Tag Archive for: Komunikasi UII

Reading Time: < 1 minute
Pengumuman Wisuda UII Bulan Mei 2022

Kepada Yth.,

Mahasiwa/Wahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII

Assalamu’alaikum wr.wb

Dengan ini kami memberitahukan Wisuda Periode 5 Tahun akademik 2021/2022 akan dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2022 Informasi lebih lanjut bisa klik link berikut:

Download

Terimakasih

Wassalamu’alaikum wr.wb

Reading Time: 2 minutes

On January 4, 1946, a secret carriage group containing Soekarno and his friends arrived at Tugu Train Station, Yogyakarta. Their arrival marked the move of the capital from Jakarta which had been occupied by Allied forces from NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie) to Yogyakarta.

The Indonesian government moved several Indonesian Ministries to Yogyakarta, including the Ministry of Information, which was then followed by the Indonesian Film Agency (BFI). The transfer of the two institutions prompted artists and republican sympathizers to also move to Yogyakarta. This incident made Yogyakarta at that time not only the center of Indonesian government, but also the center of arts and cinema in Indonesia.

Four Key Actors

“There are four important actors in Yogyakarta as the capital of Indonesian films: the Indonesian Film Agency, the Ministry of Information, Mataram Entertainment, and Kino Drama Atelier,” said Dyna Herlina Suwarto on Saturday, April 24, 2021. Dyna speaks in the discussion entitled Yogyakarta as the Capital City of Indonesia’s Film. This webinar is held by the collaboration of the PSDMA Nadim and KNSK. PSDMA Nadim is stands for Center for Alternative Media Studies and Documentation (PSDMA) Nadim Department of Communications UII. KNSK is stands for National Consortium for History of Communication (KNSK).

The Speaker who is familiarly called Dyna is a lecturer in the Communication Department at Yogyakarta State University. She is also founder of Rumah Sinema, and NGO who is focused on youth and media literacy. She is also active in the Indonesian Film Reviewers Association (KAFEIN). Currently, Dyna is undertaking doctoral studies in Film and Television Studies, University of Nottingham.

Dyna stated that Yogyakarta in 1946-1949 could be called the media capital, because Yogyakarta was considered a safe place that allowed economic, knowledge, cultural and political interactions. Creative actors from various parts of Indonesia also interact with each other and expand local, national and international networks. Finally, the relatively stable conditions in Yogyakarta allow for capital accumulation, market expansion and distribution systems.

Media Capital

When the media capital discussed by Michael Curtin was initiated by the private sector, Yogyakarta as the media capital was actually owned by the state as the main actor.

“In modern media capital , as mentioned by Curtin, the objective is financial accumulation. Meanwhile at that time in Jogja the main objective of media or films produced at that time was politics. Recognition of Indonesia’s independence and sovereignty as well as the accumulated knowledge of the film production industry itself,” said Dyna who also active in the Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF).

There are several films that are important to discuss in the Yogyakarta era from 1946 to 1949. One of the documentary film produced by the Indonesian Film Agency is Indonesia Fight for Freedom. This film was brought to the United Nations to gain recognition of Indonesian sovereignity. Apart from films, the establishment of film academies Cinedrama Institute and Kino Drama Atelier is also significant. These film academies has also become a milestone in the development of film in Indonesia.

Although in the end the Dutch attacked Yogyakarta on December 19th, 1948 and brought the film to a halt at that time, this era has become an interesting piece of film history in Indonesia.

——–

Reporter and Author: Rizky Eka Satya, UII Department of Communication’s student, Class of 2015. Internship at PSDMA Nadim at Department of Communications UII.

Editor: A. Pambudi W.

 

Reading Time: 2 minutes

Pada tanggal 4 Januari 1946, rombongan gerbong rahasia berisikan Soekarno dan kawan-kawan tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Kedatangan mereka menandai perpindahan ibu kota dari Jakarta yang telah diduduki oleh pasukan Sekutu dari NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie) ke Yogyakarta.

Pemerintah RI memindahkan beberapa Kementerian RI ke Yogyakarta, di antaranya adalah Kementerian Penerangan yang kemudian diikuti oleh Badan Film Indonesia (BFI). Perpindahan kedua institusi tersebut membuat para seniman dan simpatisan republik turut pindah ke Yogyakarta. Peristiwa ini membuat Yogyakarta pada waktu itu tidak sekadar pusat pemerintahan Indonesia, melainkan menjadi pusat kesenian dan perfilman di Indonesia pula.

Empat Aktor Perfilman Indonesia Awal

“Terdapat empat aktor penting dalam Yogyakarta sebagai Ibu kota Film Indonesia: Badan Film Indonesia, Kementerian Penerangan, Stitchting Hiburan Mataram, dan Kino Drama Atelier,” ujar Dyna Herlina Suwarto, pembicara dalam diskusi dengan judul “Yogyakarta sebagai Ibu kota Film Indonesia” yang diadakan oleh kolaborasi Pusat Studi dan Dokumentasi Media Alternatif (PSDMA) Nadim Komunikasi UII dengan Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK) pada Sabtu, 24 April 2021.

Perempuan yang akrab disapa Dyna ini merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta, pendiri Rumah Sinema, serta aktif di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Ia juga aktif dalam Asosiasi Pengkaji Film Indonesia (KAFEIN). Saat ini, Dyna sedang menjalankan studi doktoral di Film and Television Studies, University of Nottingham.

Dyna menyebutkan bahwa Yogyakarta pada tahun 1946-1949 dapat disebut sebagai media capital (ibu kota media), karena Yogyakarta dinilai sebagai tempat yang aman yang memungkinkan terjadinya interaksi ekonomi, pengetahuan, budaya dan politik. Aktor kreatif dari berbagai wilayah Indonesia juga saling berinteraksi serta memperluas jaringan kerja lokal, nasional, dan internasional.  Terakhir, kondisi Yogyakarta yang relatif stabil memungkinkan terjadinya akumulasi modal, perluasan pasar, dan sistem distribusi.

Ketika ibu kota media yang dibahas oleh Michael Curtin diinisiasi oleh swasta, Yogyakarta sebagai media capital justru dimiliki negara sebagai aktor utamanya.

“Kalau dalam modern media capital yang disebutkan Curtin tujuannya adalah akumulasi finansial, sedangkan waktu itu di Jogja tujuan utama media atau film yang diproduksi waktu itu adalah politik. Pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia serta akumulasi pengetahuan industri produksi film itu sendiri,” ujar Dyna.

Terdapat beberapa film yang penting untuk dibahas di era Yogyakarta 1946-1949, salah satunya adalah film dokumenter produksi Badan Film Indonesia “Indonesia Fight for Freedom” yang dibawa ke PBB untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Selain film, pendirian akademi film “Cinedrama Institute” dan “Kino Drama Atelier” juga menjadi tonggak perkembangan film di Indonesia.

Walaupun pada akhirnya Belanda menyerang Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948 dan membuat perkembangan film pada saat itu terhenti, namun era tersebut telah menjadi potongan menarik sejarah perfilman di Indonesia.


Reporter dan Penulis: Rizky Eka Satya, Mahasiswa Komunikasi UII, Angkatan 2015. Magang di PSDMA Nadim Komunikasi UII.

Penyunting: A. Pambudi W.

Reading Time: 2 minutes

The Forum Forum Amir Effendi Siregar # 13 this time 9 October 2020 is not as usual. Presenting Indonesian speakers who were studying in America made the discussion this time take time at night. This time, Rianne Subijanto, Assistant Professor of Communication Studies at Baruch College, City University of New York was the speaker at the AES Forum discussion tonight. He reveals the history of communication and discovers a time when a part of the study in communication was missing.

According to Rianne, in communication, there is a missing study. This study seems invisible. It seems that if we examine it today, there is even a lot of debate because it is considered not a communication domain anymore.

Rianne’s discussion raised the topic “Communication as Social Networks and Transportation: Historical Studies Past and Present.” Transportation which is part of communication studies is no longer initiated in many researches in the realm of communication.

Judging from the long history of communication, “communication studies have emerged. it’s only limited to communication that mediates new media such as print media, radio, television, and the internet, “said Rianne.

Communication System: Ancient Objects to Print Media

Riane continued that the age of media starting from printed media is still very young. and to be examined from the history, the practice of this communication age is very old. there was writing hieroglief and cuneiform written on slabs of brick in the civilization of mesopotamia. there paprirus, and there are pictures in the cave in the rock.

it is seen that the ancient objects that not only belongs to history, but also there is a communication process. Even communication is not only seen from the printed medium sec material fig. But more basic. Communication is also a process of exchanging meaning through oral, gestures, and facial expressions.

What is missing in Communication studies in Rianne’s view? He sees communication as transmission (transportation) and culture (ritual). If communication is seen from an exchange of meanings, then there is social exchange, there is cultural acculturation too. If seen from here communication is also chained by transportation. In ancient times people traveled by camel or donkey to trade. “And it turns out that there is a cultural exchange of the spread of Islam, cultural acculturation,” said Rianne.

Communication systems should be seen as transport networks and social networks as concepts. “However, now if we want to see transportation in communication studies, maybe people will ask geography or sociology first,” said Rianne.

 

Reading Time: 2 minutes

Forum Forum Amir Effendi Siregar #13 kali ini 9 Oktober 2020 tak seperti biasa. Menghadirkan pembicara Indonesia yang sedang studi di Amerika membuat diskusi kali ini mengambil waktu di malam hari. Kali ini, Rianne Subijanto, Assistant Professor Kajian Komunikasi di Baruch College, City University of New York menjadi pembicara dalam diskusi Forum AES malam ini. Ia mengungkap sejarah komunikasi dan menemukan satu waktu dimana ada bagian kajian dalam komunikasi hilang.

Menurut Rianne, dalam komunikasi, ada kajian yang hilang. Kajian ini seperti tidak terlihat. Tampaknya jika dikaji di jaman sekarang bahkan, banyak perdebatan karena dianggap bukan ranah komunikasi lagi.

Diskusi Rianne ini mengangkat topik ‘Komunikasi sebagai Jaringan Sosial dan Transportasi: Kajian Sejarah Dulu dan Sekarang.” Transportasi yang menjadi bagian dari kajian komunikasi tak lagi digagas dalam banyak riset di ranah komunikasi.

Dilihat dari sejarah komunikasi yang panjang, “kajian komunikasi yang banyak muncul baru sebatas komunikasi yang memerantarai medium baru seperti media cetak, radio, televisi, maupun internet,” ujar Rianne.

Sistem Komunikasi: Benda-benda Kuno hingga Media Cetak

Riane melanjutkan bahwa umur media mulai dari media cetak (printed media) ini masih sangat muda. Padahal kalau mau ditelisik dari sejarahnya, praktik komunikasi ini umurnya sangat tua. Ada tulisan hieroglief dan kuneiform yang tertulis di lempengan batu bata di peradaban mesopotamia. Ada paprirus, dan ada gambar di gua pada dalam batu.

Di sini terlihat bahwa benda-benda kuno itu tak hanya milik sejarah, tapi juga ada proses komunikasi. Bahkan komunikasi tak hanya dilihat dari medium tercetak secara materil. Namun lebih mendasar. Komunikasi juga adalah proses pertukaran makna lewat oral, gestur, dan mimik muka.

Apa yang hilang di kajian Komunikasi dalam pandangan Rianne? Ia melihat komunikasi sebagai tranmisi (transportasi) dan budaya (ritual). Jika komunikasi dilihat dari adanya pertukaran makna, maka ada pertukaran sosial, ada akulturasi budaya juga. Jika dilihat dari sini komunikasi juga diperantai oleh transportasi. Jaman dahulu orang melakukan perjalanan dengan menggunakan unta atau keledai untuk berdagang. “dan ternyata ada pertukaran budaya penyebaran islam, akulturasi budaya,” papar Rianne.

Sistem komunikasi harus dilihat sebagai jaringan transportasi (transport network) dan jaringan sosial (social networks) sebagai konsep. “Namun, sekarang jika kita mau melihat transportasi dalam kajian komunikasi mungkin orang akan nyuruh ke geografi atau sosiologi dulu,” kata Rianne.

Reading Time: < 1 minute
0Days0Hours

Forum Amir Effendi Siregar – Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia menggelar

Serial Bincang Sejarah Komunikasi (Sesi 11)

Topik:

Komunikasi sebagai Jaringan Sosial dan Transportasi: Kajian Sejarah Komunikasi Dulu dan Sekarang

Pembicara:

Rianne Subijanto

Assistant Professor Kajian Komunikasi di Baruch College, City University of New York. Disertasinya memenangkan Honorable Mention AJHA Margaret A. Blanchard Doctoral Dissertation Prize dari The American Journalism Historians Association tahun 2016. Manuskrip bukunya berdasar disertasi tersebut berjudul “Revolutionary Communication: Enlightenment at The Dawn of Indonesia” saat ini sedang dalam review. Berkhidmat sebagai Pemimpin Redaksi IndoPROGRESS.

 

Jadwal:
Jumat, 9 Oktober 2020
Pukul 20:00 WIB
Via Zoom

Registrasi:

Reading Time: < 1 minute

Kali ini kami akan terus mengunggah artikel opini Dosen Komunikasi UII yang dimuat media massa. Upaya ini adalah bagian dari pengelolaan pengetahuan (knowledge management) di dalam internal Program Studi Ilmu Komunikasi UII. Harapannya, diskursus soal media dan komunikasi ini berlanjut menjadi sebuah pengetahuan baru atau minimal mewujud dokumentasi pengetahuan yang kini terserak.

Berikut ini adalah #kliping Opini Dosen Komunikasi UII. Kali ini kami memuat opini Dr. Rer. Soc. Masduki tentang Negara dan Pers. Tulisan ini telah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, sebuah surat kabar lokal di DIY. Ini dimuat pada Rabu Pahing, 15 Juli 2020. Masduki membahas tentang pro dan kontra di Indonesia soal gagasan subsidi untuk media massa di Indonesia pada masa pandemi. Perlu diketahui, pandemi di Indonesia membuat beberapa perusahaan pers di Indonesia mengalami defisit. Ini bisa ditandai dari beberapa media di Indonesia melakukan pemutusan hubungan kerja di masa Maret-Juli 2020.

Selamat Membaca.

Terima Kasih atas Foto oleh Darmanto BPSDMP DIY

 

Layanan digital
Reading Time: 2 minutes

Layanan Akademik Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII

Layanan Cek Plagiasi Skripsi/ TA
Tes CEPT Online - CILACS UII
Layanan Cek Plagiasi Sempro (Seminar Proposal)
Layanan Bebas Laboratorium kontak email: [email protected]

lampirkan scan/foto KTM

Layanan Pendaftaran Pendadaran

(Mahasiswa sudah keyin dan mengirimkan naskah skripsi dan naspub ke email: [email protected])

Layanan Pendaftaran Sidang Magang
Formulir Layanan Pengajuan Tutup Teori

(unduh form pengajuan di tautan http://bit.ly/tutupteorikom )

Surat Pengantar Magang
Layanan dan Prosedur Pengajuan Cuti Kuliah

Layanan Divisi Keuangan Mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII

Pembayaran Pendadaran, Skripsi, Seminar Proposal FPSB
Alur Pengajuan Subsidi Dana Kegiatan Lembaga/ UKM
Alur Pengajuan Subsidi Dana Kegiatan Mahasiswa

Layanan Divisi Administrasi Umum Mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII

Layanan Surat Keterangan Aktif
Layanan Surat Penelitian Skripsi
Surat Observasi Mata Kuliah

Panduan Kuliah Daring (Direktorat Pengembangan Akademik Univ)

Panduan Google Clasroom untuk Mahasiswa
Panduan Google Clasroom untuk Dosen
Student Guide to Google Classroom International Program (IP) Class
Reading Time: < 1 minute

Isu-isu mendesak yang diusulkan agar dapat dibincangkan dalam pertemuan Asikopti berikutnya beragam. Pertemuan pada agenda pelantikan pengurus Asikopti di Universitas Veteran Sukoharjo beberapa bulan lagi itu, adalah usulan Puji Hariyanti, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FPSB UII dan Rama Kertamukti dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puji menawarkan agar agenda berikutnya Asikopti bisa membahas konsep Kampus Merdeka yang baru saja dicetuskan oleh Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayan RI.

“Bagaimana konsekuensinya, apa efeknya, dan kajian konseptualnya dan implementasinya pada perguruan tinggi,” kata Puji Hariyanti. Terutama tentu penting membincang konsep tersebut pada perguruan tinggi yang berlandaskan pada nilai islam seperti perguruan tinggi islam anggota-anggota Asikopti. “Kami di UII sendiri juga masih menggodok implementasi konsep tersebut, perlu kajian yang matang dan menyeluruh,” tambahnya.

Isu lain yang penting juga didalami adalah kapasitas anggota Asikopti dalam pemanfaatan Big data. Rama kertamukti mengusulkan pada pertemuan berikutnya, Asikopti bisa menghelat workshop big data untuk pengembangan jurnal ilmiah. Workshop juga menjadi magnet bagi para peserta.

Pada kesempatan itu disusun susunan kepengurusan Asikopti yang komposisinya berasal dari beragam kampus. Misalnya ada pengurus perwakilan dari Prodi atau jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), UIN Sunan Kalijaga, Univet Sukoharjo, Unida Gontor, UAD, Unisba, UIN Suska Riau, Unisa, UIN Sumatera Utara, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Raden Fatah Palembang, UIN Alauddin Makassar, dan beberapa kampus lainnya.

Berita ini adalah lanjutan dari tulisan ini.

Reading Time: 2 minutes

Sejak pagi pada Rabu, 12 Februari 2020, peserta-peserta yang mewakili perguruan-perguruan tinggi islam di Indonesia telah berkumpul di Auditorium Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII). Pada acara ini, Mereka akan berembug dalam acara yang diberi tajuk Rapat Formatur Kepengurusan Asosisasi Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi Islam (Asikopti) masa bakti 2019-2022. Komunikasi UII kali ini menjadi tuan rumah setelah sebelumnya Kongres Asikopti diadakan oleh Fikom Universitas Islam Bandung.

Agendanya, selain melengkapi personalia dan susunan kepengurusan, juga membahas rencana-rencana lain. Seperti rencana pelantikan pengurus paska ramadhan mendatang, isu-isu mendesak terkait perguruan tinggi islam, dan rencana peluncuran Asosiasi Dosen Ilmu Komunikasi Indonesia (Asdikom). Asdikom adalah inisiatif pertama di Indonesia sebagai asosiasi profesi yang mengkhususkan pada kajian dan profesi dosen Ilmu Komunikasi di Indonesia.

Erik Setyawan, Ketua Asikopti yang baru dari Fikom Universita Islam Bandung (Unisba), mengatakan Asikopti perlu menjadi garda depan perguruan tinggi islam yang membawa rahmat pada umat dan memberi manfaat pada anggotanya. Prodi-prodi yang tergabung bisa saling kerjasama untuk meningkatkan kualitas prodinya. Anggota asikopti bisa berjejaring dalam hal peningkatan kualitas jurnal, pengembangan kajian keilmuan dan kurikulum, kolaborasi riset, terutama pada kajian-kajian dengan nilai-nilai islam.

Bono Setyo, ketua Asikopti sebelumnya, juga mengakatakn bahwa tiap prodi anggota asikopti punya kelebihan masing-masing. Ada profesor dan doktor yang bisa menjadi inspirasi dalam kolaborasi dan kerjasama meningkatkan mutu kegiatan masing-masing prodi. Tiap prodi anggota Asikopti dapat bertukar jejaring sehingga manfaat asikopti betul-betul terasa. Ada potensi-potensi yang bisa dikolaborasikan dan penting didukung.

Dalam masa kepengurusan 2019-2022 ini, Ketua dan pengurus Asikopti juga merencanakan beberapa program untuk meningkatkan kebermanfaatan Asikopti untuk Kajian Nilai-Nilai Islam dan Keumatan. Rencana program yang diusulkan misalnya konferensi internasional, Jurnal Khusus Anggota Asikopti, Database anggota (termasuk kompetensi di dalamnya), dan soal kepindahan sekretariat Asikopti ke Unisba.