Diskusi Nadim: Mengkaji Game dari Perpektif Ilmu Komunikasi

Reading Time: 2 minutes

Dalam kajian komunikasi, game jarang sekali masuk dalam radar kajian  yang dianggap penting. Dulu game hanyalah kegiatan unfaedah yang dilakukan di waktu-waktu luang. Namun kini, wajah game berubah. Ratusan bahkan ribuan game diproduksi tiap bulannya. Bahkan game menjadi ladang bisnis yang mengasilkan miliaran rupiah. 

Beberapa alasan tersebut melatarbelakangi Andi M. Rafli Manggabarani untuk meneliti game untuk diteliti sebagai tugas pamungkas merampungkan studi S1 di ilmu komunikasi UII. Hasil risetnya ini kemudian ditanggapi positif oleh Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) dalam sebuah diskusi. Diskusi pada 21 Oktober 2022 sore itu dimoderatori oleh Latifika Gupita, mahasiswa ilmu komunikasi UII pula. 

Penelitian yang dilakukan oleh Andi itu berjudul “Agonistic Relationship in Single-Player Game and the construction of Villain in Video Game Narativve multimodal proseduralist analysis of Assassin’s Creed III”

Kenapa Andi meneliti hal ini? Perkembangan wacana video game sangat pesat di awal tahun 90an dan awal 2000an mulai banyak meneliti adan analisis game. Bahkan ada konferensi game pertama di tahun 2000an. “Namun sayangnya kenyataannya berbeda di Indonesia. Riset tentang game itu sepi di Indonesia. Padahal game adalah bisnis besar sekarang,” kata Andi.

Studi game, kata Andi, adalah studi interdisipliner. Maksudnya, game bisa dilihat dari beragam perspektif. Bisa dipandang dari sisi program, artistik, .visual, narative, musik, dan lain-lain. “Dulu game dilihat sebatas aktifitas di waktu luang. Sekarang telah diakui sebagai salah satu cabang olah raga,” papar Andi. 

Andi menjelaskan, studi game yang penah dianalisis selama ini, rata-rata sisanya berkutat tentang pengambaran perempuan dalam video game, dan beberapa yang serupa dengan itu. Padahal game punya elemen lain yang bisa dikatakan cukup unik. Misalnya desain game itu sendiri. “Malah justru elemen penelitian ini belum banyak muncul. Game ini punya alur dan segala macam unsurnya (game design) tersendiri, tapi ini yang membedakan game dengan film, buku, dan lainnya,” ungkap Andi secara rigid. 

“Game yang saya pilih untuk dibahas adalah Assasin’s Creed III. Seri game ini sangat identik selalu mengemas game dalam konsep sejarah dalam semua gamenya,” katanya. Andi memaparkan bahwa pembuat gamenya (game developer), Ubisol, selalu berkonsultasi dengan sejarawan agar game yang dibangun bisa memberi gambaran seakurat mungkin dengan latar (tempat) dan konteks sejarahnya. Game ini juga sudah terjual 155 juta kopi hingga oktober 2020. 

Game ini bercerita tentang dua organisasi rahasia bernama Assasin dan Templar. Game developer mengambil latar dan konteks sejarah revolusi amerika yang ingin memerdekakan diri dari Inggris. Baik Templar dan Assasin, Dua organisasi ini ada untuk menggiring peradaban manusia pada perdamaian, kemakmuran, kemajuan teknologi dan intelektual.

Namun keduanya memiliki perbedaan pendekatan dalam mencapaian tujuannya. Assasin percaya bahawa manusia bisa maju dalam suasana peradaban yang penuh kebebasan. Sedangkan Tamplar berpikir bahwa manusia perlu dibimbing dan diatur. Templar mengaku bahawa merekalah yang paling layak untuk mengatur hal tersebut. Dalam video game ini Templat direpresentasikan sebagai vilain (pihak jahat).

Penelitian Andi ini bertujuan untuk membongkar bagaimana villain (tokoh dan konsep jahat) dibangun dari elemen desain game dan naratif dalam game ini. Game developer mencitrakan Templar dan nilai yang mereka yakini dianggap jahat. Penelitian Andi juga ingin menguak nilai apa saja yang dianggap jahat oleh developer game Ubisoft ini, dan yang terakhir, apa saja yang membuat seseorag itu menjadi ‘villain’

Pertanyaan ini berasal dari asumsi Andi, mengapa Templar dan Assasin dicitrakan berbeda padahal punya tujuan yang sama: kemakmuran dan perdamaian.

Selengkapnya dapat dilihat di chanel Ikonisia TV: