaksi yang telah kaburnya batasan berita dan advertorial.

“Omong kosong kalau orang bilang 80 persen media itu hidup dari iklan. Dan yang dibayangkan iklan display misal satu iklan satu halaman itu hampir tidak mungkin dilakukan. Dari perusahaan media komunikasi yang meminta untuk advertorial itu pagar apinya mungkin konten promosi, ada juga yang dikode adv itu enggak cukup bagi mereka,” jelasnya.

“Mereka inginnya ini menjadi konten berita yang belakangan hari disebut brand content. Sialnya kalau di daerah, media belum dipercaya oleh privat sector mereka masih pakai konsultan media di Jakarta dan placementnya di media-media nasional dan banyak media nasional sudah berekspansi di sini mencari ekosistem bisnis yang lebih visible dalam tanda kutip bisa membayar SDM lebih rendah dengan kualitas yang sama di ibu kota,” tandasnya.

Fakta-fakta yang dikemukakan oleh Nugroho Nurcahyo menegaskan bahwa selain runtuhnya pagar api dari dalam, juga persaingan bisnis media tidak imbang antara media lokal dan nasional.

Buku yang diterbitkan Marjin Kiri tersebut membahas detail bagaimana pagar api jurnalistik sebagai salah satu filosofi dasar jurnalisme atau sekat yang membatasi redaksi dan bisnis demi menjaga independensi atau objektivitas praktik jurnalisme tengah diruntuhkan secara terang-terangan oleh desakan komersialisasi dalam industri media massa.