Kalfest Hub dan Festival Film Bahari: Bagaimana Film Membuat Orang Semakin Peka?
Film tak sekedar soal hiburan, film adalah ide dan nilai yang disajikan secara audio visual demi membuat penontonnya sama-sama sepakat soal isu yang diangkat. Jika memang demikian, apakah benar film mampu membuat orang semakin peka?
Pada seri ke-5 Kaliurang Festival Hub berkesempatan lakukan kolaborasi dengan Festival Bahari yang berumah di Cirebon. Gelaran sejak 27 Juni hingga 28 Juni 2024 itu mengabil tajuk “Kabar Tepi Laut”. Diawali dengan pemutaran 3 film berjudul Perahu Sandeq, Mimpi Andini, dan Darip semua film mengambil latar perairan.
Perahu Sandeq merupakan film genre dokumenter expository yang mengungkap budaya suku Mandar, Sulawesi Barat warisan dari ras Austronesia. Film ini mengajak penonton untuk memehami latar historis hingga mengajak kita peka dengan budaya yang mesti dijaga.
Kedua, Mimpi Andini film dokudrama yang menyorot pengorbanan perempuan bernama Andini yang hidup di pesisir Jawa. Ia memiliki sahabat dekat seekor Kerbau, hubungan batinnya begitu erat. Namun Andini harus segera merelakan sahabatnya demi kesejahteraan nelayan dan masyarakat. Egonya tak bisa melawan kuasa tradisi bernama Lomban, meski demikian ia tetap mengikuti arak-arakan kerbau dan penyembelihan. Kepala kerbau bersama uborampe dilarung ke laut oleh masyarakat setempat.
Terakhir ada film Darip dengan genre fiksi menjadi penutup yang ringan dan menghibur. Adegan mengambil ikan secara manual di empang atau slurup dalam bahasa Jawa sukses mengundang gelak tawa. Darip nelayan yang malang, ia harus pulang tanpa tangkapan. Isu-isu lingkungan, ekonomi, dan sosial dikemas unik melalui siaran radio yang mendominasi audio dalam film tersebut.
Film dalam Konteks yang Adil
Movie Talk “Kabar Tepi Laut” dalam seri ke-5 Kaliurang Festival Hub menghadirkan kawan-kawan dari Film Festival Bahari. Mereka adalah Kemala Astika selaku Program Director serta Doni Kus Indarto, Advisory Board. Dipandu oleh Rizka Aulia, kru Film Bertema Perempuan Nelayan sekaligus Laboran Ilmu Komunikasi UII.
Doni Kus Indarto membuka diskusi dengan sebuah konteks keadilan dalam sebuah karya film. Ada keresahan terkait isu tersebut, ia menyebut selama ini film menjadi barang mewah bagi masyarakat ekonomi ke bawah.
Festival Film Bahari ingin mengembalikan film kepada pemiliknya, yakni masyarakat yang menjadi sumber inspirasi dan konten.
“FFB pertama kali hadir karena kegelisahan hampir semua festival film hadir untuk filmmaker bukan ditayangkan untuk penonton. Hampir semua diputar di gedung mewah, yang miskin tidak boleh nonton film. Di Gedung tiketnya (film) mahal. Beda dulu ada grade semua kalangan bisa masuk,” tuturnya membuka diskusi.
Tak hanya itu, festival lazimnya hanya menyasar komunitas-komunitas tertentu. Doni berpaham bahwa film yang digarap di tengah-tengah masyarakat sudah selayaknya mampu dinikmati bersama. Interaksi antara masyarakat, mengangkat sebuah isu, hinggatimbul diskusi usai menonton tak jarang menemukan sebuah jalan keluar.
“Begitu juga festival filmnya, yang penyelenggaraanya ada di tengah masyarakat lakukan. Audiens di sekitar, layar tancap, ada mbok-mbok jualan di tepi. Sehingga interaksi dilakukan langsung lanjut diskusi soal masalah yang terjadi,” tambahnya.
Kerap kali screening dilakukan di sekolah-sekolah hingga pesantren untuk sebagian film yang memang diproduksi memiliki orientasi pesan kepada pelajar. Jangka panjangnya tak hanya ajang interaksi namun ada pesan yang memiliki manfaat.
“Tema Bahari satu secara geografis Cirebon di pantai. Kesadaran laut pemersatu belum tebal, film bukan tujuan, film adalah media sarana bisa bersilaturahmi dengan masyarakat. Syukur-syukur bisa memunculkan kebermanfaatan,” tandasnya.
Peka dengan Isu Lingkungan
Secara geografis Cirebon berada pada posisi Lintang Selatan dan Bujur Timur Pantai Utara Pulau Jawa Bagian Barat. Kondisi ini membuat sebagian besar masyarakatnya hidup di pesisir pantai dan berprofesi sebagai nelayan, petani tambak, dan sektor serupa lainnya.
Kerja-kerja yang bergantung dengan alam tentu penuh ketidakpastian, menurut Kemala Astika dari cuaca dan kondisi menentu yang berujung pada kondisi ekonomi hingga lubang-lubang utang masyarakat dengan para lintah darat.
“Di sana banyak pantai bukan untuk wisata, karena dangkal dibuat untuk tambak, ada temuan kisah-kisah sudah tidak melaut. Mereka ada yang pindah menjadi petani tambak, menangkap dengan manual, berkostum lengkap menyelam nyari ikan, kepiting, yuyu. Based real story. Nasib nelayan kita banyak banget PRnya. Mereka menghadapi kehidupan dengan tangguh, faktor ekonomi, terlilit lintah darat,” jelas Kemala.
Kemala yang juga sebagai pengajar di salah satu sekolah di Cirebon berharap dengan film-film yang dikurasi oleh Festival Film Bahari mampu membuat orang peka dengan kondisi yang terjadi pada sekitar, termasuk soal isu lingkungan yang pasti berdampak dengan kondisi sosial dan ekonomi.
“Dari film mengenal lebih dekat semua tentang kelautan dan kebaharian. Pertama sebagai ruang belajar, untuk mengenal kelautan. Indonesia punya garis pantai terpanjang kedua di dunia. Tapi narasi-narasi yang sering diberitakan betapa miskinnya para komunitas di sekitar, tapi banyak PR. Sebanranya banyak banget potensi-potensi yang ada pada teman-teman pesisir, budaya, seni, tapi bisa menghidupi sehari-hari,” tambahnya.
Salah satu upaya yang dilakukan Kemala dan kawan-kawan adalah menggandeng para pelajar untuk belajar bersama memproduksi film. Mulai dari riset isu, hingga live in bersama masyarakat nelayan.
“Kepekaan untuk pelajar proses riset paling penting, pentingnya menyelami subjek, bekerja dengan tim, menemukan keunikan isu. Bermanfaat, berdampak setidaknya warga sekitar, ada konsekuensi panjang. Pendektan dengan warga, kenal, stay dulu,” ujaranya lagi.
Ia tak memiliki ekspektasi tinggi soal hasil garapan itu, baginya proses yang dilakukan para pelajar untuk peka terhadap kondisi sosial adalah pencapaian terbaik. Sementara, film yang telah selesai digarap bisa dinikmati bersama para nelayan mampu menjadi pereda lelah seharian melaut.
“Perayaan, habis melaut, bisa menikmati (film). Pak tani punya siklus sendiri, begitupun juga nelayan (bekerja mengikuti kondisi cuaca). Buat warga bisa untuk refleksi, cerminan, Ada temuan baru, bisa berdialog antara warga dengan Kepala Desa,” pungkasnya.