Ayo Menjadi Kritis: Belajar Analisis Wacana Kritis bersama Holy Rafika

Reading Time: 2 minutes

Selama ini banyak kesalahpahaman dalam praktik analisis media. Misalnya, banyak pembelajar menganggap analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis/ CDA) hanya melakukan analisis pada tataran tekstual. Seakan-akan analisis wacana tidak dapat membaca semua yang di luar teks. Padahal banyak hal yang mempengaruhi teks.

CDA tidak cukup dengan analisis dimensi tekstual. “Maka anda harus juga ngomongin kondisi di luar teks/ produsen/ social action: kondisi yang mempengaruhi produsen (sejarah teks dll),” kata Holy Rafika Dhona, Dosen Komunikasi UII, yang menjadi instruktur dalam Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut/ PJTL HIMMAH UII pada 16 September 2021, siang. HIMMAH adalah Lembaga Pers Mahasiswa/LPM tingkat universitas di lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII).

CDA selalu menghubungkan dimensi teks, tindakan sosial dengan konteks. CDA juga mengoneksikan dimensi sejarah-kuasa-ideologi karena berprinsip PHI (power -history -ideology). Oleh karenanya, kata Holy, CDA tidak hanya dilakukan dengan melakukan analisis linguistik.

Apa contohnya?
“Discourse itu misalnya soal tempat wisata Tebing Breksi itu mengubah sesuatu itu yang awalnya hanya tebing biasa menjadi tempat foto-foto yang bagus. Itu proses mengubah discourse/ wacana,” kata Holy.

Holy menambahkan, wacana menurut Fairclough adalah cara masyarakat memproduksi dan menginterpretasi teks dalam interaksi sosial juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang lebih luas; yaitu institusi sosial dan masyarakat. “Makanya Fairclough bilang di balik bahasa adalah ideologi atau politik,” tambahnya

Media discourse karenanya, menurut Norman Fairclogh, CDA itu tidak hanya analisis teks aja, tapi Menghubungkan konteks (teks produksi dan teks konsumsi) dan praktik sosiokultutal (berbicara soal history dan lainnya). Karena mereka semua saling bertautan.

Di sini lah pentingnya memahami apa itu Teori kritis. Teori kritis itu mencakup tiga hal menurut Max Horkheimer (1937) yaitu: (1) teori yang melihat realitas tidak pernah netral, (2) Teori yang melihat realitas adalah selalu historis, (3) Teori yang tidak memisahkan praksis.

Nilai sebuah kritik, kata Holy, secara singkat adalah (1) Power kekuasaan: dimana ada kekuasan, ada yang ditindas dan menindas, lalu kedua (2) dialektis, dan (3) 3. Historis. Maka dari itu, mahasiswa harus bisa memahamin cara berfikir kritis. Cara berfikir kritis adalah melihat sesuatu itu tidak netral dan sesuatu itu dibentuk oleh sejarah.