,

‘Movie Talk’ KalFest Hub Seri #7: Mencari Makna Heritage dari KHFF

‘Movie Talk’ KalFest Hub Seri #7 Mencari Makna Heritage dari KHFF

Kaliurang Festival Hub (KalFest Hub) seri ke-7 berkolaborasi dengan Kotabaru Heritage Film Festival (KHFF) mengambil tema Layar Heritage: Cerita Lama, Suara Baru. Digelar pada 25-26 September 2025 di Gedung RAV Lt 3 Ilmu Komunikasi UII, screening berlangsung dua hari berturut-turut dan ditutup dengan Movie Talk yang mengungkap makna heritage lewat film dan budaya lokal.

Menilik Cambridge Dictionary, heritage memiliki makna fitur yang melekat pada budaya suatu masyarakat tertentu, termasuk tradisi, bahasa, dan bangunan yang dibuat pada masa lalu serta memiliki arti penting secara sejarah.

Dipandu oleh Aditya Adinegoro, pengajar Media Kreatif di Ilmu Komunikasi UII sesi Movie Talk menghadirkan dua pembicara, yakni Siska Raharja selaku Direktur KHFF dan Suluh Pamuji, Kurator Film KHFF.

Diskusi dibuka dengan pernyataan “Heritage bisa sangat terbuka, bisa dibicarakan” oleh moderator, dimana kalimat itu condong pada adanya narasi berbeda yang membentuk posisi heritage dalam konteks festival. Menanggapi pernyataan itu, Siska Raharja menuturkan makna heritage yang berkembang sebagai wacana komunitas film hingga Dinas Kebudayaan.

“Cara menarasikan heritage tidak lagi sekedar dari tutur dan kampanye, tetapi heritage menjadi sebuah media yang merangkum banyak hal termasuk memori personal,” ujar perempuan yang berjibaku di KHFF selama tiga tahun terakhir.

Kotabaru sebenarnya adalah kelurahan yang terletak di Kota Yogyakarta, catatan administratif menyebutnya masuk Kemantren Gondokusuman. Berbagai sumber mengimani bahwa Kotabaru memiliki konteks sejarah budaya kolonial yang melekat, hal ini dapat dibuktikan dengan bangunan-bangunan pendidikan, fasilitas kesehatan, dan lainnya.

Siska Raharja menambahkan jika identitas heritage pada Kotabaru telah menjadi agenda khusus, bahwa warisan budaya benda dan warisan budaya tak benda. Ini adalah tantangan baginya mengungkap makna heritage pada klasifikasi film di KHFF.

“Banyak yang tidak merasa heritage itu, kita sering membuat simplifikasi, heritage itu berat,” tambahnya.

Tak jarang ia menemukan pengemasan heritage yang kurang tepat, banyak penyelahgunaan genre horor atas nama warisan budaya.

Sementara, Suluh Pamuji menyoroti supply film heritage yang tidak sederhana, “Ketika membicarakan heritage lewat film, pertaruhannya adalah bagaimana festival ini terus mendapat materi film yang relevan dengan visi,” ujarnya.

Tak bisa serampangan, kualitas film menjadi pertaruhan. Bagaimana film harus memuat heritage secara autentik dan kritis. Bahkan KHFF sempat menggunakan pedoman UNESCO dalam mengkurasi film-film yang masuk, namun akhirnya ia juga harus bernegosiasi lewat konteks lokal. “Heritage itu tidak bisa ditempatkan secara kaku. Kami butuh film yang cakap dan memuat heritage,” tambahnya lagi.

Rumitnya memaknai dan mangkategorikan film heritage, maka perlu dukungan dari Dinas Kebudayaan. Peran dana publik dalam pelestarian heritage seolah jadi angin segar. “Sebagai masyarakat, kita butuh tahu bagaimana pemerintah daerah memandang heritage sekaligus bagaimana mereka punya selera terhadap kreator lokal yang mereka percaya,” tandas Suluh.

Memproduksi film heritage dibutuhkan wawasan terhadap nilai-nilai serta kapasitas praktis yang mumpuni. Dari peran Dinas Kebudayaan di berbagai wilayah, berimbas dalam memberikan banyak variasi film heritage yang terkurasi di KHFF.

Movie Talk dalam Kalfest Hub kali ini menegaskan bahwa heritage tak sekedar masa lalu, namun bagaimana cerita lama yang dihidupkan kembali dengan suara baru yang kritis dan reflektif melalui medium film.