Dibalik Kesuksesan Kampanye All Eyes di Instagram, Apakah Membawa Perubahan?
Sepekan terakhir kampanye poster All Eyes di Instagram sukses membawa netizen ramai-ramai merepost ulang di story masing-masing. Mulai dari konflik internasional All Eyes on Rafah dan disusul All Eyes on Papua.
Seruan All Eyes on Rafah pertama kali diungkapkan pada Februari 2024 lalu oleh Rick Peeperkorn Direktur Kantor Wilayah Palestina di Orrganisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ungkapan itu muncul pasca Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menginstruksikan evakuasi ke Rafah menjelang penyerangan. Sayangnya pada 26 Mei 2024 serangan melalui udara mengakibatkan kebakaran hebat di kamp pegungsian hingga menewaskan 45 korban. Serangan tak berhenti dan berlanjut hingga beberapa hari setelahnya.
Sontak sejak 28 Mei 2024, seruan All Eyes on Rafah mencuat di X (Twitter) dan trending sehari setelahnya hingga mencapai 900 ribu lebih tagar tersebut. Sementara di Instagram lebih viral lagi, poster yang dikreasikan lewat AI itu mencapai 47 juta lebih dibagikan.
Kesuksesan lain disusul oleh All Eyes on Papua, isu lama itu kembali disorot pasca masyarakat Awyu di Boven Digul Papua Selatan dan Suku Moi di Sorong Papua Barat Daya melakukan aksi protes atas izin pengalihan hutan sebagai Perkebunan sawit oleh PT Indo Asiana Lestari di Gedung Mahkamah Agung Jakarta pada 27 Mei 2024. Narasi “separuh luas Jakarta” menjadi menggema mengiringi poster All Eyes on Papua. Hutan tak hanya soal tanah dan pohon, bagi masyarakat Papua hutan adalah sumber kehidupan bernilai budaya. Tak hanya akan kehilangan sumber penghidupan, Perkebunan sawit yang akan digarap pada 36 ribu ha turut menyumbang emisi 25 juta ton CO2.
Mengapa Bisa Viral?
Dari kedua kasus tersebut, tingkat keviralan All Eyes on Papua bisa dikatakan sukses menyamai All Eyes on Rafah. Dalam skala nasional saja mampu mengajak lebih dari 2,8 juta pengguna Instagram membagikan isu lingkungan yang cenderung hanya menjadi concern beberapa pihak.
Menurut dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII, Nadia Wasta Utami, S.I.Kom., M.A. terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keviralan dua isu tersebut. Pertama terkait fitur yang menjadi penunjang di Instagram yakni Add Yours yang berfungsi untuk membuat rantai konten stories.
“Sosial media dengan beragam fiturnya sangat memudahkan sebuah isu itu menyebar. Fitur yang memudahkan orang dan membuat kita tau siapa saja teman kita yang menggunakan akan mentrigger akhirnya kita ikutan,” jelasnya.
Rantai konten stories yang tak terputus ini juga diikuti dengan sematan-sematan link dan narasi yang semakin membuat netizen merasa relate dengan isu dalam narasi All Eyes.
“Misal fitur Add Yours, fitur menyematkan tautan/link, fitur share ke sosmed kalau sudah mengisi petisi, fitur tagging supaya tersebar ke orang-orang yang kita mau. Terutama jika isu tersebut relate dengan banyak orang maka sosial media akan membuat berita itu tersebar ke circle tertentu lalu disebarkan lagi dan lagi dan lagi sampai kemudian menjadi yg kita sebut sbg viral (penyebaran seperti virus). Ini berkaitan juga dengan bagaimana Engagement rate itu naik,” tambahnya.
Tak hanya soal fitur, pengetahuan terhadap isu juga turut mempengaruhi keviralan. Ditambah pengguna Instagram didominasi oleh Gen Z dan Milenial dengan presentase lebih dari 60 persen. (Data Statista 2023)
“Bagaimana pengguna sosmednya sendiri yang sekarang paham atau tidak, mengerti betul ataupun hanya sekedar tau, ketika ada suatu isu yang itu ramai dibicarakan, mereka akan ingin ikut membicarakan hal tersebut. Istilahnya FOMO/fear of missing out. Karena ketika suatu isu itu banyak orang bicarakan, maka netizen akan merasa “keren” atau merasa up to date ketika ia juga ikut membincangkan atau dalam hal ini ikut me-repost, ikutan fitur add yours, ikutan petisi, ikut post hal yang sama. Sebaliknya mereka akan merasa “tertinggal” jika tidak ikutan tren yang sedang ramai dibicarakan. Dan itu untuk kalangan GenZ terutama menjadi suatu ketakutan “fear” kalau tidak tahu, tidak terlibat, dan tidak ikutan apa yang orang lakukan pada isu tersebut,” ujarnya.
Viral di Media Sosial Membawa Perubahan?
Di Indonesia fenomena No Viral No Justice awalnya adalah bentuk sindiran netizen kepada Polri yang dirasa ogah merespon laporan dari masyarakat. Harapannya dengan fenomena tersebut pihaknya menjadi lebih profesional. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan suatu isu tersebut viral di media sosial.
Sosial media menjadi ruang menyegarkan pembawa perubahan, namun menurut Nadia berbagai kemungkinan bisa terjadi. Netizen perlu memahami secara detail terkait isu yang tengah mencuat agar bijak dalam merespon.
“Jadi, apakah sosial media bisa bawa perubahan? Ini sudah banyak sih kasusnya bahwa isu yang berawal dari sosial media ternyata bisa membawa dampak pada kehidupan nyata. Dampak bisa baik, bisa buruk tentu saja. Namun yang perlu ditekankan untuk kita pengguna sosmed di sini adalah, ketika ada suatu isu/ tren tertentu, ada baiknya kita cari tahu dulu, pahami betul-betul apa yang terjadi,” jelas Nadia.
Tidak semua konten yang tersebar di media sosial selalu benar, jika hanya Fomo bisa jadi apa yang dibagikan pengguna akan merusak reputasi individu bahkan memicu konflik di ruang digital.
“Jadi tidak hanya sekadar ikut-ikutan karena takut ketinggalan. Karena bisa jadi apa yang ramai di belum tentu benar adanya. Apa yang diamini oleh banyak orang tidak selalu merupakan hal yang sebenarnya. Dan harus semakin berhati-hati karena kita kini hidup dalam gelembung fakta realita semu yang ditentukan oleh algoritma sosial media,” tandasnya.
Penulis: Meigitaria Sanita