Festival Film dan Kota: Merawat Ingatan, Mengimajinasikan Harapan
Mayoritas festival film di kota menjadi agensi kultural karena kemampuannya untuk menawarkan hal-hal alternatif. Agensi kultural yang demikian juga meneguhkan branding tempat tertentu hingga identitas kota itu sendiri.
Menjelang penghujung akhir tahun 2022, sejumlah kota kembali riuh dengan beragam pesta sinema. Dari Denpasar ke Jakarta hingga Yogyakarta, publik penonton film disuguhi serangkaian festival film yang menyapa khalayak secara langsung setelah dua tahun sebelumnya dilakukan secara daring. Kota-kota lain di berbagai wilayah pun menyusul untuk menggiatkan kembali perjumpaan fisik lewat ajang festival film.
Awal hingga tengah Oktober lalu, misalnya, Madani Film Festival dan Jakarta Film Week (JFW) digelar berdampingan waktu. Sebagian programnya diadakan dalam format kolaborasi kedua festival di lokasi yang sama, baik pemutaran film tertentu maupun sejumlah diskusi publik. Tidak lama kemudian, Jakarta Independent Film Festival (JIFF) juga hadir di awal November. Kali ini penyelenggara JIFF membuat festival dalam format bauran, mempertahankan program pemutaran daring dan mulai mengadakan program-program secara luring di Jakarta.
Pada tengah November, giliran Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta yang kembali menyapa penikmat publik film untuk kali keduapuluh satu perhelatannya (Kompas, 27/11). Di penghujung akhir bulan November hingga 3 Desember 2022, Yogyakarta melanjutkan kemeriahan pesta sinema dengan berlangsungnya Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).
Seperti akar namanya, festival adalah sebuah perayaan. Bila ditilik dari nalar kebahasaan, maka secara literal, festival adalah perayaan kolektif yang membangkitkan perasaan kegembiraan dan keriangan bagi siapapun yang terlibat di dalamnya. Festival film pada dasarnya adalah ruang sosial yang memberikan kesempatan rasa gembira dan nuansa riang secara bersama. Meski begitu, ada makna kontekstual yang khas karena–seperti film itu sendiri–festival film adalah hasil kerja kolektif nan kompleks, sejak konseptualisasi, kuratorial dan pemrograman, pendanaan, manajemen pengelolaan, pemublikasian program dan keterlibatan partisipan serta penonton, hingga konteks produksi ruang (space) sosial dan kultural serta pembentukan makna tempat (place) atas keberadaan suatu festival film tertentu.
Dengan begitu, kemeriahan yang terbentuk karena hadirnya festival film di sebuah tempat–dalam hal ini ruang urban–pada dasarnya telah melampaui makna literal sebagai ruang instrumental atas perayaan kegembiraan dan keriangan bagi sekelompok orang terbatas. Di luar fungsi utamanya dalam ekosistem perfilman secara spesifik, yakni sebagai bagian tidak terpisahkan dari relasi produksi, distribusi dan eksibisi film, festival juga dapat dipahami secara lebih luas. Sebuah festival film esensinya adalah produksi ruang perjumpaan budaya (cultural encounter) yang tidak bisa dilepaskan dari keterikatannya dengan tempat (place) ia bermula dan berbasis. Antara festival film dan kota telah berkelindan sedemikian rupa, saling andil dalam interaksi kultural yang terus saling berkaitan.
Festival Film dan Kota
Terlepas dari adanya perbedaan karakteristik utama dari setiap festival film di berbagai kota, terdapat satu pertanyaan tunggal yang sebenarnya selalu serupa. Yaitu, mengapa festival film menjadi penting bagi kota tempat ia hadir dan bergeliat?
Di luar fungsi instrumental dan konteks ekonomi-politik bagi ekosistem perfilman, setidaknya ada tiga arti penting kehadiran festival film secara kontinyu di kota masing-masing. Pertama, festival film adalah salah satu agensi budaya. Fungsi festival film melampaui arti literalnya sebagai ruang gembira dan riang bersama. Kedua, festival film–disadari atau tidak oleh warga kotanya maupun perumus kebijakan di kota–kerap menjadi sarana penyokong branding tempat (place branding), termasuk branding kota dan identitas kota. Ketiga, festival film berpotensi besar untuk memunculkan keberagaman suara (multiple voices) serta produksi ruang inklusif di kota.
Sebagai sebuah cultural agency, festival film semestinya tidak melulu dipandang sebagai peristiwa temporer belaka. Toh bagi para pekerja dan pegiat festival, kiprah festival film adalah kerja sepanjang tahun. Dalam penelitian yang ditulis Sri Ratna Setiawati (atau yang lebih akrab disapa Lulu Ratna), ia mengkaji terbentuknya konsepsi ruang urban Yogyakarta ditilik dari studi spesifik terhadap kurasi program pada dua festival di kota tersebut, yaitu FFD dan JAFF. Menurutnya, kehadiran kedua festival non-pemerintah yang lahir pasca-1998 ini berkontribusi dalam ”membangun konstruksi Yogyakarta ideal, namun pada saat yang sama juga melakukan perlawanan terhadap dominasi media arus utamadan distribusi-eksibisi film komersial, sehingga berhasil membangun kekuatan untuk menjadi hegemoni baru perfilman Indonesia” (Setiawati, 2020).
Lebih jauh dari itu, mayoritas festival film di kota pada muaranya menjadi agensi kultural karena kemampuannya untuk menawarkan hal-hal alternatif, dari cara pandang dan cara praktik atas berbagai aspek kehidupan di masyarakat tempat ia hadir. Selanjutnya, agensi kultural yang demikian juga mendukung upaya-upaya peneguhan branding tempat tertentu (festival venues) hingga identitas kota itu sendiri. Proses branding kota semacam ini biasanya mengomunikasikan kota sebagai ”imaji-imaji yang memantik selera orang” (Löfgren, 2005: 64).
Orvar Löfgren, seorang etnolog yang mendalami budaya kontemporer dalam keseharian hidup, mengingatkan bahwa city branding yang dijalankan dengan menempatkan prinsip ”catwalk economy” ada bahayanya. Segala sesuatu yang semata ditampilkan memukau di lapis imaji belaka, termasuk memoles kota seperti tengah berjalan di sebuah catwalk, hanya akan menempatkan kota sebagai produk. Kota sebagai produk adalah sebuah pandangan yang berbahaya (Löfgren, 2014: 202), karena akhirnya kota dapat didesain secantik mungkin, tapi justru menyajikan ruang urban yang tidak berdaya hidup (”a beautifully designed, but lifeless cityscape”) (Löfgren, 2007: 91).
Untuk mengembalikan daya hidup kota, diingatkan Löfgren dan juga Jensen (2007: 102), segala upaya branding kota harus kembali ke esensinya dalam meneguhkan identitas kultural dan segala nilai pokok dari kota tersebut melalui kelindan beragam pengalaman orang-orangnya.
Dengan begitu, dalam konteks festival film, berbagai hal yang terjadi dan terbincangkan di luar ruang pemutaran film merupakan pengalaman signifikan yang sama pentingnya dengan representasi apapun yang tersaji di layar pemutaran di dalam studio bioskop atau berbagai venues lainnya. Meski tidak selalu dapat terukur secara kuantitatif, hal-hal semacam ini pada dasarnya juga menyokong proses branding kota yang berbasis identitas kultural dan nilai-nilai esensial.
Keberadaan festival film yang demikian akhirnya bermuara pada cara memandang dan menafsirkan kota. Mengapa demikian? Meminjam dan memodifikasi penjelasan Henri Lefebvre, kota sebagai ruang sosial semestinya dipahami secara menyeluruh sebagai perwujudan aspek triadik tak terpisahkan. Yaitu, kota dalam wujud material (the perceived or material city), kota yang terimajinasikan (the conceived or imagined city), serta kota yang dialami atau dihidupi warga dan beragam orang yang melintasinya (the lived city).
Lewat festival film, siapapun yang terlibat, hadir, atau sekadar selintas melihat publikasi acaranya di jalanan sebenarnya telah menjadi bagian dari ketiga model triadik kota di atas. Festival film, terutama melalui program-programnya, kerap berfokus pada upaya-upaya untuk merawat ingatan. Dari ragam genre dan tema film, topik diskusi, hingga lontaran-lontaran dalam obrolan informal di sela-sela acara utama adalah wujud nyata dari beragam upaya merawat ingatan atau kerap disebut pula sebagai recalling and re-articulation of social and cultural memories. Tujuannya, agar isu yang penting, kegelisahan yang dirasakan, serta fakta dan emosi yang tidak tersaji di permukaan dapat menjadi rekaman bersama dan, syukur-syukur, direspons pula lewat berbagai karya-karya lanjutan di masa mendatang.
Tatkala festival film menjadi ruang yang memungkinkan upaya merawat ingatan agar terus terkelola, ini adalah aktualisasi dari gagasan the imagined city dan the material city. Di saat yang bersamaan, berfestival film pada asalinya adalah serangkaian pengalaman individual dan kolektif sekaligus. Pada aras ini, festival film telah mewujudkan pula gagasan the lived city yang selalu menyajikan pengalaman majemuk warga, tidak pernah tunggal, yang harus terus diberi ruang seluas-luasnya. Bahwa kota yang terhidupi, the lived experiences in the city, ini tidak selalu sejalan dengan idealisasi dan materialisasi yang diharapkan di awal, hal itu tetap harus mendapatkan perhatian yang sama pentingnya.
Suara Majemuk dan Ruang Inklusif
Dengan memahami festival film dalam cara pandang yang demikian, arti penting ketiga dari festival film di sebuah kota dapat terwujud. Yaitu, potensi untuk ’mendengarkan’ suara majemuk atau multiple voices melalui berbagai program yang juga mempertemukan ragam entitas. Kata voice di sini tidak semata-mata terjemahan suara dalam pengertian pengalaman akustik. Melainkan, ‘suara’ di sini berkaitan pula dengan artikulasi kuasa (power) yang selalu menjadi medan kontestasi dalam keseharian pengalaman hidup masyarakat urban.
Di perhelatan festival film, artikulasi suara majemuk yang semestinya diberikan ruang luas tersebut tak ubahnya menjadi ruang nafas atau the breathing spaces dalam hiruk-pikuk dan sesak pengalaman hidup perkotaan. Ruang nafas demikian dapat bermakna ganda: festival film sebagai oase di belantara ragam peristiwa dan kepenatan di kota, sekaligus festival film sebagai ruang menekan tombol ”pause” dalam keseharian hidup warga kotanya. Jeda sejenak ternyata penting demi mendengar ”suara-suara” yang berbeda sembari membincangkan imajinasi atas harapan-harapan yang beragam.
Dalam berbagai perjumpaan formal sebagai bagian dari program festival maupun perbincangan informal di kedai dan selasar lokasi festival, terdapat banyak catatan penting yang kemudian menjadi fondasi kerja-kerja kolektif selanjutnya setelah festival berakhir. Dialog dalam forum diskusi, tanya jawab dengan sineas dan kru film pasca-pemutaran, hingga peluncuran buku terkait sinema adalah beberapa ruang sosial yang kerap mewadahi kemunculan ragam suara sekaligus kompilasi harapan.
Bersama itu pula, festival film juga melanjutkan ruang-ruang sosial demikian sebagai kemungkinan memupuk hadirnya ruang yang lebih inklusif di perkotaan. Kita lihat, misalnya, sejumlah program juga menyediakan ”bioskop bisik” untuk akses bagi penonton disabilitas. Harapannya, festival film menjadi kian meneguhkan rasa kepemilikan yang luas di luar komunitas pembuat, pendistribusi dan eksibitor film semata.
Inklusivitas juga hadir lewat cara lain. Seperti, kombinasi antara praktik-praktik lokal yang ditawarkan sebagai ciri khas setiap festival di masing-masing kota dengan dialog lintas entitas yang muaranya kerap menuju cita rasa kosmopolitanisme.
Menutup tulisan ini, saya teringat salah satu adegan di film Autobiography (2022) – ditulis dan disutradarai oleh Makbul Mubarak– yang secara simbolik tidak hanya kuat bagi narasi dan unsur sinematik film ini, tetapi juga secara metaforis menggambarkan kelindan gagasan yang saya ulas di atas. Sebagai wujud artikulasi ”investigasi emosional sejak masa kecil bagi sineasnya” (Kotzathanasis, 2022), film ini sarat akan ekspresi implisit emosi yang tidak selalu sejalan dengan hal-hal yang manifes di layar.
Tatkala tokoh pelik Purna berujar di bagian permulaan film kepada Rakib, sang protagonis, ”Siapa bilang saya minum kopi?” pertanyaan retoris ini tidak pernah terjawab verbal karena memang esensinya bukan itu. Melainkan, sisi-sisi yang tidak terkatakanlah yang memberikan petunjuk bagi penonton atas bangunan karakter tokoh tersebut dan premis utama filmnya. Begitu pula dengan pentingnya festival film bagi kotanya. Hal-hal yang tersampaikan secara subtil, bahkan terkadang tak tampak, dalam perhelatan festival film tidak boleh luput dari perhatian banyak orang. Karena dari situlah andil dan kontribusi festival film sedang terbentuk secara kultural bagi kota dan warganya.
ZAKI HABIBI
Peneliti kajian media dan budaya visual,
Prodi Ilmu Komunikasi UII Yogyakarta
dan Lund University, Swedia