Apakah Ada Jalan Lain Menghalau Kerusuhan Sepak Bola: Komunikasi Olahraga

Reading Time: 2 minutes

Di Malang, sebuah tragedi memilukan melanda arena sepak bola Indonesia. Stadion Kanjuruhan bergemuruh tembakan gas air mata pasca pertandingan Arema versus Persebaya pada 1 Oktober 2022.  Pada 13 Oktober 2022 tercatat ada korban 754 jiwa dan penonton meninggal sebanyak 135 jiwa. Pada titik ini, para penggemar terlihat di lapangan saat pertandingan berakhir. Kemudian secara bertahap masuk supporter yang lain. Polisi kemudian tiba-tiba melepaskan gas air mata.

Sudah sering terjadi kerusuhan dalam laga sepak bola. Dalam kasus Kanjuruhan, gas air mata ditembakkan polisi untuk menghalau massa. Banyak pihak menjurus ini adalah sebab utama tingginya banyak korban. Apakah ada alternatif menghalau kerusuhan? Jawaban pertanyaan ini mengemuka dalam diskusi LPM Kognisia yang diselenggarakan oleh Podcast yang ditayangkan 31 Oktober 2022.

Narayana, Dosen Komunikasi UII, juga berpendapat, sudah ada waktunya politik masuk dalam arti mengelola. “Mengelola masyarakat itu kan politik,” papar Nara. Dalam konteks sepak bola, penontoh ini harus dikelola. Bisa saja kita tahu kan semua stadion kan milik pemda, jadi inilah saatnya desain stadion itu diredesain agar bentrokan antar suporter bisa diantisipasi. Jadi, menurut Nara, kondisinya di Kanjuruhan ini over capacity. Kedua, juga soal Mitigasi bencana. Ada bencana sosial, selama ini yang dimitigasi bencana alam. “Tapi bencana di stadion sepak bola seperti ini belum ada mitigasi yang terencana dengan baik,” kata Nara, panggilan Narayana. Harusnya, ada perencanaan mitigasi dan pertimbangan politik dalam menggelar pertandingan.

Berdasar pelacakan ringkas singkat oleh Nara, terkait kejadian ini ada 10 kasus gas air mata. Nara menelusur dari data-data selama ini, ada kejadian gas air mata untuk membubarkan kerumunan di stadion sejak 2010. Itu melanggar aturan FIFA. Jadi sejak 2010 ada pelanggaran,” ungkap Narayana. Padahal PSSI paham aturan tersebut, kata Nara, panggilan akrab Narayana.

“Gas air mata memang nggak boleh, senjata juga nggak boleh. Atributnya juga seharusnya seminimal mungkin atributnya, bahkan seragam polisi yang pakai lencana topi dan lainnya itu dihimbau tidak pakai, juga dianjurkan memakai kaos saja coklat,” ungkap Alif Madani, suporter PSS Sleman. Alif, yang juga adalah mahasiswa Komunikasi UII angkatan 2016, menambahkan bahwa dalam kondisi normal, pengamanan harus mempertimbangkan kondisi crowd, massa yang begitu banyak terutama jika massa akan keluar dari stadion. Massa sebegitu banyak akan butuh waktu lama keluar. Apalagi dalam peristiwa Kanjuruhan, gas air mata ditembakkan pada para penonton. “Bayangkan dengan gas air mata pasti kan orang tambah panik makin bersesakan. Apalagi ada yang ditembakkan di pintu keluar,” jelas Alif. Korban jatuh terelakkan di tengah kepanikan.

Menurut Alif, hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan alternatif selain gas air mata. Misalnya polisi kan membawa anjing K9 dan himbauan dikeluarkan oleh petinggi klub. “Anjing K9, ada itu kemarin di Malang. Sempet mundur itu waktu dilepas. Bisa juga misal petinggi klub atau kapten tim dikasih pelantang suara dan suruh ngomong itu bisa nglerem,” usul Alif. Usul ini bukan berarti tidak berdasarkan pengalaman.

PSSI dan pengelola kegiatan bisa belajar dari apa yang pernah terjadi sebelumnya. “Pernah waktu di Sleman, ramai kita suporter menyarankan nanti di depan ada Bagus Nirwanto, Kaptem Tim PSS Sleman. Waktu kasus Bali United itu Irfan Bahdim turun, bisa dipakai untuk menenangkan massa. Di saat yang bersamaan pemain Yang disegani dengan tetua suporter itu menenangkan orang akan segan mengikuti orang yang dihormati dan dikenal,” cerita Alif Madani.