Jepang menjadi salah satu negara yang memiliki memori tak terlupakan bagi masyarakat Indonesia. Sejarah kelam beserta jejak peninggalannya menjadi cerita-cerita yang tak akan terputus hingga kini dan seterusnya. Sebagai negara yang lebih maju, nampaknya cukup menarik menelisik perspektif masyarakat Jepang memandang kehidupan masyarakat di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Seri keenam Kaliurang Festival Hub yang digelar pada 5 September 2024 di Bioskop Sonobudoyo berkolaborasi dengan Visual Documentary Project (VDP) Kyoto menghadirkan Nishi Yoshimi selaku Dewan Pengurus dan Koordinator Kurator serta Sazkia Noor Anggraini, pengajar ISI Yogyakarta sekaligus peneliti dan pembuat film.
Berbeda dengan Kaliurang Festival Hub sebelumnya, pemutaran film dari kurasi VDP sengaja dilakukan di tengah kota Yogyakarta untuk menjaring penonton yang beragam. Diawali dengan pemutaran lima film, lalu dilanjutkan dengan diskusi.
Dipandu oleh Khumaid Akhyat Sulkhan, Kaliurang Festival Hub #6 ini mengungkap banyak cerita dari kurasi film VDP dan perspektif masyarakat Jepang terkait masyarakat Asia Tenggara. Menurut Nishi Yoshimi, bahasa menjadi aspek paling disoroti dalam menampilkan film-film dokumenter Asia Tenggara.
“Tayangan disini ada bahasa Inggris, cerita Kamboja, Thailand, Myanmar, Indonesia dan lainnya sudah jelas visual dan bahasa Inggris (subtitle) sudah benar. Tetapi maksudnya apa, konteksnya apa. Film itu ketika diputar di lokasi lain (bukan negara asal) audiens sudah berbeda perlu penjelasan tambahan agar konteksnya lebih mudah dipahami,” ujar Nishi Yoshimi.
Apalagi dalam film dokumenter ada pesan-pesan tersirat yang tak bisa ditelan mentah-mentah. Ada berbagai pesan yang ingin disampaikan dengan berbagai tujuan. Melalui adegan dan ekspresi tentu akan menyulitkan masyarakat Jepang yang berbeda kultur dengan masyarakat Asia Tenggara.
“Film dokumenter digunakan untuk merekam kenyataan bahkan yang disebut sinema pertama itu film dokumenter. Kemudian dokumenter berkembang menjadi bentuk propaganda misalnya,” ujar Sazkia Noor Anggraini.
Lantas film-film seperti apa yang dipertontonkan kepada masyarakat Jepang? Berikut 5 film hasil kurasi VDP yang dibagikan dalam Kaliurang Festival Hub #6.
Cerita dari Asia Tenggara
Saya di Sini, Kau di Sana (a Tale of the Crocodile’s Twin) merupakan garapan sutradara Indonesia Taufiqurrahman Kifu. Ketika menonton film ini penonton diajak untuk berjalan menyusuri memori-memori dongeng khas anak-anak. Namun ketahuilah bahwa cerita dalam film dokumenter tersebut ingin mengungkap bagaimana manusia sebagai makhluk hidup harus berbagi ruang dengan makhluk lain termasuk hewan. Dalam konteks tersebut adalah buaya.
Dongeng dari Sulawesi Tengah khususnya Kaili, mengangkat ruang hidup dan sungai-sungai. Dongeng yang bercerita tentang bangsawan Lasa Kumbili dengan saudara kembarannya Yale Bonto, sosok buaya menggambarkan prinsip hidup hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. Bahkan di akhir cerita, kesaksian seorang korban tsunami mengaku ditolong oleh buaya. Kesaksian ini menjadi sebuah nilai-nilai lokal yang terus dipegang masyarakat Kaili.
Don’t Know Much About ABC, Kamboja, film garapan Norm Phanith and Sok Chanrado menampilkan ironisnya kehidupan di Phnom Penh. Menonton film ini akan menimbulkan kekhawatiran soal masa depan, ketakutan terjadi hal buruk, hingga ketidaksanggupan untuk bertahan hingga terabaikan.
Seorang ayah tunggal tunawisma sehari-hari bekerja sebagai pengumpul sampah dengan menghidupi putranya. Ron Dara berusaha keras demi pendidikan putranya. Ia bersikeras demi peluang dan meningkatkan kualitas hidup sang anak.
Unsilent Potato, Myanmar, film yang digarap Sein Lyan Tun mengangkat secara detail kisah perempuan muda disabilitas bernama Potato sebagai korban pemerkosaan oleh tetangganya yang sudah beristri. Potato merupakan perempuan etnis Karen yang tangguh memperjuangkan keadilan.
Yang menyedihkan adalah, kasus yang dialami Potato dianggap sebagai tindakan bujuk rayu. Ia ingin bangkit dari kesunyian, namun negara Myanmar adalah negara yang kurang kuat dalam hal supremasi hukum untuk menyelesaikan persoalan seperti itu.
Film keempat, My Grandpa’s Route has been Forever Blocked garapan sineas Thailand. Mungkin film ini menjadi sangat sulit dipahami dari film-film sebelumnya. Dua layar ditampilkan, layar kiri menampilkan bendungan kecil dari sumber sungai ke Bendungan Bhumibol. Sementara layar kanan adalah dokumentasi operator kapal pesiar di Sungai Ping (Bendungan Bhumibol) yang membuat hamparan hutan jati terendam untuk selamanya.
Film garapan Supaparinya Sutthirat membawa penonton menyusuri Sungai Ping yang merupakan jalur perdagangan. Tahun 1958 Bendungan Bhumibol dibangun hingga mengubah sungai masa kakeknya. Film ini sebenarnya mengajak penonton memahami masa lalu dan mengamati isu-isu masa kini.
The Fighter, Indonesia, merupakan film dokumenter yang mengambil latar di Kediri, Jawa Timur. Marjito Iskandar Tri Gunawan mencoba menangkap pertarungan bela diri Pencak Dor di atas ring. Salah satu narasumber bernama Yudi seorang petarung yang melatih para santri menegaskan jika pertarungan tersebut bukan ditujukan untuk memamerkan kekuatan diri melainkan menguji kekuatan keterampilan dalam bertarung.
Pencak Dor juga menjadi arena yang mempertemukan para petarung dari berbagai aliran, seperti gulat, tinju, Muay Thai, wushu, dan lain-lain. Pencak Dor menjadi ruang untuk menyalurkan orang-orang dan menjadi pengganti tawuran: dapat mengurangi potensi munculnya geng-geng anak muda di Jawa Timur, Indonesia. Pencak Dor tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Islam yang berkembang di pesantren.
Penonton Jepang Menyaksikan Film Dokumenter Asia Tenggara
Secara umum reaksi yang diekspresikan penonton Jepang melihat fenomena yang terjadi di Asia Tenggara adalah merasa bersimpati.
“Reaksi paling dangkal adalah oh kasian juga ada kemiskinan, perkosaan, negaranya masih terbelakang. Karena posisi negara masih di belakang masalah-masalah seperti itu belum diselesaikan masih sedang berkembang masalah seperti itu,” ujar Nishi Yoshimi.
Namun, untuk membuat mereka paham konteks suatu film tentu tak sederhana. Selain histori yang tak semua tahu, pihak VDP secara aktif mengundang pengamat film dari negara masing-masing hingga penerjemah dari Jepang yang fasih dengan bahasa dalam film.
“Mengundang pengamat-pengamat film dari negara asal agar konteksnya lebih memahami mendalam. Kenapa masyarakat jepang bertanya begini, susah begini. Pengamat dari negara pembuat bisa menjembatani,” ungkap Nishi Yoshimi.
Para pengamat, penerjemah, dan penonton saling berdiskusi. Sebut saja soal film The Fighter dari Indonesia. Bagaimana sebuah kekerasan dipertontonkan, bentuk emosi yang harus dikendalikan dan sebagainya. Nishi menyebut jika akar kemunculan kekerasan dalam Pencak Dor tentu tak luput dari insiden 1965 di Indonesia. Jauh dari itu ada masa revolusi, penjajahan Jepang dan masa kolonial. Sehingga dapat ditarik Kesimpulan akar dan bibit kekerasan tersebut mengapa muncul.
“Semakin memahami juga kenapa ada masalah di belakang ada apa kaitannya dengan budaya lokal,” tambahnya.
Sementara, bagi Sazkia Noor Anggraini sebagai pembuat sekaligus peneliti film mengkonfirmasi bahwa diproduksinya film dokumenter terkadang mampu mengungkap Sesutu yang memang belum ditemukan sebelumnya.
“Bagian membangun kenyataan baru,” ujarnya.
“Di area studies menggunakan film sebagai proses mengenal, penelitian, menginterpretasi apa yang terjadi di masyarakat area yang diteliti,” tandasnya.
Penulis: Meigitaria Sanita