‘Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa’ Kerja Sama KPID Yogyakarta dengan UII untuk Suarakan Konten Lokal
Konten lokal semestinya mendapat porsi yang layak dalam program siaran di TV maupun radio, sayangnya hal tersebut belum terwujud.
Ironi dengan persoalan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta menggandeng Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar diskusi Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) di Gedung GKU UII pada 1 November 2024.
Secara khusus, isu konten lokal dibahas mendalam oleh praktisi dan akademisi. Bertajuk Konten Lokal Sebagai Medium Demokratisasi diskusi tersebut menghadirkan dua pemateri dari KPID Yogyakarta serta akademisi UII.
Rektor UII, Fathul Wahid menyambut hangat niat tersebut. Dalam sambutannya beliau memberikan statement terkait konteks informasi yang selalu mengalami pergeseran.
“Setiap zaman setiap konteks itu mempunyai tafsirannya masing-masing, apa yang kita lihat hari ini belum tentu terjadi di masa lampau. Sehingga kita harus memaknai dengan cara yang berbeda,” ujarnya.
“Dalam kehidupan kita juga sama, di sini kita bicara konten lokal yang dulu di Indonesia tahun 80an 90an tidak pernah masuk diskusi. Ketika ada undang-undang baru kita diskusikan, kemudian diperkuat dengan medium demokratisasi budaya. Banyak sekali yang harus kita tafsirkan ulang,” tambahnya.
Mendukung KPID Yogyakarta dalam mendorong media-media penyiaran dalam memberikan porsi lebih banyk pada konten lokal, Rektor UII turut melakukan penandatangan nota kesepakatan kerja sama.
Konten Lokal Sebagai Medium Demokratisasi Budaya
Menghadirkan pemateri dari Komisioner KPI, Amin Shabana dan dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII yakni Puji Rianto keduanya menyampaikan secara detail bagaimana posisi konten lokal.
Konten lokal adalah siaran bermuatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program siaran faktual dan non faktual dalam rangka pengembangan potensi daerah setempat serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran setempat.
Amin Shabana menjelaskan urgensi lokalitas konten dalam beberapa perspektif. Mulai dari Amanah regulasi, wajah daerah, potensi daerah, partisipasi kolektif, dan pemberdayaan SDM lokal.
“Demokrasi itu partisipasi, partisipasi masyarakat terkait dengan akses informasi, kebebasan berekspresi itu merupakan konteks dasar demokrasi. Termasuk di dalam sektor kebudayaan, karena sektor penyiaran merupakan multisector yang semuanya ada,” ujarnya.
“Kita dimandatkan untuk mengawal konten lokal yang sesuai dengan karakteristik daerah. Untuk program wisata budaya semestinya bukan hanya kontennya saja yang diangkat melainkan juga seumber daya penyiarnya harus mengoptimalkan daerah setempat,” tambahanya.
Sementara dari Puji Rianto, selaku akademisi sekaligus researcher menempatkan televisi lokal sebagai upaya untuk membangun cultural sphere.
Cultural sphere atau ruang budaya bpada kesenangan dan estetika, industri budaya berbiaya tinggi tapi perolehannya berpotensi zero dan di sisi lain tv lokal harus mencari profit.
“Agak ironis, kita punya kekayaan budaya yang luar biasa lebih dari 200 etnis. Problem akses, di mana kita diberi ruang di mana kita tidak diberi ruang,” ujarnya.
Beliau memberikan dua tawaran solusi yakni memperlakukan konten lokal sebagai public goods. Kedua mengupayakan regulasi terkait pendanaan khusus oleh daerah dalam produksinya.
Dalam kesempatan itu, hadir pula jajaran Komisioner KPI Bidang Kelembagaan dan Penanggung Jawab GLSP Evri Rizqi Monarshi, Ketua KPID Yogyakarta Hazwan Iskandar serta jajaran Dekan FPSB UII bersama Kaprodi Ilmu Komunikasi UII.